Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Misyono menghubungkan arca yang tergeletak di bawah pohon jati di pinggir jalan dengan mimpi bertemu dengan perempuan cantik malam sebelumnya. Petani Dusun Karangtengah, Desa Sumberwaru, Banyuputih, Situbondo, ini menemukan arca itu sepulang mencari rumput di hutan Taman Nasional Baluran, Maret lalu.
"Awalnya saya kira cuma patung biasa," kata lelaki 44 tahun itu pekan lalu. Tapi Misyono jadi menaruh perhatian ketika seseorang berniat menukarnya dengan lima lembar uang Rp 100 ribu.
Temuan itu menggegerkan Dusun Karangtengah hingga ceritanya terdengar Forum Penyelamat Cagar Budaya—organisasi lokal yang peduli pada pelestarian benda-benda bersejarah. Mereka mendekati Misyono agar menyerahkan arca itu ke pemerintah Situbondo. Pertengahan Maret lalu, Misyono menyerahkannya kepada Bupati Dadang Wigiarto. Juru bicara Forum Penyelamat Cagar Budaya, Irwan Rakhday, menduga arca itu Dewi Tara, Buddha dalam wujud wanita. "Teratai menunjukkan dia orang suci."
Setelah temuan itu, Irwan dan kawan-kawan menyisir dusun-dusun lain yang warganya disebut-sebut pernah menemukan benda purbakala. Benar saja. Di Dusun Melik, Sumberrejo, sekitar lima kilometer dari Baluran, Nihalil, penduduk dusun itu, misalnya, sudah setahun menyimpan 23 artefak. Benda bersejarah itu antara lain berupa dua lesung batu, arca tembikar, empat keramik, tiga gerabah, dan kendi. "Saya menemukan benda-benda itu April 2012," ujar Nihalil, 57 tahun. Sebagian ditemukan saat ia menggali pasir di ladang jagung, dua kilometer dari rumahnya. Beberapa lagi temuan tetangganya, yang disimpan di rumahnya karena khawatir kena tulah.
Para arkeolog swasta ini juga menemukan struktur bangunan memanjang dari batu bata tiga meter di dalam tanah. Tiap batu bata berukuran 36 x 20 x 8 sentimeter. Tempo, yang mengikuti penelusuran itu, mendapati batu bata berserakan di ladang jagung berbatasan dengan hutan BaluÂran. Menurut Nihalil, penduduk menggunakan batu bata itu untuk membangun kamar mandi dan sumur. Sedangkan di Dusun Widoro Pasir, Sumberrejo, Irwan dan kawan-kawan menemukan prasasti yang sudah tidak utuh lagi.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, meyakini temuan Misyono adalah arca Dewi Tara, yang muncul sebelum abad ke-11. Menurut dia, temuan ini menarik. "Di Jawa Timur tak ada kerajaan bercorak Buddha. Yang ada Hindu." Banyak ilmuwan percaya Buddha hanya berkembang di Jawa Tengah. Ditemukannya arca Dewi Tara menunjukkan perkembangan Buddha sampai ke ujung timur Jawa, berdampingan dengan Hindu.Â
Margana menduga arca itu berkaitan dengan orang-orang Cina di ujung timur Jawa. Sebab, Dewi Tara adalah Buddha perempuan terkenal di Cina dan Tibet. "Tapi kepastian umur benda itu harus diuji dulu."
Ketua Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur Mansoer Hidayat memperkirakan artefak di sekitar Baluran berasal dari Kerajaan Patukangan, bagian wilayah Lamajang Tigang Juru pada 1293 Masehi. Menurut penulis Sejarah Lamajang ini, sesuai dengan Perjanjian Sumenep, Raden Wijaya dan Aria Wiraraja bersepakat membagi dua tanah Jawa. Barat untuk Majapahit dan timur untuk Lamajang Tigang Juru, yang diberikan kepada Wiraraja, yang membantu mendirikan Majapahit.Â
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan Aris Soviani menduga temuan di sekitar Baluran ini peninggalan Kerajaan Majapahit Timur abad ke-13-15 Masehi. Selama ini, kata dia, Majapahit Timur belum mendapat porsi penelitian yang besar. Padahal potensi peninggalan sejarahnya tak kalah besar dengan Majapahit Barat.
Endri Kurniawati, Ika Ningtyas
Arkeolog Swasta Pemburu Artefak
FORUM Penyelamat Cagar Budaya berdiri pada 2 Juli 2012 sebagai reaksi atas rencana pemerintah Situbondo menggusur bangunan eks kawedanan di Jalan Raya Banyuwangi, Kecamatan Asembagus, menjadi pasar modern. Bangunan era kolonial itu mereka nilai bersejarah karena pernah menjadi markas komando Tentara Nasional Indonesia saat Agresi Militer Belanda I pada 1947.
Mula-mula Irwan, yang sedang makan di warung rekannya, Agus Riyanto, bercerita tentang kawedanan yang bakal dibongkar. Pembicaraan itu terdengar Ainun Jamil, pensiunan tentara. Dari obrolan itu, muncul ide untuk menggalang kekuatan menolak pembongkaran. Dengan menggandeng 10 orang lain, mereka melakukan lobi sampai demonstrasi menolak penggusuran. Akhirnya kantor kawedanan itu tidak jadi dibongkar.
Tidak satu pun pengurus forum yang berlatar belakang pendidikan arkeologi atau sejarah. Kebanyakan mereka wiraÂswasta. Bahkan ada yang bekerja sebagai tukang pijat refleksi. "Kami nekat karena cinta sejarah," kata Irwan.Â
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan Aris Soviani senang sekaligus khawatir terhadap makin banyaknya lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pelestarian benda arkeologis.
Sayangnya, upaya mereka dalam menjaga benda cagar budaya terkadang menabrak prinsip arkeologi. "Semangat tinggi saja tidak cukup," ujarnya. Itu sebabnya dia meminta lembaga swadaya masyarakat ini banyak melakukan konsultasi dengan Balai Pelestarian saat akan melakukan aksi.
Aris menambahkan, munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memang memungkinkan lembaga yang mengantongi izin dari pemerintah kabupaten atau kota melakukan pencarian benda cagar budaya. Agar tidak merusak nilai arkeologisnya, pencarian harus dilakukan dengan hati-hati.
"Pemindahan artefak, misalnya, harus dilakukan sesuai dengan prosedur. Contohnya, sebelumnya harus didokumentasikan dengan cara tertentu," katanya. Itu sebabnya Balai Pelestarian banyak memberikan pelatihan dan advokasi kepada lembaga pelestari cagar budaya agar niat baik mereka tidak berbalik jadi hilangnya nilai sebuah benda bersejarah karena salah penanganan.
Ika Ningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo