Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG ibu menggendong putranya. Wajah keduanya dilukis layaknya potret lengkap dengan pigura. Si putra yang masih balita tersenyum lebar. Si ibu juga memberi senyum, meski sedikit ditahan, dalam lukisan akrilik di atas kertas berjudul Mother and Son itu.
Di samping karya tersebut, perempuan yang sama dilukis dari dada ke atas. Kali ini dia dilukis dari sisi kiri, dengan seorang gadis belia. Keduanya menatap jauh di bawah langit kelabu. Mata dua model dalam lukisan berjudul Wind and Rain itu tampak memancarkan kecemasan.
Lukisan-lukisan itu merupakan karya Xie Dongming, pelukis realis asal Cina. Sepanjang pekan lalu, Xie menampilkan karya-karyanya di Gedung D Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Torehan kuasnya kuat dan berkarakter. Xie tak ragu menumpuk warna pada wajah obyek lukisannya untuk menghasilkan efek cahaya dan bayangan.
Dalam pameran tunggal itu, bukan sekadar keindahan atau tekniknya dalam melukis yang menjadi perhatian, tapi siapa yang hendak ditampilkan Xie dalam lukisan-lukisan tersebut. Dua karya yang menggunakan model yang sama itu dilukis di Xinjiang, provinsi di barat laut Cina. Model perempuan yang merupakan penduduk setempat itu mengenakan topi melingkar berhias manik-manik yang tersembunyi di balik kerudung—penutup kepala tradisional perempuan suku Uighur.
Xie dalam pameran tunggal pertamanya di Indonesia itu menampilkan banyak potret wajah kelompok masyarakat yang tinggal jauh dari kota besar. Ketika banyak pelukis angkatannya melukis modernitas di negaranya, baik yang mengagungkan maupun mengkritik, Xie berbeda. Pelukis 60 tahun ini justru menyepi dari hiruk-pikuk Tiongkok yang terus membangun.
Xie berkelana ke desa-desa terpencil, tanpa listrik ataupun air keran. Dia tinggal di sana selama satu-dua minggu untuk melukis. Sesekali dia melukis aktivitas masyarakat di sana, tapi sering kali dia berfokus pada wajah mereka. "Ekspresi wajah bicara sejuta kata," ucap Xie saat pembukaan pameran itu.
Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran itu merupakan hasil pengembaraan Xie ke berbagai pelosok negeri selama beberapa tahun terakhir. Pada lukisan The Girl in the Forest, misalnya, Xie berfokus pada wajah seorang gadis belia. Rambutnya diikat ekor kuda, kulitnya lebih gelap, matanya belo. Karya itu dilukis Xie saat dia menjelajahi Kamboja.
Lalu ada lukisan wajah gadis berkerudung yang, dari gradasi warnanya, terlihat sedang berada di depan cahaya. Meski sumber cahaya tak terlihat dalam lukisan itu, Xie memberi warna dan torehan kuas yang kuat untuk memberi efek tersebut. Di samping lukisan itu, ada lukisan wajah gadis berkerudung dengan pose dan perspektif yang sama. Bedanya, mata si gadis melirik ke kanan. Dua karya itu dilukis Xie di sebuah desa terpencil di Tibet.
Ada banyak wajah dari beragam ras dan latar berbeda pada pameran ini, "Tapi sesungguhnya yang hendak saya tonjolkan adalah persamaan," kata Xie. Bagi dia, kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda etnis dan hidup terpencil itu punya satu persamaan. Mereka menjalani hidup dengan cara yang sederhana, paling autentik, dan jujur. Xie mengagumi cara hidup seperti itu. Kekaguman itu bisa dilihat dari lukisan-lukisan potretnya yang terasa dekat dan hangat, yang juga merangkum interaksi hidup.
Salah satu karyanya dalam pameran itu dilukis di Yogyakarta pada 2014. Saat itu Xie menggelar pameran bersama seniman-seniman asal Negeri Tirai Bambu di Jakarta. Xie menyempatkan diri menjelajahi Yogyakarta. Di kaki Gunung Merapi, dia bertemu dengan seorang lelaki yang tengah menambang pasir sisa abu vulkanis. Dia tergugah melihat pemandangan itu dan mulai melukis. Namun kulit Xie terbakar matahari sehingga ia perlu dirawat inap di rumah sakit.
Karya berjudul Blazing itu dia selesaikan di Beijing. Karya itu menampilkan sosok lelaki Jawa si penambang pasir yang tersenyum lebar. Kulitnya legam tersengat matahari. Dia bertelanjang dada, mengenakan topi, dan berpose. Tangan kanannya di pinggang, tangan kirinya memegang sekop. Sebetulnya Xie juga sempat bepergian ke Bali. Tapi dia lebih tergugah saat mengunjungi Yogyakarta.
Dari 24 karya yang ada dalam pameran itu, Xie menggunakan tiga media: cat akrilik di atas kertas, cat minyak di atas kanvas, dan teknik silk screen. Silk screen sering disebut teknik melukis sablon. Seniman melukis di atas lembaran kain sutra kemudian lukisannya akan tercetak di beberapa lembar kertas. Teknik itu memberi tekstur yang lebih halus dan datar untuk karya Xie yang cenderung kasar dan kuat.
Kekuatan Xie dalam mencampur dan menumpuk warna memberi efek cahaya dan bayangan lebih kuat pada karya-karya yang menggunakan cat minyak di atas kanvas. Dia memberikan blok-blok cat minyak hingga tebal seperti lumpur sebelum menorehkan berbagai warna untuk memberi efek cahaya. Pada karya-karya cat minyak, ada efek tiga dimensi yang muncul.
Hal ini tak mengejutkan mengingat Xie Dongming adalah profesor seni lukis di Central Academy of Fine Arts, Beijing. Xie merupakan Kepala Departemen Cat Minyak sekaligus ketua dari The Third Studio, kelompok seni lukis yang berpengaruh dalam perkembangan seni lukis Cina. Banyak lulusan The Third Studio yang menjadi seniman besar Cina. Sayangnya, dalam pameran itu, Xie hanya memamerkan lukisan minyak berukuran kecil. Karya-karya berukuran besarnya pada pameran ini adalah karya cat akrilik di atas kertas. Seperti tiga lukisan separuh badan berukuran 72 x 115 sentimeter.
Ketiga lukisan yang dipasang berderet itu: Haliqia on the Grassland, menampilkan perempuan muda dengan penutup kepala dan pakaian kotak-kotak; The Woman in Red, perempuan dengan hiasan kepala tradisional Xinjiang; The Early Light of Qumarleb, perempuan dengan rambut diikat mengenakan qipao satin merah dengan pola melingkar keemasan.
Dari tiga karya itu, hanya lukisan terakhir yang menampilkan karakter wajah etnis Tionghoa yang banyak dikenal orang: rambut hitam, mata sipit, dan rahang kecil. Sedangkan dua yang lain dilukis dengan mata yang lebih besar, rahang lebih lebar, hidung mancung, dan tulang pipi yang tinggi. Karakter wajah yang disebut belakangan ini adalah karakter wajah etnis Uighur yang berdiam di Provinsi Xinjiang, barat laut Cina. Suku Uighur berakar dari bangsa Turki yang berdiam di Asia Tengah.
Uighur merupakan etnis minoritas di Cina. Sejumlah media internasional kerap melaporkan adanya pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, dari persoalan kebebasan beragama, diskriminasi, hingga stereotip suku Uighur dengan terorisme. Sayangnya, persoalan ini tidak tampak dalam karya-karya Xie. Xie menyatakan dia tak berbicara tentang politik. "Lukisan saya bicara mengenai kondisi sosial, tidak ke ranah politik," katanya.
Mungkin karya berjudul One Family yang menyiratkan kondisi sesungguhnya di Xinjiang. Xie melukis perempuan muda, diapit seorang lelaki dan perempuan yang lebih tua—mungkin ayah-ibunya—dengan latar padang rumput dan pegunungan Tian Shan yang puncak-puncaknya yang bersalju. Tian Shan merupakan pegunungan yang membentang dari Xinjiang, Cina, hingga Tajikistan dan Kazakstan. Dua perempuan dalam karya itu memakai topi melingkar berhias manik yang tersembunyi di balik kerudung. Tidak ada senyuman dalam lukisan itu.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo