Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia harus bolak-balik terbang 24 jam Jakarta-New York untuk menuntaskan agenda padat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Sepanjang Mei ini, Indonesia mendapat giliran memegang presidensi Dewan Keamanan, yang berwenang menerapkan agenda sidang, memimpin pertemuan, mengawasi situasi krisis, dan mengeluarkan pernyataan presidensial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara kepadatan sidang pembahasan peningkatan kapasitas dan pelatihan pasukan penjaga perdamaian, Indonesia menggelar pertemuan informal yang disebut Arria-Formula pada 9 Mei lalu. Isu yang diangkat adalah pemukiman ilegal Israel di wilayah Palestina. “Karena ini pendudukan yang nyata. Kalau terus didesak, apa yang akan tersisa dari Palestina?” kata Retno, 56 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 16 Mei lalu.
Utusan khusus Presiden Amerika Serikat untuk negosiasi internasional, Jason Greenblatt, mendatangi kantor PBB dan menyebut Arria-Formula bias serta anti-Israel. Dia mengkritik keputusan Indonesia dan Dewan Keamanan yang tidak menghadirkan Israel di forum tersebut.
Di tengah waktunya yang sempit selama di Jakarta, Retno menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Mahardika Satria Hadi, dan Angelina Anjar, di ruang kerjanya di kantor Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat. Pertemuan tertunda satu jam karena Retno mendadak dipanggil oleh Presiden Joko Widodo. Diplomat asal Semarang ini berbicara panjang-lebar soal posisi Indonesia dalam konflik Palestina-Israel, dinamika di Dewan Keamanan PBB, dan masa depannya di Pejambon.
Apa yang mendorong Indonesia menggelar pertemuan Arria-Formula terkait dengan konflik Palestina-Israel?
Saat berkampanye untuk menjadi anggota Dewan Keamanan PBB tahun lalu, kami menawarkan formula 4+1. Nah, plus satunya adalah Palestina. Saya yakin, kalau konflik Palestina dengan Israel tidak selesai, tidak akan ada perdamaian di Timur Tengah.
(Empat fokus kerja lain adalah memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global dengan meningkatkan kapasitas pasukan perdamaian PBB, meningkatkan kekompakan organisasi-organisasi di kawasan dan PBB, mendorong pendekatan global-komprehensif untuk memerangi terorisme dan radikalisme, serta menggiatkan pembangunan berkelanjutan.)
Dari sekian banyak isu dalam konflik tersebut, mengapa Anda menyoroti soal pemukiman ilegal?
Karena, pada akhirnya, pemukiman ilegal menciptakan pendudukan nyata atau de facto annexation. Masalah ini juga akan menghambat pembicaraan mengenai proses perdamaian. Pemukiman ilegal memang hanya satu dari beberapa isu yang harus dinegosiasikan. Isu lain adalah batas wilayah. Tapi, di lapangan, perambahan berupa pembangunan permukiman baru mengubah batas wilayah itu secara geografis. Pembangunan permukiman baru ini pun selalu diikuti dengan pertambahan penduduk Israel. Kalau terus didesak, apa yang akan tersisa dari Palestina?
(Retno menunjukkan peta penyusutan wilayah Palestina dari tahun ke tahun.)
Apa dasar klaim Anda?
Ini tidak sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Jadi, ketika berbicara mengenai pemukiman ilegal, kami tidak ngarang. Kami merujuk pada banyak hal yang seharusnya diimplementasikan, seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB 446 pada 1980 hingga Resolusi Dewan Keamanan PBB 2334 pada 2016 serta Kesepakatan Oslo (pembagian kekuasaan antara Palestina dan Israel yang dianggap sebagai titik awal perdamaian pada 1993). Indonesia hanya mengingatkan. Sudah ada dasarnya, kenapa tidak diimplementasikan dan tidak dihormati? Sebenarnya tinggal political will untuk mengimplementasikan itu semua.
Bukankah penambahan permukiman Israel dilangsungkan oleh pengusaha perumahan, bukan pemerintah?
Enggak mungkinlah. Pasti ada izinnya. Memangnya bisa dibangun real estate begitu saja? Selalu ada izin dari otoritas.
Bagaimana dinamika ke-15 anggota Dewan Keamanan saat membahas pemukiman ilegal?
Hampir semua menyampaikan keprihatinan. Satu suara dengan Indonesia mengenai hal itu.
Kecuali Amerika Serikat?
(Tersenyum)
Amerika Serikat diberitakan keberatan. Tanggapan Anda?
(Tersenyum)
Mengapa Israel tidak diundang dalam pertemuan Arria-Formula?
Pertemuan Arria-Formula itu bukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Berbentuk informal, tapi terbuka, siapa pun boleh datang.
Apakah memakai undangan?
Pemberitahuan bahwa akan ada Arria-Formula pada tanggal dan jam sekian di sini. Silakan hadir.
Israel tahu?
Iyalah.
Amerika Serikat mengkritik Indonesia karena tidak menghadirkan Israel dalam pertemuan yang menyangkut Israel….
Ini pertemuan terbuka. Tapi ada peraturan bahwa yang berbicara hanya anggota Dewan Keamanan.
Sejauh mana posisi Indonesia, yang memegang presidensi Dewan Keamanan pada Mei 2019, dapat mendorong isu Palestina?
Kita berada pada suatu titik kritis. Tapi ada rencana Amerika Serikat mengeluarkan “deal of the century”. Kami belum tahu elemennya akan seperti apa. Tidak ada petunjuk sama sekali. Mudah-mudahan “deal of the century” itu keputusan yang mengakomodasi semua parameter yang sudah disepakati secara internasional. Kalau tidak, saya khawatir itu akan merugikan Palestina.
Kita membicarakan Amerika Serikat, yang presidennya memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem....
Mengenai kedutaan adalah hal yang terpisah, walaupun akhirnya mungkin akan nyambung. Karena tidak tahu petunjuknya, saya tidak bisa berbicara. Cuma bisa berharap.
Bagaimana Anda memandang kembali terpilihnya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap isu pemukiman?
Itu juga salah satu hal yang dikhawatirkan. Ada pernyataan saat kampanye bahwa sebagian wilayah Tepi Barat akan kembali dianeksasi.
Presiden Palestina Mahmud Abbas berharap Dewan Keamanan bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan agresi Israel di Gaza. Apa yang telah Indonesia lakukan?
Sejak the new cycle of violence terjadi 3 Mei lalu, kami mulai berkomunikasi dengan semua pihak terkait pada 4 Mei. Intinya, setiap kali ada violence, sebelum kita berbicara macam-macam, hentikan kekerasan. Itu dulu. Saya pertama-tama bertemu dengan Duta Besar Mesir karena Mesir berusaha menjembatani rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas (dua kekuatan politik terbesar di Palestina). Apalagi mereka berbatasan langsung dengan Gaza. Lalu saya berbicara dengan utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Timur Tengah, Nickolay Mladenov, melalui telepon karena dia sedang di Timur Tengah. Saya pun berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dan Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki. Waktu itu dia di New York. Jadi kami memiliki gambaran yang cukup jelas mengenai gencatan senjata, harapan soal gencatan senjata, dan sebagainya.
Warga Indonesia tidak lepas dari gambaran Israel sebagai agresor dan Palestina sebagai korban. Fakta apa yang Anda dapatkan dari tokoh-tokoh itu?
Yang kami suarakan adalah upaya menghentikan kekerasan. Itu berlaku untuk semua. Yang terjadi, biasanya, ada demonstrasi di perbatasan, setiap Jumat. Biasanya, kalau Israel merasa terprovokasi, jatuhlah korban. Kalau jatuh korban, ada reaksi dari Palestina. Lalu Israel bereaksi guedhe banget. Eksesif.
Reaksi besar itu yang kemudian jadi berita?
Seperti itu. Saya lebih condong untuk berpikir ini semua sebagai penyakit. Apa akar masalah penyakit ini? Jadi asal kasih obat pusing buat orang sakit kepala kalau ternyata, nauzubillah, ada kanker. Obat pusing bisa selesaikan sakit, tapi sebentar. Jangan sampai hilang pemahaman mengenai akar masalahnya, yaitu pendudukan Israel terhadap Palestina.
Menangani akar masalah dengan solusi dua negara?
Solusi dua negara is the only option for us, and for most of the countries. Saya baru berbicara dengan Austria. Sama seperti banyak negara lain, the two states solution is the only option. Kalau one state, berarti harus ada yang ditiadakan. Siapa yang mau ditiadakan?
Presiden Joko Widodo berpesan soal isu Palestina?
Beliau memberikan arahan, misalnya saat kami sedang mengajukan diri sebagai anggota Dewan Keamanan PBB tahun lalu. Saya berkonsultasi dengan Presiden. Sebenarnya apa yang saya lakukan adalah menerjemahkan keinginan Presiden. Kaptennya kan Bapak, bukan saya.
Apa persisnya perintah Presiden?
Berikan prioritas kepada isu Palestina.
Seberapa optimistis Anda memandang tercapainya perdamaian antara Palestina dan Israel?
Jadi ini isu yang sangat-sangat tidak mudah. Tugas kita terus berusaha. Dalam bahasa yang gampang, kita tahu ini masalah susah. Kalau ada masalah susah, pilihannya dua: you want to do something or you want to do nothing. Pilihan kedua mah gampang. Diemin aja. Tapi, kalau mau berbuat sesuatu, kamu harus lelah, harus berdarah-darah. Belum tentu juga upayanya berhasil. Tapi kita akan berdosa kalau tidak melakukan sesuatu untuk berusaha mengubah situasi demi keadilan. Intinya itu.
Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi: Kami Hanya Mengingatkan Dunia Soal Palestina/ANTARA FOTO/HO/Kemenlu/sgd/foc
Mengapa Indonesia mengangkat operasi pemeliharaan perdamaian sebagai isu utama pada masa kepemimpinan di Dewan Keamanan?
Pertama, operasi perdamaian adalah alat PBB yang paling efektif dan efisien untuk memelihara perdamaian. Pengiriman pasukan penjaga perdamaian delapan kali lebih murah dibanding pengiriman pasukan unilateral. Kedua, operasi perdamaian merupakan bentuk dari multilateralisme. Ketiga, Indonesia masuk daftar delapan besar negara penyumbang pasukan perdamaian. Saat ini jumlahnya 3.080 orang.
Apa saja tugas mereka?
Mandat pasukan perdamaian makin banyak, selain mengawasi gencatan senjata. Misalnya berhubungan dengan otoritas, seperti memberikan pelatihan kepada penegak hukum di negara yang bersangkutan agar mereka siap saat pasukan perdamaian ditarik. Lalu mereka harus memahami hukum internasional dan hukum humaniter. Mereka pun harus belajar bahasa karena sebagian besar misi perdamaian berada di negara-negara yang berbahasa Prancis di Afrika. Peningkatan kapasitas dan pelatihan itu dibutuhkan agar performa mereka meningkat. Itu juga diperlukan untuk melindungi keselamatan mereka sendiri.
Belakangan, perempuan menjadi ikon pasukan penjaga perdamaian. Berapa persentase perempuan dalam pasukan?
Sudah menembus seratus orang, sekitar 3 persen dari total personel pasukan perdamaian kita. PBB sendiri sudah 4-5 persen. Karena itu, saya bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Hadi Tjahjanto berusaha meningkatkan peran perempuan dalam operasi perdamaian.
Mengapa peran perempuan penting?
Korban paling banyak dari sebuah konflik atau perang adalah perempuan dan anak-anak. Sebuah komunitas akan cepat bangkit kalau kaum perempuannya lebih cepat pulih dari trauma karena merekalah yang menjalankan kehidupan keluarga dan berhubungan dengan anak-anaknya. Tapi, di beberapa tempat, kaum perempuan sulit berbicara terbuka dengan laki-laki. Mereka merasa lebih nyaman berbicara dengan sesama perempuan. Perempuan pun, by nature, diberi kekuatan untuk lebih bisa memenangkan hati dan pikiran masyarakat.
Di sisa waktu kepemimpinan Indonesia, apakah Anda juga akan mengangkat isu keamanan kawasan?
Tidak, karena agendanya sudah disepakati sejak awal. Kalau tidak ada kondisi luar biasa yang mengharuskan sebuah isu dibawa ke Dewan Keamanan PBB, kami akan lebih banyak membahas masalah Timur Tengah dan Afrika.
Tahun depan Indonesia mungkin kembali memegang presidensi di Dewan Keamanan PBB. Kira-kira Anda masih menjabat Menteri Luar Negeri?
Tanya sama Presiden dan Tuhan, he-he-he….
Jika masa jabatan Anda berakhir tahun ini, pekerjaan rumah apa yang masih tersisa sebagai Menteri Luar Negeri?
Politik luar negeri kita bukan lima tahun putus, lalu baru lagi. Perubahan pasti ada, tapi kontinyu dengan sebelumnya. Politik luar negeri kita konsisten, baik untuk masalah perbatasan, perlindungan warga negara Indonesia, diplomasi ekonomi, maupun peran Indonesia di kawasan dan dunia. Tentunya, untuk lima tahun ke depan, tantangannya berbeda. Monggo saja kalau prioritas akan disesuaikan.
Bagaimana dengan kampanye Indonesia untuk menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB 2020-2022?
Itu salah satu hal yang sedang kami perjuangkan. Pemilihan akan digelar pada Oktober tahun ini.
Apakah keanggotaan Dewan Keamanan bisa memperkuat Indonesia dalam pemilihan Dewan HAM?
Penilaian orang terhadap suatu negara tidak terkotak-kotak, tapi secara keseluruhan. Maka, dalam kampanye, kita ingin mengatakan bahwa, secara bersamaan, Indonesia berkontribusi dalam isu keamanan dan perdamaian serta isu hak asasi manusia.
Retno Lestari Priansari Marsudi
Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 27 November 1962 | Pendidikan: SMA Negeri 3 Semarang; S-1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada; S-2 Hukum Uni Eropa Haagse Hogeschool, Belanda | Karier: Menteri Luar Negeri (2014-sekarang), Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012-2014), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri (2008-2012), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia (2005-2008), Direktur Eropa Barat Kementerian Luar Negeri (2003-2005), Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002-2003)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo