Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARIA Assumpta. Lukisan masterpiece Basoeki Abdullah itu bersandar pada sebuah rak di gudang bawah tanah Aqua Viva, kompleks rumah jompo Serikat Yesus di Nijmegen, Belanda. Di rak itu terdapat bermacam barang yang jarang dipakai penghuni panti wreda tersebut. Sejumlah patung, cawan, tempat lilin, buku, juga tumpukan kardus berada di sana.
Betapapun ditaruh di tempat yang kurang layak dan dikungkung seabrek barang, lukisan berukuran 1 x 2 meter itu masih menyimpan pesona magis. Maria masih tampak jelita dan anggun. Rambut hitamnya disanggul, diselubungi selendang putih kebiruan. Dia mengenakan kebaya hitam dan jarit parang rusak cokelat keemasan.
Lukisan itu salah satu karya monumental Basoeki Abdullah. Maria tidak dilukiskan dalam sosok Barat Madonna, tapi perempuan Jawa. Dalam lukisan tersebut, Maria membentangkan tangannya, memancarkan kilau aura keemasan. Kepalanya menunduk dengan mata seolah-olah terpejam. Ia berdiri di atas bulan sabit seperti sedang membubung tinggi, melayang-layang ke arah langit. Di bawah Maria terlukis lanskap khas perdesaan Indonesia: dua gunung api, persawahan, rumah penduduk, dan pohon-pohon nyiur jangkung.
Lukisan Maria Assumpta di gudang bawah tanah kompleks rumah jompo yesuit Aqua Viva di Nijmegen, Belanda. Bonnie Triyana
Basoeki melukis Maria Assumpta saat berusia 20 tahun. Lukisan ini ia persembahkan sebagai hadiah untuk Serikat Yesus, yang memberinya beasiswa belajar di Den Haag, Belanda. Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H. Siregar, yang kini tengah menempuh program doktoral sejarah seni rupa Indonesia di Universiteit Leiden, Belanda, menilai Basoeki sangat berani mengawinkan kebudayaan Jawa dengan napas Kristen. “Basoeki sesungguhnya saat itu sudah sampai pada tahap postmodernism,” katanya.
Aminudin, yang akrab disapa Ucok, menyaksikan lukisan Maria Assumpta Basoeki saat menyambangi rumah jompo Serikat Yesus Nijmegen itu pada awal Maret lalu. Ia datang bersama kurator Amir Sidharta, sejarawan Bonnie Triyana, serta Harm Stevens dan Martine Gosselink dari Rijksmuseum, Belanda. Mereka tengah menelusuri lukisan Basoeki untuk persiapan pameran tentang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang bakal digelar dua tahun mendatang di Rijksmuseum. “Kami menginventarisasi dan menelusuri hubungan Basoeki dengan lingkaran Istana RI, Belanda, ataupun Yesuit,” ucapnya.
Menurut Ucok, Maria Assumpta bisa jadi merupakan ekspresi kejiwaan Basoeki, yang berpindah agama dari Islam ke Katolik. Ucok menilai lukisan kebaya dan selendang Basoeki bisa menonjolkan keagungan Maria. “Semua lini kanvas dijelajahi Basoeki dengan sempurna.”
SEBELUM menetap di gudang rumah jompo Nijmegen, lukisan Maria Assumpta sempat berada di Den Haag. Lukisan itu digantung di kantor Serikat Yesus Den Haag. Saat Serikat Yesus Den Haag menjual semua propertinya, lukisan itu diboyong ke Nijmegen.
Romo Gregorius Budi Subanar, SJ, rohaniwan Yesuit yang tinggal di Yogyakarta, ingat, saat sering ke Nijmegen pada 1990-an, ia masih melihat lukisan Maria itu dipasang di tempat yang layak. “Tahun 1996, 1998, dan 2000, saya beberapa kali mengunjungi rumah jompo Serikat Yesus Nijmegen. Waktu itu saya masih melihat lukisan Maria karya Basoeki Abdullah dipajang di ruang tamu rumah jompo,” ucap rohaniwan yang akrab disapa Romo Banar tersebut.
Lukisan BasOEki Abdullah bertema keluarga Kudus. DOK. Jan Bentvelzen, SJ
Untuk keperluan riset disertasinya waktu itu, Romo Banar sering menginap di kamar kantor pusat arsip Serikat Yesus Belanda yang lokasinya berdampingan dengan kompleks rumah jompo. “Saya tidak tahu mengapa lukisan itu kini ditaruh di gudang. Mungkin karena bangunan rumah jompo itu sekarang menjadi milik universitas Nijmegen. Reorganisasi atau alih fungsi bangunan yang membuat lukisan Maria disimpan di gudang.”
Menurut Romo Banar, Basoeki Abdullah melukis berdasarkan teks kitab suci sastra tulis, yakni Kitab Wahyu abad pertama. “Dalam kitab itu ada ungkapan seorang perempuan berselubungkan matahari, kakinya menginjak bulan. Lukisan itu persis dengan bacaan, tapi dieksplorasi dengan kekhasan spesifik mata Jawa,” tuturnya.
Selama berada di panti wreda Serikat Yesus Nijmegen, lukisan itu sempat sekali keluar ke publik, yakni saat Museum Valkhof di Nijmegen menggelar pameran “Aanwinsten Oude Kunst” pada 20 September 2004-20 Februari 2005. “Saat itu kami hanya meminjamnya karena lukisan itu milik Serikat,” kata kurator Museum Valkhof, Yvette Driever. Menurut Driever, lukisan tersebut menjadi salah satu yang mengeruk perhatian pengunjung pameran saat itu.
Lukisan bertema Maria versi Jawa Djoemingin TAHUN 1920-AN yang dimuat di majalah Claverbond. DOK. Jan Bentvelzen, SJ
Dalam penelitiannya tentang kehidupan Basoeki Abdullah di Belanda, Romo Banar menemukan data bahwa sang maestro sesungguhnya tak hanya sekali membuat lukisan dengan tema Maria. “Ada tiga lainnya, semua dilukis di Belanda,” ujar rohaniwan yang mengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, itu. Basoeki datang ke Belanda, Romo Banar menerangkan, karena dikirim oleh Pater Fredericus Heynen, SJ, pendiri Yayasan St. Claverbond. Yayasan ini berdiri pada 1890. Kurator Rijksmuseum bidang sejarah seni rupa abad ke-20, Harm Stevens, menyebutkan Yayasan St. Claverbond banyak membangun rumah sakit dan sekolah serta memberikan beasiswa untuk mengkampanyekan Katolik di Hindia Belanda. “Yayasan inilah yang memberikan beasiswa kepada Basoeki Abdullah untuk bersekolah di Koninklijk Academie van Beeldende Kunsten, Den Haag, 1933-1936,” tutur Romo Banar.
Menurut Romo Banar, Yayasan St. Claverbond juga membuat majalah misi (Berichten uit Java) dengan nama sama, yakni Claverbond. Majalah yang terbit sejak 1890-an sampai 1960-an itu adalah media propaganda para misionaris Serikat Yesus di Hindia Belanda yang mengabarkan capaian mereka dalam membangun sarana publik. “Saya mendapatkan data foto mengenai tiga lukisan Basoeki lain bertema Maria dari majalah Claverbond,” katanya. Selain membuat lukisan Maria melayang di atas pegunungan seperti yang diletakkan di gudang panti wreda Serikat Yesus Nijmegen, Romo Banar melanjutkan, Basoeki menggambar sosok Maria dengan pose dan latar hampir serupa. “Bedanya, di lukisan yang lain itu ada sosok ular di gunung.”
Dua karya Basoeki lain yang bertema Maria adalah lukisan kelahiran Yesus dan Keluarga Kudus (Yusuf, Maria, dan Yesus). Semuanya juga sangat bernuansa Jawa. Dalam lukisan kelahiran Yesus, Maria digambarkan duduk mengenakan kebaya. Yusuf, ayah Yesus, digambarkan bersurban, mengenakan jas panjang, dan meletakkan tangannya di atas tongkat. Yang menarik, jabang bayi Yesus ditidurkan di atas bunga lotus seperti gambar-gambar Buddha. Di belakang Maria dan Yusuf terdapat sosok-sosok malaikat serta bayang-bayang bangunan yang mirip candi atau pura di Bali yang memiliki menara meru.
Lalu, dalam lukisan bertema Keluarga Kudus, Basoeki menampilkan Maria mengenakan baju kebaya dan batik. Kudung putih panjang menyelimuti kepalanya sampai ke bawah kaki. Ia melayang di atas gunung api. Di atas Maria, ada dua sosok kudus di balik awan. Di bawahnya terdapat bangunan serupa candi dengan tanda salib di bagian ujung atapnya. Candi itu berada di tengah suasana alam dengan pohon-pohon kelapa menjulang subur. Gapura bangunan suci tersebut terbuka dan tampak berduyun-duyun anggota jemaah memasukinya.
“Bangunan suci itu diambil Basoeki dari bentuk Gereja Boro di Yogyakarta,” ucap Romo Banar, yang dalam esainya, “Did the Indonesian Christian Art Paintings Cross the Border of the European Style? The Case of Frans Basoeki Abdullah”, yang dipresentasikan dalam Italian Association of Southeast Asian Studies di Procida, Napoli, Italia, Juni 2016, melampirkan foto Gereja Boro di Yogyakarta tempo dulu. Menurut Romo Banar, keberadaan ketiga lukisan di majalah Claverbond tersebut tak diketahui. “Kita, sayangnya, juga tak bisa mengetahui warna lukisan itu karena saat dicetak di majalah Claverbond hanya berwarna hitam-putih.”
Majalah Claverbond kini langka. Seorang anggota Serikat Yesus, Jan Bentvelzen, berbaik hati mengirimi Tempo salinan majalah Claverbond bertitimangsa 1935. Di majalah itu terdapat artikel berjudul “Javaansche Madonna’s” atau Madonna orang Jawa yang ditulis Profesor -Joseph Schmutzer. Schmutzer menjelaskan bahwa pengilustrasian sosok Maria oleh seniman Kristen Jawa sudah dilakukan sejak akhir 1920-an. “Tapi penggambaran yang sangat realistis dan sempurna dibuat oleh seniman muda Raden Frans Basoeki Abdullah.” Joseph Schmutzer adalah insinyur sekaligus pendiri Partai Katolik Hindia Belanda. Sejak 1912, dia mengelola pabrik gula di Gondang Lipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian, pada 1924, ia menjadi salah satu pendiri Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran,- Bantul.
Dalam lukisan Basoeki, Schmutzer- menulis, Maria dengan raut wajah Jawa terlihat bercahaya. Menurut dia, meski sosok Maria berjarit motif parang rusak, berkebaya gelap bertabur batu permata mewah, serta bergiwang besar—busana yang biasa dikenakan perempuan Jawa pada masa itu—penutup kepalanya ganjil. Sebab, selendang ketika itu lebih sering dipakai perempuan muslim Melayu.
Schmutzer menilai lanskap alam yang melatari lukisan Maria Basoeki menjelaskan suasana tempat banyak kerja kaum misionaris Blenadi di Jawa Tengah, tepatnya di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Di dataran kering kerontang itulah, misalnya, dua misionaris, Pater Frans van Lith dan Pater Hoevenaars, menebarkan benih Katolik. “Di dekat monumen kebudayaan Jawa Kuno yang paling menakjubkan, yakni Candi Borobudur dan Mendut, terbit jiwa, semangat, harapan, akan misi di Jawa,” tulisnya. Van Lith (1863-1926) yang disebut dalam tulisan Schmutzer kemudian dikenal sebagai pastor yang bisa menyelaraskan agama Katolik dengan tradisi Jawa. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Mgr. A. Soegijapranata, SJ, orang Indonesia pertama yang menjadi Uskup Agung.
Lukisan Basoeki Abdullah bertema kelahiran Yesus. Dok. Romo Gregorius Subanar
Dalam tulisan tersebut, Schmutzer juga menyebutkan bahwa Maria Assumpta adalah bagian dari seri lukisan bertema Maria karya Basoeki Abdullah yang terdiri atas tiga karya. Lukisan lain menggambarkan Maria melayang di atas gunung. Bedanya, pada lukisan yang lain itu terdapat gambar ular menyerupai naga yang melingkar di belakang Maria. Sedangkan lukisan lain bertema Keluarga Kudus. Yang menarik, menurut Schmutzer, dua sosok kudus yang berada di atas Maria digambarkan mengenakan mahkota yang mirip dengan tokoh pewayangan. Schmutzer menilai ketiga lukisan ini sebagai penanda kemajuan yang harmonis dalam seni rupa Jawa-Kristen. “Basoeki mampu mengedepankan atmosfer Katolik Jawa dengan cara sederhana tapi tajam,” ujarnya.
TAK ada yang mengetahui nasib ketiga lukisan Basoeki Abdullah bertema Maria. Kurator Amir Sidharta menduga salah satu lukisan itu, yakni tentang Keluarga Kudus, dilelang di Belanda untuk membiayai perbaikan Sekolah Menengah Atas Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan di Magelang, Jawa Tengah. Bangunan sekolah tersebut, kata Amir, pernah rusak terkena dampak agresi militer Belanda pada 1948. “Peneliti kami di Belanda pernah menemukan dokumen berupa selebaran yang berisi penawaran lelang lukisan Basoeki Abdullah,” ucapnya.
Namun, menurut Romo Gregorius Budi Subanar, tidak mungkin hasil lelang itu digunakan untuk pembangunan Seminari Mertoyudan yang hancur karena agresi militer. “Sebab, Seminari Mertoyudan pada 1948-1950 tidak dibumihanguskan Belanda. Seminari Mertoyudan saat itu dipakai untuk sekolah polisi. Jadi enggak mungkin dibumihanguskan. Yang dibumihanguskan Kolese Xaverius di Muntilan,” tuturnya.
Romo Banar masih memiliki informasi menarik tentang lukisan Basoeki Abdullah bertema Maria. “Sebenarnya masih ada satu lagi lukisan Basoeki bertema Maria. Yang ini malah besar sekali,” katanya. Dia bercerita, sepulang dari Belanda, Basoeki pada 1950 mendapat tugas melukis fresco di dinding Gereja Katedral Semarang. “Tahun 1950 adalah Tahun Maria. Saya kira tugas melukis fresco berhubungan dengan itu.”
Foto di majalah Claverbond menampilkan suasana altar Gereja Katedral Semarang PADA 1950-an. Dok. Romo Gregorius Subanar
Romo Banar mendapat bukti bahwa Basoeki melukis fresco di Katedral Semarang juga dari majalah Claverbond. Foto di majalah itu menampilkan suasana altar Katedral Semarang pada 1950-an. Tampak di kanan-kiri altar dua lukisan sangat besar bertema Maria. “Yang satu lukisan Maria menerima kabar dari malaikat, satunya lagi Maria dimahkotai,” ucapnya. Yang menarik, dua sosok Maria dilukis Basoeki dengan gaya Barat, seperti kebanyakan lukisan Maria Eropa. “Tatkala di Belanda, Basoeki melukis Maria sosoknya seperti perempuan Jawa. Tapi, saat kembali ke Indonesia, di Semarang, ia malah melukis Maria bergaya Eropa.”
Sayangnya, Romo Banar melanjutkan, kedua fresco itu kemudian hilang tanpa jejak sama sekali. Ia menduga keduanya telah dihapus. “Pada 1957, saat Monsinyur Soegijapranata menahbiskan imam di Gereja Katedral, lukisan itu masih ada. Saya enggak tahu kapan lukisan itu dihapus atau dibongkar. Kemungkinan besar itu ditimpa. Kalau benar, itu sebuah vandalisme.”
Di luar lukisan bertema Maria, Basoeki membuat lukisan lain yang bersentuhan dengan Katolik. Amir Sidharta mengungkapkan, Basoeki pernah melukis Yesus tengah menggotong salib. Pada 1980-an pun Basoeki menggambar Paus Yohanes Paulus II dan Bunda Theresa. Namun keduanya sekadar potret biasa. Yang unik dan “berdaya magis” memang seri lukisan Maria karyanya. Satu lukisan masih bisa diselamatkan. Itu pun kini, ironisnya, hanya diletakkan di gudang bawah tanah rumah jompo di Nijmegen.
Lea Pamungkas (Nijmegen), Isma Savitri, Seno Joko Suyono (Jakarta), Shinta Maharini (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo