Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu lukisannya disindir begitu, Basoeki remaja kesal juga. Lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini pun bertekad menyempurnakan teknik melukisnya. Karena itu, dia gembira saat Serikat Yesus datang menawarkan beasiswa sekolah di Belanda.
Basoeki, yang kemudian memeluk Katolik dan bernama baptis Fransiskus Xaverius, berangkat ke Belanda pada 1933. “Misionaris memiliki agenda khusus, yakni berharap Basoeki dengan kompetensinya bisa ikut mendorong kerja misioner,” ujar Romo Gregorius Budi Subanar, SJ, saat ditemui di Yogyakarta, pekan lalu. Romo Banar—demikian sapaan akrabnya—adalah rohaniawan Yesuit yang pernah meneliti lukisan Basoeki Abdullah.
Di Belanda, Basoeki kuliah di Koninklijke Academie van Beeldende Kunsten di Prinsessegracht 4, pusat Kota Den Haag. Dari kartu mahasiswa yang diperoleh Tempo dari kampus tersebut, Basoeki tercatat tinggal di Oostduinlaan 19, Den Haag, kawasan perumahan dengan jalan yang lebar di depannya. Rumah kos Basoeki hanya berjarak 20 menit berjalan kaki dari kampus.
Di kampus itu, dia belajar seni kepada pelukis kelahiran Surabaya, Georges Hogerwaard, juga Henk Meyer dan Plantenga. Studinya kelar dalam dua tahun dua bulan, lebih cepat dibanding kebanyakan mahasiswa, yang butuh lima tahun untuk lulus. Itu membuat Basoeki diganjar penghargaan Royal International/Certificate of Art. Kepintaran Basoeki membikin para dosen kesengsem, termasuk Plantenga, direktur akademi untuk seni rupa. Plantenga makin gencar mempromosikan Basoeki setelah melihat lukisan figurnya. Ketika itu, Basoeki melukis bos maskapai penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij, Dr Plesman.
Selama di Belanda, Basoeki produktif melukis. Selain menggambar Maria Assumpta dan seri Madonna Jawa lain, dia melukis pemandangan yang indah. Lukisan-lukisan Basoeki yang masuk kategori Mooie Indie atau Hindia yang cantik ada di balai-balai lelang Belanda dengan banderol harga 100 ribu euro atau sekitar Rp 2 miliar. Februari lalu, salah satu lukisan Basoeki yang dilelang bergambar Gunung Merapi dengan sapuan warna biru pastel serta sawah dan pohon nyiur yang subur. Penjualnya, seorang perempuan, mengklaim lukisan itu hadiah dari Basoeki untuk kakeknya. “Sebagai ucapan terima kasih karena selama di Den Haag pada 1935-1940 Basoeki tinggal di rumah kakek saya,” katanya.
Perempuan ini tak menyebutkan nama sang kakek. Namun ia menjelaskan, kakeknya sutradara sandiwara di Teater Amicitia, Westeinde 14, Den Haag. “Kakek saya sangat bangga sang Pangeran tinggal bersamanya. Dia kerap mengundang Basoeki ke Amicitia.” Pada masa itu, Amicitia, yang dibangun pada abad ke-15, menjadi pusat kebudayaan bergengsi yang kerap disambangi seniman-seniman terkemuka.
Basoeki menghabiskan lebih dari dua dekade di Belanda. Pada 1937, atau setahun setelah lulus kuliah, dia menikahi perempuan Belanda, Josephine. Setahun kemudian, lahir Saraswati di Jakarta. Pada 19 Januari 1940, Basoeki kembali ke Belanda untuk menggelar pameran di Hotel Des Indes, Den Haag. Dalam pameran keduanya di Belanda ini, Basoeki disebut makin terpengaruh oleh gaya Barat. Bahkan surat kabar setempat ketika itu menyebutkan Basoeki mesti berusaha keras menemukan jati dirinya.
Ikatan Basoeki dengan Belanda kembali terjalin setelah ia bercerai dengan Josephine. Ia lalu kawin dengan biduan mezosopran Belanda bernama Maya Mitchel. Pada 1984, Basoeki mengikuti lomba melukis Ratu Juliana. Hajatan yang digelar untuk memeriahkan penobatan Juliana sebagai Ratu Belanda ini diikuti 81 seniman sejagat. Basoeki memenangi kompetisi ini dan setelahnya kembali menghelat pameran di Scheveningen, Belanda.
Lea Pamungkas (Nijmegen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo