Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI-pagi sekali Paulus Tannos meluncur dari kediamannya di Apartemen Pacific Place di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, ke rumah bernomor 19 di Jalan Wijaya XIII, juga di Jakarta. Di sana, Setya Novanto, tuan rumah, sudah menunggu bersama seorang koleganya, Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pertemuan pada September-Oktober 2011 tersebut berlangsung singkat. Hanya setengah jam. Sebelum pukul tujuh, Paulus pamit. Sang tuan rumah meminta sesuatu yang tak bisa dipenuhi Paulus: fee proyek kartu tanda penduduk elektronik sebesar lima persen dari nilai kontrak. "Lima persen untuk Golkar, sisanya buat fraksi lain," kata sumber yang mengetahui ketiga orang itu bersirobok.
Paulus pemilik PT Sandipala Arthaputra, anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia yang memenangi tender proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Bersama PNRI, Sandipala kebagian tugas mencetak 172 juta keping e-KTP, dari blangko kartu hingga personalisasi data. Pada kontrak 26 Juli 2011, Sandipala kebagian mencetak 103,4 juta kartu, atau 60 persen pekerjaan, dan PNRI 40 persen.
Bukan rahasia lagi di antara politikus Dewan Perwakilan Rakyat, e-KTP adalah proyek Golkar. Sebagai Ketua Fraksi Golkar, Setya Novanto diduga turut mengamankan anggaran proyek ini di Senayan. Setya ditengarai bermain dalam tender. Lewat Andi Agustinus, ia menyiapkan vendor perangkat keras dan lunak yang akan digunakan. Perangkat itu antara lain automated fingerprint identification system, merek komputer, dan chip ("Belak-belok B-1-KTP", Tempo edisi 26 September-2 Oktober 2011).
Ditemui di Singapura akhir tahun lalu, Paulus tak membantah ataupun membenarkan pertemuan tersebut. Dikontak kembali Selasa pekan lalu, ia kembali tak menyangkal. "Akan saya bongkar semuanya," ujarnya. Andi Agustinus belum dapat dihubungi. Adapun Setya Novanto, Bendahara Umum Partai Golkar, pada Rabu pekan lalu membantah pernah meminta fee proyek kepada Paulus. "Soal persentase, saya tak mau ikut campur. Itu urusan pengusaha."
Pertemuan tersebut cuma satu di antara tujuh. Tiga pertemuan lain kembali dilakukan di rumah Setya. Dua pertemuan terjadi di kantor salah satu perusahaan Setya, di lantai 20 gedung Equity Tower, Jakarta. Sekali mereka juga bersua di ruangan Setya di lantai 12 Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat. Pertemuan dilakukan pada September-Desember 2011.
Setiap kali berjumpa, Setya hampir selalu didampingi Andi Agustinus. Pada sebuah pertemuan di Equity Tower, Setya ditemani Chairuman Harahap, juga politikus Golkar, dan seorang pengusaha lain. Chairuman mengatakan pernah berkunjung ke kantor Setya di Equity Tower, tapi untuk membahas urusan partai. "Kalau soal e-KTP, enggak ada," katanya.
Yang tak berubah dalam setiap pertemuan, Setya selalu menagih "biaya komitmen" proyek. Dari lima persen, menurut informasi yang diperoleh Tempo, jumlah fee yang diminta malah membengkak jadi sepuluh persen.
Sebagaimana pertemuan awal, pada kesempatan berikutnya pun Paulus enggan menyetor fulus. Sampai akhirnya, kata sumber yang sama, dalam suatu pertemuan Andi Agustinus menyela, "Dimakan saja dari subkontrak PNRI." Maksudnya, fee akan diambil dari nilai subkontrak cetak KTP dari PNRI ke perusahaan lain.
Tak lama berselang, pada 19 Desember 2011, Kementerian Dalam Negeri menggelar pertemuan dengan semua anggota konsorsium, kecuali Sandipala. Dari konsorsium, ada Isnu Edhi Wijaya (PNRI), Anang Sudihardjo (PT Quadra Solutions), WahÂyuddin (PT Len Industri), dan Arief Safari (PT Sucofindo). Paulus tak diundang.
Kementerian diwakili antara lain oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Diah Anggraeni dan pejabat pembuat komitmen, Sugiharto. Pertemuan berlangsung di ruangan Diah dan menghasilkan kesepakatan sepihak. Porsi pekerjaan Sandipala diturunkan jadi 60 juta kartu, atau sekitar 34 persen pekerjaan, sedangkan porsi PNRI bertambah jadi 112 juta keping.
Pengurangan kuota pekerjaan berarti pengurangan nilai kontrak. Dengan mengerjakan 60 persen pencetakan kartu, Sandipala semestinya kebagian Rp 1,63 triliun. Setelah porsi pekerjaan berkurang menjadi 35 persen, Sandipala hanya menerima Rp 950 miliar.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, mengatakan kesepakatan itu diubah atas permintaan konsorsium. "Tak ada hubungannya dengan Kementerian," ujarnya kepada Subkhan J. Hakim dari Tempo. Ketika berkunjung ke kantor Tempo akhir tahun lalu, Diah Anggraeni mengatakan pertemuan digelar atas permintaan konsorsium karena proyek berjalan lambat. "Untuk percepatan," katanya.
Jimmy Simanjuntak, kuasa hukum PNRI, mengatakan sebaliknya. Pertemuan digelar atas permintaan Kementerian. Menurut dia, Kementerian melihat kinerja Sandipala rendah. "Karena progresnya lambat, PNRI akhirnya dikasih kuota lebih besar," ujarnya.
Menurut Paulus Tannos, alasan mereka tak masuk akal. Betul bahwa pada 2011 Sandipala hanya mencetak 4 juta kartu dari target 67 juta. Namun itu bukan disebabkan oleh kemampuan mesin cetak Sandipala yang tak mumpuni, melainkan karena tak ada data penduduk yang masuk. Data masih direkam petugas di lapangan sebelum disimpan di server Kementerian, untuk diserahkan ke Sandipala buat dicetak.
Paulus kemudian mengajukan gugatan terhadap Kementerian dan PNRI, tapi segera mencabutnya. Menurut Paulus, ia urung menggugat karena dijanjikan mendapat ganti rugi. "Tapi ternyata bohong," katanya. Masih enggan menjelaskan dengan rinci, Paulus mencurigai Setya di balik semua itu. "Akan saya laporkan ke KPK," ujarnya.
Mereka yang tersengat tudingan Paulus memÂbantah ramai-ramai. Reydonnyzar mengatakan tak ada campur tangan pihak lain dalÂam penurunan porsi pekerjaan SandipaÂla. Kepada Tempo, Direktur Utama PNRI Isnu Edhi Wijaya sempat mengatakan pencetakan kartu yang jadi beban perseroan dikerjakan sendiri, tidak disubkontrakkan. "KaÂmi membeli mesin-mesin baru," ujarnyaÂ.
Adapun Setya menyatakan tak tahu-menahu proyek e-KTP. "Saya enggak ikut-ikutan," ujarnya. Dia pun menyebutkan tak mengenal Andi Agustinus. "Ada banyak nama Andi. Tapi yang spesifik itu saya tidak ingat." Ini berbeda dengan jawaban Setya kepada Tempo sebelumnya. Ketika kasus ini heboh pada 2011, Setya mengatakan kenal dengan Andi. "Tapi hanya kenal biasa," katanya.
Seorang pejabat Kementerian menyebutkan Setya tidak hanya mengurus anggaran dan mengatur tender. Ia pun ditengarai menalangi modal kerja konsorsium PNRI, yang tengah kesulitan dana. Ketika itu, Kementerian Dalam Negeri enggan mencairkan uang muka lantaran tak ada bank guarantee.
Kini, Kementerian mengklaim telah merekam data 172 juta penduduk. Dari jumlah itu, sebanyak 130 juta telah didistribusikan. Tapi seorang anggota direksi perusahaan anggota konsorsium mengatakan sepertiga dari jumlah itu sebenarnya tidak berfungsi. Sebagian ada yang chip-nya rusak sehingga tak bisa dibaca card reader. Ada juga yang bisa dibaca tapi datanya tertukar karena kesalahan perekaman.
Reydonnyzar Moenek mengklaim tak ada masalah dengan kartu yang telah dibagikan kepada penduduk. "Semuanya berfungsi, kok," ucapnya.
Anton Septian, Setri Yasra, Sundari, Subkhan J. Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo