Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Internasional Najaf, Irak, terasa begitu sesak. Setiap 15 menit, pesawat mendarat. Ruang tunggu kedatangan dipadati penumpang. Pertengahan November 2016 itu memang saat yang sibuk bagi kota berjarak sekitar 150 kilometer ke arah selatan dari Bagdad tersebut. Sepekan lagi, peringatan 40 hari gugurnya Imam Hussain, putra khalifah Islam ke-4, Ali bin Abi Thalib, diselenggarakan di Karbala. Menyambut peringatan arbain itu, sekitar 30 juta orang peziarah dari pelbagai negara akan berjalan kaki dari Najaf ke Karbala.
 Dalam sejarah Islam, kita mengetahui bahwa Imam Hussain, cucu Rasulullah Muhammad SAW, terbunuh di Karbala oleh pasukan Yazid ibn Muawiyah, tak jauh dari Sungai Eufrat, pada 10 Muharam 61 Hijriah atau 10 Oktober 680 Masehi. Kini para pemeluk Syiah memperingati peristiwa itu dengan melakukan long march dari Najaf ke Karbala—sekitar 100 kilometer. Jarak itu biasa ditempuh kira-kira empat hari.
Bandara Najaf, yang baru dibuka bagi penerbangan sipil pada Juli 2008, menjadi gerbang peziarah Syiah, terutama yang hendak ke makam Imam Hussain di Karbala. Bagi peziarah, perjalanan ini menjadi lebih mudah dan aman karena tak perlu lagi ke Bagdad, yang masih rawan keamanannya.
Para peziarah—orang Irak menyebutnya zair atau zuwar—datang ke Najaf untuk meminta "restu" ke makam Imam Ali bin Abi Thalib, yang berada di kota itu, sebelum mereka ke Karbala. Maka tak mengherankan jika bandara penuh sesak. Penumpang yang turun tak bisa berlama-lama di ruang tunggu kedatangan. Mereka harus segera pindah ke ruang berikutnya, antre, menunggu persetujuan agar bisa keluar dari bandara.
Meski telah mengantongi visa, orang tak bisa langsung bergegas menuju pintu keluar imigrasi. Keluar dari sana, orang harus membayar lagi US$ 10 (sekitar Rp 130 ribu). Padahal, saat mengurus visa di Kedutaan Besar Irak di Jakarta, peziarah dikenai tarif US$ 35 (sekitar Rp 455 ribu). Tambahan pembayaran itu cukup memberatkan. Saya melihat banyak calo yang mengurus agar bisa cepat keluar dari bandara. Mereka menawarkan tarif US$ 20-50 (Rp 260-650 ribu) per orang untuk jasa tersebut.
Enam jam menunggu, barulah saya bisa keluar dari Bandara Najaf. Itu pun dibantu oleh seorang pemuda Irak bernama Abdullah. Hari itu cuaca Najaf begitu cerah. Matahari bersinar garang. Namun hawa dingin di bawah 10 derajat Celsius mengepung salah satu kota suci di Irak tersebut. Angin dingin menembus empat lapis pakaian termasuk sweater dan jaket tebal yang saya kenakan.
Di Najaf, saya tinggal di Hussainiyah (majelis taklim) milik Sayyid Izuddin, ulama, putra marja' (ulama rujukan) di Irak. Hampir 100 orang tinggal di sana. Selain rombongan kami yang berjumlah 12 orang, ada penginap dari India, Pakistan, Libanon, Turki, dan Kanada. Mereka datang silih berganti. Â
Sebelum ke Karbala, peziarah mampir ke makam Imam Ali bin Abi Thalib. Bagi peziarah yang hendak melakukan prosesi arbain di Karbala, datang ke makam sang imam di Najaf adalah kewajiban. Hertasning, 45 tahun, peziarah asal Indonesia, bercerita, karena terburu-buru hendak berjalan kaki ke Karbala, dia sempat tersasar 8 kilometer ke arah Kufah. "Ini kayaknya gara-gara saya tak pamit dulu ke makam Imam Ali," katanya.
Kompleks makam Imam Ali tak pernah sepi. Siang-malam peziarah berdatangan. Kadang diberlakukan peraturan buka-tutup lantaran pengunjung membeludak. Kebanyakan peziarah berupaya menyentuh dan mencium pagar makam, lalu menggosok-gosokkan kain hijau yang mereka bawa ke pagar makam sebagai tanda cinta. Mereka yakin ini akan membawa berkah. Peziarah lain ada yang menunaikan salat dan berdoa di kompleks makam.
Tak jauh dari makam Imam Ali, di sebuah jalan kecil, terdapat Museum Imam Khomeini. Di situlah pemimpin revolusi Iran ini pernah tinggal dan belajar. Tempatnya sederhana. Sebuah bangunan dari tanah liat. Ada ruang atas, ruang tengah, dan ruang bawah tanah—tempat tinggalnya saat musim dingin. Ada juga foto-foto Imam Khomeini saat belajar di sana, sejumlah peninggalan, dan perpustakaan.
 Najaf memang dikenal sebagai kota ilmu. Sejumlah ulama besar merupakan lulusan dari hauzah (madrasah) Najaf. Di antaranya ulama terkemuka di Suriah, almarhum Ayatullah Sayyid Hussain Fadlullah, dan ulama Libanon, pemimpin Hizbullah, Sayyid Hasan Nasrallah.
Mereka belajar seperti di pesantren di Jawa, di bawah bimbingan guru secara tradisional (sorogan). Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, mereka mempelajari ilmu lain. Imam Khomeini, misalnya, bukan hanya ahli agama. Ia juga memahami Marxisme dan filsafat Barat lain. Kini banyak orang dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang menimba ilmu di hauzah Najaf secara gratis.
Selama dua hari berada di Najaf, saya juga mengunjungi Kota Kufah. Kota itu penting karena di masa pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat administrasi dari Madinah ke Kufah. Di sana pula Imam Ali tewas pada 21 Ramadan, dua hari setelah ditikam Ibnu Muljam, saat salat subuh di Masjid Kufah, tak jauh dari tempat tinggalnya. Kini pengikut Syiah meyakini Masjid Kufah sebagai masjid keramat ke-4 setelah Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Masjid Kufah memiliki panjang 110 meter dan lebar 101 meter. Tempat salatnya seluas 5.520 meter persegi. Di masjid itu terdapat 187 tiang, 4 menara setinggi 30 meter, dan 5 gerbang. Lalu ada ruang terbuka seluas 5.662 meter persegi. Para peziarah Syiah meyakini sebuah riwayat yang mengatakan bahwa masjid itu dirancang dan dibangun oleh Nabi Adam lalu direnovasi oleh Nabi Nuh setelah banjir bandang.
Tak jauh dari masjid terdapat rumah Imam Ali. Rumah itu berupa lorong-lorong berdinding dan berlantai tanah, dengan kamar tidur hanya seluas 2 x 3 meter. Ada juga ruang lain yang lebih kecil, tempat Imam Ali mengaji. Di sekitar rumah itu terdapat mata air, Mata Air Fatimah (istri Ali). Di sana terdapat plang besar berisi doa yang harus dibaca sebelum memanfaatkan air itu agar membawa berkah.
Tempat penting lain di Kufah bagi peziarah Syiah adalah Masjid Sahlah. Berjarak sekitar 2 kilometer di barat daya Masjid Kufah, masjid itu juga dikenal dengan Masjid Suhail atau Bani Dzafar atau Abdul Qais. Kaum Syiah percaya para malaikat dan nabi-nabi pernah salat di sana. Bahkan mereka meyakini Imam Mahdi muncul tiap waktu zuhur di masjid tersebut. Siang itu banyak peziarah yang menjalankan salat zuhur dan berdoa menyampaikan hajat mereka di Masjid Sahlah.
Long march menuju Karbala dimulai empat hari sebelum 20 Safar atau 21 November 2016. Pagi itu kami, sekitar 50 orang, berkumpul di jalan depan penginapan untuk berdoa sebelum memulai perjalanan. Bagi saya, ini merupakan pengalaman pertama mengikuti prosesi ziarah jalan kaki hampir 100 kilometer dari Najaf ke Karbala bersama sekitar 30 juta penganut Syiah dari berbagai penjuru dunia.
Ziarah ke Karbala sebetulnya sudah berlangsung sejak dulu. Di era kekuasaan Saddam Hussein, ziarah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Para peziarah berjalan kaki melewati jalan kecil dan kampung-kampung yang terlindung. Sebab, jika ketahuan tentara Saddam, mereka bisa dihabisi.
Sejak Saddam terjungkal—Saddam dihukum mati pada 2006—para peziarah mulai berani. Penganut Syiah di Irak yang mencapai sekitar 65 persen populasi mulai terang-terangan berziarah. Begitu juga warga Syiah dari Iran tak lagi diam-diam mendatangi Karbala.
Sejak itu, prosesi ziarah massal secara terbuka mulai berlangsung. Adapun prosesi pada 2016 boleh dibilang bersifat massal dan sangat besar karena diikuti jutaan peziarah Syiah dari pelbagai negara. Dari Indonesia, ada sekitar 500 orang yang ikut dalam rombongan long march Najaf-Karbala tersebut.
Hari pertama, kami berencana berjalan sejauh sekitar 16,8 kilometer hingga menjelang batas kota. Setelah itu, kami akan berjalan 5 kilometer, lalu 7 kilometer lagi untuk mencapai tiang pertama. Nomor tiang adalah penentu pertemuan (meeting point). Jarak antartiang sekitar 500 meter, dari tiang nomor 1 hingga 1.460 menjelang Karbala.
Tiang pertama tempat kami bertemu dan menginap adalah tiang 87. Pada awal perjalanan, kami masih kompak dalam barisan. Tapi, setelah sekian lama dan makin jauh, kami sudah tercerai-berai. Karena itu, patokan tiang menjadi penentu pertemuan.
Di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak berdiri mawkib (persinggahan) yang menyediakan tempat beristirahat. Ini semacam rest area. Di sana tersedia makanan, pelayanan pijat, charger telepon, dan Wi-Fi gratis. Mawkib juga menyediakan jasa pelayanan kesehatan; reparasi sol sepatu, tas, dan roda kereta bayi; hingga "reparasi kaki".
Saya sempat mencoba "reparasi kaki" (foot bliss) karena merasa ada yang tidak beres setelah dua hari berjalan kaki. Di sana ada sekitar 10 dokter siaga, berjejer menangani berbagai masalah kaki peziarah. Kaki saya dijahit, dan setelah itu, berjalan tak terasa menyakitkan lagi.
Mendekati Karbala, pekik "Labaika Ya Hussain!" dari para peziarah menggema sepanjang jalan. Saya takjub begitu memasuki Kota Karbala. Saya mampu berjalan kaki hampir 100 kilometer menembus hawa dingin selama empat hari. Sore itu, suasana kota begitu ramai. Ribuan orang lalu-lalang. Mawkib yang menyediakan pelayanan makan-minum dan jasa-jasa lainnya secara gratis bercampur dengan pedagang kaki lima.
Karbala telah tumbuh menjadi kota yang ramai. Jalan layang, hotel, rumah sakit, dan toko-toko bertingkat mengepung kota yang berjarak sekitar 105 kilometer barat daya Bagdad itu. Kota Karbala merupakan pusat Provinsi Karbala, yang berbatasan dengan Gurun Suriah dan Arab Saudi di sebelah barat.
Banyak riwayat tentang asal nama Karbala. Salah satunya menyebutkan Karbala diambil dari kata "karbal", yang berarti "membersihkan"—karena wilayah itu merupakan kawasan tandus, hanya ada kerikil dan bebatuan. Lalu para petani membersihkan tempat itu untuk bercocok tanam.
Riwayat lain berasal dari ayah Imam Hussain, Imam Ali, dan kakeknya, Rasulullah SAW. Karbala berasal dari kata "karbun" dan "bala", yang bermakna "siksa/derita" dan "petaka/cobaan". Jadi, menurut riwayat itu, pembantaian Imam Hussain dan pengikutnya di Karbala sudah diperkirakan bakal terjadi.
Pada zaman pra-Islam, Karbala merupakan permukiman kaum Kristen. Tak mengherankan bila sampai sekarang banyak pendeta yang juga berziarah ke Karbala karena ada makam pemuka Kristen di daerah Nawawis, tak jauh dari makam Imam Hussain. Para pendeta yang berziarah menyebut tempat itu Taman Eden. "Saya pernah mengantarkan rombongan pendeta yang ingin berziarah ke Taman Eden di Karbala," ujar Hisham, pemilik biro perjalanan di Indonesia.
Suasana Karbala pada November 2016 sungguh riuh. Jutaan peziarah Syiah, dari anak-anak hingga kakek-kakek, berduyun-duyun menuju kompleks makam Imam Hussain dan saudara seayahnya, Abu Fadl Abbas. Sebelum ke makam Imam Hussain, peziarah mampir ke makam Abbas. Mereka berdoa di sekitar makam itu. Mereka percaya permohonan doa di sana akan dikabulkan, terutama untuk keselamatan perjalanan, barang hilang, dan kesulitan hidup.
Makam Abbas dan Imam Hussain terhubung lorong sejauh 500 meter. Lorong sepanjang itu juga digunakan orang untuk berdoa dan salat sunah, sehingga jalan menuju makam Imam Hussain penuh orang berdesakan.
 Tak mudah menyentuh makam Imam Hussain. Setelah tiga kali masuk antrean dengan impitan massa peziarah, saya terpental keluar. Berbeda ketika berziarah pada 2005, saya bisa khusyuk menciumi pagar makam, mengusap-usap kain hijau, bahkan memasukkan kartu nama. Kali ini saya hanya bisa berdoa, membaca Quran, dan salat sunah di sekitar makam.
Dalam sejarah, makam Imam Hussain kerap dihancurkan dan menjadi sasaran kemarahan penguasa. Namun ada juga penguasa yang membangun kembali. Pada 236 Hijriah, Al-Mutawakkil dari Bani Abbasiah mengeluarkan perintah untuk menghancurkan makam Imam Hussain beserta rumah-rumah di sekitarnya. Tapi sebelas tahun kemudian, setelah terbunuhnya Al-Mutawakkil, anaknya, Al-Muntashir, kembali membangun tempat-tempat suci Ahlul Bait. Setelah itu, banyak orang kembali menetap di Karbala.
 Selain makam Imam Hussain dan Abu Fadhl Abbas, di Karbala terdapat banyak makam tokoh besar, ulama, dan sayyid atau keturunan Rasulullah. Karbala menjadi pusat perkabungan. Musim ziarah terjadi pada pertengahan bulan Sya'ban, Muharram, dan puncaknya arbain (20 Safar)—hari perkabungan memperingati 40 hari gugurnya Imam Hussain.
Meski begitu, Karbala bukan hanya pusat perkabungan. Tempat itu juga menjadi semangat dari harapan hidup seorang penganut Syiah. Maka terkenal istilah "kullu yaumin asyyura, wa kullu ardhin karbala"—setiap hari adalah Assyura dan setiap tanah adalah Karbala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo