Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Najaf, Irak, kami terbang hampir dua jam ke Mashad, Iran. Hampir semua peziarah, terutama asal Indonesia, mampir ke Mashad setelah prosesi arbain di Karbala. Masuk ke Mashad lebih mudah prosedurnya dibanding masuk melalui Bandar Udara Imam Khomeini di Teheran. Petugas imigrasi di sana sangat bersahabat kepada peziarah Imam Reza. Saya, yang tak mengantongi visa dari Jakarta, bisa mengurus visa on arrival dalam hitungan menit. Saya hanya membayar biaya visa tak sampai US$ 65 (sekitar Rp 845 ribu).
Di Mashad, saya dan rombongan hendak berziarah ke makam Imam Ridho. Dalam ajaran Syiah Imamiah atau Syiah 12 Imam (itsna asyariyah), makam para imam Syiah tersebar di tanah Arab, yakni di permakaman Baqi, Madinah, dan beberapa kota di Irak. Hanya satu makam, yaitu imam kedelapan, Ali ar-Ridho, anak Imam Musa Kadzim—di Iran biasa disapa Imam Reza—yang terpisah.
Lahir di Madinah pada 148 Hijriah atau 765 Masehi, imam ini dikenal pandai dan selalu memelopori diskusi antaragama saat pemerintahan di bawah khalifah bani Abasiyah, Al-Ma'mun. Ia hijrah ke Mashad di kawasan Khurasan, Persia, dan tewas diracun sang khalifah.
Kompleks makam Imam Ridho luas serta megah dan senantiasa menjadi nukleus dari kota kedua terbesar di Iran itu. Mashad merupakan kota modern yang tertata rapi. Jalur pedestriannya lebar dan nyaman. Transportasi publik juga terintegrasi antara kereta bawah tanah dan bus (mirip Transjakarta). Di seputar haram—demikian sebutan makam Imam Ridho—tampak deretan pertokoan. "Kompleks toko ini milik Yayasan Imam Ridho. Imam termakmur ini menyumbang banyak untuk masyarakat bukan hanya untuk Kota Mashad, tapi juga seluruh dunia," kata Ustad Ahmad Hidayat, pembimbing ziarah.
 Sebagai tamu Imam Ridho, kami mendapat undangan makan dari pengurus makam. Pulangnya, pengurus itu menghadiahi kami sebungkus gula-gula dan garam. Imam Syiah menganjurkan sebelum makan sebaiknya mencicipi garam.
Siang itu suasana Mashad sangat ramai dan meriah, terutama di sekitar makam Imam Ridho. Ada parade drum band dan unjuk pedang. Saat itu memang memasuki Hari Syahidnya Imam Ridho.
Pada 2017, UNESCO menetapkan Mashad sebagai kota kebudayaan Islam. Kampanye tentang itu dilakukan lembaga ilovehussain.org di antara perjalanan Najaf dan Karbala. Lembaga yang berpusat di Iran dan memiliki sejumlah relawan dari seluruh dunia ini—termasuk dari Indonesia—memiliki mawkib (tempat persinggahan) di tiang 741. Mereka menyediakan tenda istirahat yang nyaman, makan siang dan malam gratis, foto-foto gratis, permainan anak, dan informasi tentang lembaga tersebut. Bahkan disediakan undian gratis, undangan ke Mashad 2017, bagi peserta yang mengisi amplop. Rencananya, dari setiap negara akan diundang minimal satu orang.
Nama Mashad dalam bahasa Arab berarti "tempat para syuhada". Sejumlah penyair lahir di kota ini, seperti Shahnameh, yang terkenal dengan panggilan Ferdowsi. Mashad juga terkenal sebagai kota dengan perpustakaan literatur Islam terlengkap di dunia dalam bahasa Arab, Persia, Prancis, dan Inggris. Karena itulah UNESCO menjatuhkan pilihan Mashad sebagai kota pusat kebudayaan Islam.
Bekunjung ke Mashad, sebagai kota kebudayaan, rasanya tak afdal jika tak mampir ke Nisyapur atau Naishaboor. Kota yang bisa ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Mashad itu masih dalam provinsi yang sama, Khurasan. Kota itu merupakan tempat lahir dan makam penyair Omar Khayyam dan Fariduddin Attar. Kami berempat menyimpang dari jadwal rombongan dengan menyewa taksi US$ 60 (sekitar Rp 780 ribu).
Pagi-pagi, sekitar pukul 06.00, sopir taksi sudah menjemput kami di hotel tempat kami menginap. Hari itu ada beberapa tempat yang kami kunjungi. Selain ke makam Omar Khayyam dan Attar, kami mengunjungi petilasan Imam Sajjad dan situs desa yang terkubur karena longsor.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kompleks makam Omar Khayyam. Penyair kelahiran Nisyapur pada 18 Mei 1048 itu sebenarnya ahli matematika dan astronomi. Khayyam terkenal mengoreksi hingga enam desimal di belakang koma, mengukur panjang satu tahun sebagai 365,24219858156 hari, dengan sangat akurat. Dia juga pernah membuat peta bintang di angkasa. Namun, di akhir hayat, ia lebih dikenal sebagai penyair, dengan karyanya The Rubaiyat of Omar Khayyam.
Berbeda dengan makam para imam, di makam Omar Khayyam yang berbentuk seperti taman itu pengunjung harus membayar biaya masuk sekitar Rp 125 ribu. Setelah masuk area, pengunjung akan bertemu dengan patung Khayyam. Lalu di cungkup setinggi 5 meter di bawahnya terletak makam Khayyam. Hawa musim dingin yang anjlok hingga minus 12 derajat Celsius membuat pengunjung makam itu tak terlalu banyak. Sejumlah seniman tampak datang merenung dan mengambil gambar.
Nisyapur juga terkenal dengan batu pirus. Tak jauh dari kompleks makam terdapat toko penjual batu yang berwarna biru laut itu. Teman saya penggemar batu pirus membeli batu seukuran kacang kedelai seharga US$ 20 (sekitar Rp 260 ribu) per buah. "Di sini betul-betul asli pirus, beli di tempatnya," ujar Sonny, kawan itu. Dia membeli hampir 10 batu pirus dengan berbagai model. Paling mahal US$ 50 (sekitar Rp 650 ribu).
Dari makam Omar Khayyam, kami ke makam Fariduddin Attar. Bekas pedagang parfum dan penjual obat itu terkenal dengan prosanya di Indonesia, antara lain Musyawarah Burung. Penyair kelahiran Nisyapur pada 1145 Masehi itu wafat pada 1220. Masuk ke makam itu, pengunjung juga harus membayar. Di taman kompleks makam itu terdapat patung Attar dan altar makam yang dilindungi cungkup tinggi.
Hanya sepelemparan batu, kami berkunjung ke desa yang pernah tertimpa tanah longsor. Bukan dilupakan, malah situs itu dijadikan museum alami. Tulang-belulang korban dilindungi kaca transparan. "Lima anggota keluarga saya tewas tertimbun di sini," kata Fariz, sopir taksi yang membawa kami, dengan wajah sedih.
Fariz juga membawa kami ke petilasan Imam Sajjad—julukan Imam Ali Zainal Abidin—putra Imam Hussain yang selamat dari peristiwa Karbala. Di sini tampak bekas telapak kami Imam Sajjad yang replikanya dijual kepada pengunjung. Juga mata air yang diyakini bisa membawa berkah. Beberapa pengunjung mengambil air dengan jeriken yang dibeli di pintu masuk kompleks itu. Kendati di depan pintu masuk mata air itu ditulis "Air ini tidak dapat diminum, tidak sesuai dengan standar kesehatan", banyak orang yang tidak peduli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo