Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH Dewan Perwakilan Rakyat ikut campur mengontrol pinjaman penerusan dari luar negeri mulai bermudarat. Sejumlah proyek penting PT Perusahaan Listrik Negara terhambat penyelesaiannya lantaran pinjaman asing itu terlambat dicairkan. Gara-garanya, pencairan itu harus menunggu dan tak boleh mengabaikan persetujuan para politikus-legislator di Senayan.
Dalam tiga tahun terakhir ini, Dewan menjalankan fungsi kontrolnya terhadap badan usaha milik negara yang sangat membutuhkan pencairan dana pinjaman. Atas nama kepentingan rakyat dan—celakanya—didukung Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan saat itu, mereka berhasil menegakkan aturan: subsidiary loan agreement yang diterima pemerintah tak boleh langsung diberikan Menteri Keuangan kepada resipien.
Dana pinjaman lunak—berjangka 10 tahun dengan bunga tiga persen—dua tahap tersebut baru boleh disalurkan kantor kementerian di kawasan Lapangan Banteng itu setelah mendapat lampu hijau dari dua pintu Dewan, yakni Badan Anggaran dan Komisi Energi. Dana murah ini selanjutnya disalurkan buat korporat pelat merah, seperti PLN, Pertamina, Perusahaan Gas Negara, dan Merpati Nusantara.
Padahal sudah bertahun-tahun Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, atau Japanese International Cooperation Agency memberi pinjaman ini tanpa halangan. Hubungan baik donor dan resipien yang berjalan lancar selama ini mulai terganggu manakala Dewan, atas nama kontrol terhadap eksekutif, melakukan intervensi. Dewan memang mempunyai hak bujet untuk mengawasi penggunaan anggaran negara. Kenyataannya, gairah mereka untuk mengontrol terlampau jauh. Mereka bahkan sampai memelototi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), yang merupakan tahap akhir sebelum pencairan dana. Langkah mereka keruan saja menimbulkan syak wasangka.
Lihatlah dampak buruk campur tangan anggaran yang kelewatan itu. Untuk mendapatkan persetujuan DIPA saja perlu waktu delapan bulan. Akibatnya, proyek pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan rakyat—seperti pengembangan transmisi listrik dan peningkatan daya—terhambat. Penundaan proyek seperti ini tentu akan mendorong biaya tinggi untuk tahun berikutnya.
PLN memang paling banyak mendapat pinjaman penerusan. Meski kreditor telah meneken perjanjian dengan pemerintah, perusahaan setrum negara ini tak bisa segera mencairkan pinjaman tadi. Akibatnya, PLN terpaksa membayar commitment fee—biaya yang harus dibayar lantaran pinjaman tak kunjung diambil—kepada tiga lembaga keuangan itu. Belum lagi tuntutan ganti rugi dari kontraktor asing yang mengancam menghentikan proyek.
Pengawasan pada tingkat hilir seperti ini pada akhirnya lebih banyak mudaratnya. Dewan seharusnya tak terlalu jauh memasuki wilayah eksekutif. Sebaiknya wewenang pencairan pinjaman penerusan ini dikembalikan kepada Kementerian Keuangan. Kalaupun ada yang perlu diawasi, kontrol Dewan toh bisa dijalankan setelah dana cair.
Dewan sepatutnya memusatkan perhatian pada perbaikan legislasi dan pengawasan di tingkat hulu. Tak perlu latah menguntit sampai ke hilir, karena itu bukanlah domain kerja legislator. Kewenangan yang tak patut ini justru membuat Dewan dicurigai tengah asyik-masyuk dengan kepentingannya sendiri. Kekuasaan kelewat batas dalam mengontrol pinjaman asing ini, selain merugikan rakyat, berpotensi menyuburkan suap, kongkalikong, dan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo