Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKRAB sejak remaja, tetap saja Hayono Isman tak nyaman bertanya kepada Setya Novanto tentang perkara yang menjerat politikus Partai Golkar itu. "Saya hanya mengikuti perkembangan dari pemberitaan media," kata Hayono, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, pekan lalu.
Setya diduga terlibat kasus pembengkakan anggaran Pekan Olahraga Nasional XVIII Riau, tahun lalu. Ruang kerjanya di lantai 12 Gedung Nusantara 1 DPR digeledah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasan lain Hayono, ia tak lagi satu perahu dengan Setya. Dia sudah lama pindah ke Demokrat, sedangkan Setya terus berkarier di Golkar dan kini menjadi ketua fraksi partai itu.
Hayono dan Setya adalah kawan karib semasa di Sekolah Menengah Atas 9—sekarang SMA 70 Bulungan—Jakarta Selatan. Setelah lulus, Setya pindah ke Surabaya untuk kuliah di Jurusan Akuntansi Universitas Widya Mandala. Mereka bertemu lima tahun kemudian di Jakarta, ketika Setya meneruskan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti. Saat itu, dia sudah bergelar sarjana muda akuntansi.
Setya membiayai hidup dan kuliahnya di Surabaya dengan berjualan beras dan madu di Pasar Keputren, Surabaya. Dia juga pernah bekerja sebagai salesman di sebuah dealer mobil hingga melenggang di atas catwalk membawakan berbagai model busana.
Saat kembali ke Jakarta pada 1979, Setya menumpang di rumah keluarga Hayono di Jalan Menteng, Jakarta Pusat. Ia tetap kerja serabutan demi membiayai kuliahnya: mencuci mobil, membuka jasa fotokopi, hingga sempat berkongsi dagang dengan Hayono. "Setya tipe pekerja keras dan gigih," ujar Hayono.
Bersama Setya, Hayono menyatakan, ia mendirikan PT Anindya Cipta Perdana pada 1979. Perusahaan distributor semen dan bahan bangunan ke kawasan Nusa Tenggara Timur itu hanya bertahan dua tahun. Alasannya, kata Hayono, perusahaan itu kalah oleh pedagang di kawasan tersebut.
Toh, pengalaman jatuh-bangun itu tak menyurutkan Setya. Mencoba sejumlah peluang bisnis, peruntungannya tumbuh ketika dipercaya mengembangkan pompa bensin milik mertuanya di Cikokol, Tangerang. Sejak itu, bisnisnya terus berkembang. Mertua Setya, mantan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Brigadir Jenderal Sudharsono, cukup membantu bisnisnya lancar jaya.
Sebagai pengusaha, Setya juga jago melobi dan menebar jaring, terutama kepada orang-orang yang dekat dengan pejabat, dari ajudan, sekretaris pribadi, sampai bawahan. Dia juga tak risi, misalnya, membawakan tas petinggi militer, seperti Jenderal Wismoyo Arismunandar. Ini cara Setya masuk komunitas elite pengurus organisasi olahraga, yang kala itu dikuasai pejabat tinggi dan pengusaha. "Awalnya Pak Wismoyo memandang sebelah mata kepada saya," ucap Setya dalam satu wawancara beberapa tahun lalu.
Pada 27 tahun silam, Setya merampungkan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam. Ia menangkap potensi pulau itu sebagai daerah wisata. Sayangnya, tanah paling strategis di wilayah itu, yakni kawasan Pantai Nongsa, telah dikuasai pengusaha Sudwikatmono, Ciputra, dan Liem Sioe Liong.
Ia memutuskan harus merapat ke Sudwikatmono, sepupu Presiden Soeharto. Seorang kerabat Soeharto menuturkan Setya telaten berhari-hari mencegat Sudwi di lapangan parkir, dari pukul 06.00 hingga pukul 22.00. Sudwi, yang semula terus menampik, akhirnya memberikan kesempatan kepada anak muda itu.
Kegigihannya tersebut membuahkan Talvas Resort Island Batam, padang golf bertaraf internasional. Proyek pertama Setya dengan Sudwi seluas 400 hektare itu menelan investasi US$ 100 juta. Sejak itu, proyek bersama keduanya bermunculan. Dari resor, hotel, sampai proyek telekomunikasi kawasan industri satelit.
Jalan Setya ke pusaran kekuasaan semakin mulus. Ia menulis buku Manajemen Soeharto setelah bertemu dan mewawancarai Presiden Soeharto. Setelah itu, tutur salah satu kerabat Cendana, Setya sering hadir sebagai peserta di meja makan anak-anak Soeharto.
Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, sulung Soeharto, menunjuk Setya memimpin PT Citra Permatasakti Persada, perusahaan jasa pengelolaan bisnis pembuatan surat izin mengemudi. Elsye Sigit, istri Sigit Harjojudanto Soeharto, juga menggandengnya dalam bisnis komputerisasi kartu tanda penduduk.
Kedekatannya dengan Cendana ikut melambungkan karier politiknya. Setya, yang mulai bergabung dengan Kosgoro pada 1974 karena perkawanannya dengan Hayono, masuk DPR pada 1999 dan berlanjut hingga dua kali pemilihan umum. Pada Oktober 2009, dia didapuk sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.
Di panggung politik itu pula Setya bersimpang jalan dengan Hayono, putra pendiri Kosgoro. Hayono memilih keluar dari Golkar dan mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan sebelum berlabuh ke Demokrat. Adapun Setya mendirikan Kosgoro 1957 dan bergabung dengan kepengurusan Golkar pimpinan Akbar Tandjung. Sejak itu, kariernya melejit hingga kepengurusan Aburizal Bakrie.
Yasril Ananta Baharuddin, kolega Setya di Golkar, menyebutkan kemampuan Setya melobi dan berjejaring memuluskan karier politik pengusaha kelahiran Bandung itu. "Ia tahu bagaimana mengembangkan jaringan," kata Yasril.
Seorang pengurus Golkar lain menyebutkan penunjukan Setya sebagai ketua fraksi dilakukan dengan pertimbangan ia memahami seluk-beluk DPR. Termasuk soal memainkan anggaran. Sumber itu juga menyatakan Setya dan sejumlah politikus Golkar kerap menjamu orang-orang yang berkepentingan meloloskan anggaran.
Di kalangan internal Golkar, Setya kerap memberikan "kelas" buat anggota Badan Anggaran. "Biasanya anggota dikumpulkan, kemudian diberi arahan sektor mana yang harus ’diamankan’," ujar seorang politikus.
Soal pertemuan itu, politikus Golkar yang juga mantan anggota Badan Anggaran, Yorrys Raweyai, membenarkan. Namun ia menolak jika itu disebut sebagai kelas anggaran. "Hanya rapat dan diskusi rutin di fraksi. Lagi pula pemberinya ketua fraksi." Adapun Setya membantah. "Saya tak ikut-ikutan. Tudingan itu aneh," ucapnya sambil berlalu.
Berada dalam dua kumparan, politik dan bisnis, Setya sejatinya kerap menyerempet "bahaya". Terjerat sejumlah kasus, ia dikenal sakti karena selalu lolos. Banyak kolega menyebut Setya tak tersentuh.
Pada 1999, misalnya, bersama Djoko S. Tjandra, Setya ditetapkan sebagai tersangka kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Kasus ini meletup setelah Bank Bali mentransfer dana Rp 500 miliar lebih kepada PT Era Giat Prima, milik Setya, Djoko, dan Cahyadi Kumala. Kasus ini tak jelas ujungnya.
Pada 2010, nama Setya tersangkut kasus penyelundupan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton. Namanya juga disebut terlibat penyelundupan limbah beracun (B3) di Batam pada 2006. Jejak Setya juga disebut dalam kisruh tender KTP elektronik (e-KTP). Namun ia selalu tak tersentuh.
Sumber Tempo menyebutkan Setya selalu lolos karena kelihaiannya merangkul sejumlah kalangan. "Sudah lama Setya membangun jejaring, dari politikus, pebisnis, hingga polisi dan kejaksaan," ujar sumber tadi.
Kedudukan Setya di partai sangat kuat. Sebagai bendahara umum partai, ia harus mengumpulkan dana tak sedikit. Untuk operasional partai tiap bulan saja diperlukan setidaknya Rp 10 miliar. "Dari mana duit itu bisa diperoleh?" kata koleganya di Beringin.
Kepada Tempo, yang menemuinya Rabu pekan lalu, Setya membantah terlibat dalam kasus PON Riau. Adapun Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham meminta semua pihak menghormati hukum. "Ini Pak Setya masih disebut namanya, belum pasti bersalah," ujar Idrus.
Hayono Isman hanya bisa berharap sahabatnya tidak terlibat kasus korupsi PON. Namun, kata Hayono, jika kelak terbukti, "Dia tetap teman saya."
Widiarsi Agustina, Sundari, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo