Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul: Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965
Penyunting: Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem
Penerbit: KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan
Edisi: 1, 2011
Tebal: 606 halaman
DARI masa kini, menatap Indonesia 50-60 tahun yang silam, saya merasa kita seperti bangsa yang tengah kehilangan jiwa. Alih-alih bertarung memperjuangkan gagasan bagi Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka, bangsa yang tak berjiwa lebih masyuk berebut kuasa dan harta, serta berbicara dalam bahasa kekerasan. Lewat buku ini, sejumlah orang Indonesia dan sarjana luar mengingatkan kita akan suatu masa ketika gagasan begitu lebih berharga bagi pembentukan bangsa.
Pembelahan di antara para pengusung gagasan ini mungkin demikian tajam. Pertarungan mereka barangkali begitu sengit. Toh, sebuah kesamaan, bisa dikata demikian, terungkap dengan jelas dalam tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini. Dialah komitmen akan Indonesia yang patut untuk jadi tempat hidup sebagai bangsa merdeka, baik raga maupun jiwa.
Jennifer Lindsay, Maya Liem, Keith Foulcher, dan sejumlah penulis lain berusaha menemukan makna dari jalinan peristiwa yang merentang sejak lima tahun setelah proklamasi hingga lima tahun menjelang tragedi 1965. Pentas budaya kala itu begitu meriah. Masa itu bagaikan zaman yang penuh janji, ketika masa depan terlihat penuh kemungkinan. Di masa itu ada perjumpaan dengan budaya lain, lewat tulisan, sastra, tari, musik, dan film, yang mewarnai proses konstruksi keindonesiaan baru.
Bagi Cina, Soviet, Belanda, dan Amerika, Indonesia ketika itu tak ubahnya bunga mekar yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tony Day menyingkapkan persilangan antara perjalanan budaya Martha Graham ke sejumlah negara Asia dan ikhtiar pemerintah Amerika untuk "mengendalikan" penyebaran komunisme di kawasan ini.
Pencarian gagasan ke wilayah muslim dilakukan oleh Bahrum Rangkuti, yang membawa Iqbal dari Pakistan, serta Hamka dan Asrul Sani yang bertandang ke Mesir. Perjalanan mereka, dalam hemat Hairus Salim, dapat dilihat sebagai kesinambungan gagasan yang diterakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, yakni "bagian kecil dari ikhtiar mencari dan meraih ‘suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia’". Kala itu hubungan Indonesia dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri tengah dinegosiasikan di pentas budaya yang luas sebagai proses "menjadi Indonesia".
Ada pula pencarian beragam kemungkinan bagi Indonesia masa depan. Juga perdebatan perihal tujuan, rupa, dan jalan yang semestinya ditempuh. Konfrontasi, Mimbar Indonesia, Siasat, dan Pandji Masjarakat menjadi panggung penting. Sejumlah intelektual menerjemahkan tulisan pemikir luar; mereka, seperti kata Foulcher, "membawa pulang dunia". Trisno Sumardjo menerjemahkan Shakespeare dan Koesalah Soebagyo Toer memilih karya-karya Soviet. Inilah ikhtiar yang, menurut Maya Liem, mencerminkan kecondongan ideologi masa itu.
Kendati tiap penulis memberi fokus perhatian atas peristiwa dan tempat yang berbeda-beda, buku ini menawarkan satu siasat untuk memahami benang merah yang menautkan berbagai temuan masing-masing. Lewat saling memberi komentar sebelum dipublikasi, tulisan yang sudah diproduksi lalu diperkaya dan ditemukan tautannya. Saya bersepakat dengan Tony Day, sebagaimana kita pelajari dari esai-esai mereka, terlihatlah bahwa orang-orang Indonesia masa itu sangat independen dan secara kultural percaya diri, meskipun identitas nasional yang baru mereka peroleh di dunia modern masih bersifat sementara.
Pemaknaan baru atas berbagai peristiwa historis ketika pertarungan gagasan belum lagi jadi pendesakan ide, seperti yang terjadi pada tahun-tahun setelahnya, menunjukkan betapa kebudayaan menjadi isu sentral dalam ikhtiar menjadi Indonesia—sesuatu yang tidak saya temukan di masa kini.
Akhirnya, dalam fisika dikenal apa yang disebut teori oversum histories—alam semesta ini memiliki banyak sejarah. Menautkannya dengan pembacaan ulang sejarah menjadi Indonesia, yang dituturkan dengan bernas dalam buku ini, membuat saya berandai-andai perihal kemungkinan lintasan sejarah lain yang ditempuh bangsa ini.
Dian R. Basuki, penulis blog di tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo