Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Pendekatan Kita Salah dalam Merebut Tim-Tim"

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR dua ribu manusia menjebol pintu gerbang besi Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, sembari menjerit marah. Gelombang manusia itu kemudian merangsek ke arah dermaga dan meluluhlantakkan apa yang terjangkau tangan dan kaki. Wajah-wajah beringas itu lalu bergerak menuju sebuah mobil Panther berwarna biru muda dengan empat penumpang yang sedang parkir di pelabuhan. Parang, tongkat, dan trisula siap dihantamkan ke kaca mobil. Namun, hanya sesaat sebelum kendaraan itu remuk dalam amuk amarah, seorang pria berperawakan tinggi besar meloncat ke luar dari mobil. "Tahan, tahan," ujarnya sembari beristigfar. "Saya Des Alwi," ujarnya. Adegan selanjutnya di dermaga pelabuhan Ambon, Senin pekan silam itu, mirip suasana antiklimaks dalam film action: lapisan terdepan dari massa itu tiba-tiba tersentak. "Astagfirulah! Ini Bapa Des?" Beberapa pemuda kemudian mengusung dan mengawalnya ke dalam Kapal Bukit Siguntang yang sedang merapat di dermaga pelabuhan. Tentu saja, mereka yang mengenal Des jauh lebih banyak dari sekadar massa yang mengamuk di pelabuhan tadi. Namanya menjadi buah bibir di Kepulauan Bandaneira—sebuah gugusan pulau, berjarak 7 jam perjalanan kapal dari Ambon. Sedangkan di Kota Ambon, dari gubernur hingga tukang perahu mengenal namanya. Pergaulan Des memang jauh melampaui batas-batas Bandaneira. Di tingkat nasional, namanya ada bersama perjalanan sejarah. Ia bukan intelektual hebat, bukan diplomat besar, bukan orang dengan jabatan penting dalam kabinet. Ia lebih tepat dilukiskan sebagai seorang yang dilahirkan sebagai liaison officer dan juru lobi yang mahir. Sejak remaja, ia mampu membuka hebat kontak-kontak sulit tempat Indonesia punya kepentingan. Ia ada di London pada masa awal Republik, membantu membuka lobi untuk kantor perwakilan Indonesia. Ia juga ada di Malaysia ketika Indonesia membereskan hubungan selepas konfrontasi pada 1965. Ia yang berangkat ke Filipina ketika Cory baru menjadi presiden, karena Ninoy dan Cory serta Fidel Ramos adalah teman lamanya. Des tidak memantangkan pendekatan formal. Tapi ia mudah meluluhkan hati pihak lawan dengan cara-cara informal. Lantai dansa, ruang pesta, tempat memancing, kantor berita, kafe dan restoran, lobi hotel, serta kediaman diplomat adalah tempat Des membuka kontak. Des Alwi Abubakar lahir di Bandaneira, 17 November 1927. Ia anak kedua dari enam bersaudara pasangan Haliyah Baadila dan Alwi Abubakar. Orang tuanya keturunan raja setempat. Pada usia 8 tahun ia bertemu dengan Bung Hatta dan Bung Sjahrir tatkala tuan-tuan itu dibuang Belanda ke Bandaneira. Pertemuan itu praktis menentukan seluruh jalan hidup Des. Ia diangkat anak oleh Hatta dan Sjahrir dan berkembang di tangan mereka. Sejak kanak-kanak, ia membaca buku milik Sjahrir seperti Till Eulenspiegel dan Don Quixote. Ia menjadi penunjuk jalan mereka, memutarkan pelat-pelat musik klasik Sjahrir, memasakkan makanan untuk kedua bung itu setiap hari. "Dari Sjahrir saya mendapatkan nasionalisme, dari Hatta memperoleh didikan keras untuk menjadi manusia yang berdisiplin dan bertata krama," ujarnya. Pendidikan formal Des berawal pada 1935 di Europese Laghe School di Bandaneira. Pada 1942 ia belajar di IVEVO-SMT, sebuah sekolah teknik Belanda di Jakarta. Pria yang dikenal sebagai kolektor film dokumentasi sejarah ini kemudian meneruskan studi di British Institute of Technology, London, pada 1947-1950. Selama di London, ia turut membantu dibukanya kantor perwakilan Indonesia di 16 Rutland Gate, Knights Bridge, Kensington. Dari Inggris ia pindah ke Belanda. Sembari bekerja, ia belajar di Philips NSF Advanced School, Hilversum. Ia sempat bekerja di bidang radio, sebelum memasuki dunia diplomasi. Des menjabat atase pers dan kebudayaan di Swiss, Austria, dan Filipina antara 1952 dan 1958. Sembilan tahun setelah itu, ia hidup di pengasingan—Hong Kong, Manila, Kuala Lumpur, Bern—bersama keluarganya karena tuduhan terlibat gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta). Pada 1965, Ali Moertopo meminta bantuannya untuk memulihkan hubungan Malaysia-Indonesia selepas konfrontasi. Maklum, Des berteman dengan banyak pejabat penting di Kuala Lumpur, seperti Tunku Abdul Razak dan Tan Sri Gazali—bekas kawan-kawan sekolahnya di London. Selama Orde Baru, ia sibuk di dunia usaha dan film. Beberapa film dokumenter produksinya memenangkan Piala Citra. Tentu saja, satu yang tak dilupakannya adalah mengurus Banda, tanah kelahirannya. Cintanya kepada Banda begitu dalam sehingga membuat ia ingin hidup selamanya. Dengan demikian, ia akan selalu bisa membantu menjauhkan pulau itu dari kehancuran. Kakek lima anak ini membagi kehidupannya di Banda, Jakarta, dan luar negeri. Setelah istrinya, Anne Maria Tumbu, meninggal pada 1983, ia banyak mencurahkan waktunya untuk mengurus lima orang cucu. Pernikahannya dengan Anne menghasilkan empat anak: Karma, Mira, Tanya, dan Ramon. Rabu pekan lalu, di rumah kediamannya yang asri di Kompleks Permata Hijau, Jakarta Selatan, ia menerima wartawan TEMPO Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden dan fotografer Mahanizar untuk sebuah wawancara sepanjang empat jam. Petikannya:

Bagaimana rasanya melihat Ambon yang hancur lebur seperti sekarang?

Terus terang, apa yang terjadi di Ambon sekarang mengingatkan saya pada Timor Timur (Tim-Tim). Di Maluku, kita punya orang-orang dari Kepulauan Kei yang berdarah panas. Mereka menyerang dosen-dosen Islam, membakar rumah, dan membunuh seorang dosen pertanian dengan kejam. Orang Islam membalas, tapi tidak puas. Lalu mereka mau menyerang pelabuhan. Orang-orang Kei ini keterlaluan. Mereka datang melalui Banda dan memanah orang-orang dari laut.

Kok, menyebut-nyebut Tim-Tim. Anda pernah berkunjung ke sana pada masa perang?

Lo, saya berada di sana untuk menegosiasikan soal pembelian senjata. Banyak hal yang masih rahasia soal Tim-Tim ini. Tapi sebaiknya saya buka saja. Sejak awal kita sudah melakukan pendekatan yang salah: kita merebut daerah itu dengan penyerangan senjata. Waktu tahun 1975, saya bersama Kolonel Sugianto dari Badan Koordinasi Intelijen Negara membawa orang-orang Tim-Tim ke Malaysia.

Kenapa ke Malaysia?

Waktu itu, saya masih bergerak dalam program pemulihan hubungan Malaysia-Indonesia (Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi Indonesia Malaysia, 1969-1975). Pada waktu itu, Kolonel Sugianto menjadi petugas penghubung konfrontasi Malindo. Saya masuk dalam tim itu. Juga Benigno Aquino.

Seberapa jauh Malaysia campur tangan dalam urusan ini?

Malaysia mendukung. Tun Abdul Razak (saat itu menjadi kepala intelijen Malaysia) adalah teman baik saya, bekas kawan sekolah di London. Dia menganjurkan Soeharto agar cepat bergerak dan mengambil alih Tim-Tim ke pangkuan Ibu Pertiwi. Katanya, "Move! Hit it before too late" (bergeraklah sebelum terlambat).

Apa alasan Tun Razak mengatakan itu?

Mereka takut nanti para eks PKI berkumpul di Tim-Tim dan menyusup ke Malaysia. Dukungan-dukungan ini membuat Amerika akhirnya setuju Indonesia menyerang. Syaratnya satu: tidak boleh memakai senjata NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Akhirnya, kita putuskan, pakai senjata dari Malaysia saja. Jadi, kita buka hubungan soal itu. Tapi yang kemudian digunakan adalah senjata dari Israel, juga yang bikinan Cina. Kalau kita pakai senjata NATO dan Tim-Tim direbut, mereka bisa dituduh membantu persenjataan.

Dari pihak Indonesia, siapa yang memimpin operasionalnya?

Benny Moerdani. Tugasnya di Korea sebagai konsul jenderal berakhir tahun 1973. Kemudian dia kembali ke Indonesia mengambil alih pimpinan dinas intelijen. Jadi, penekanan operasi itu sebetulnya oleh Benny. Soeharto sendiri masih ogah-ogahan saat itu.

Mengapa begitu?

Soeharto baru mulai naik. Hubungan dengan Malaysia baru pulih. Dia takut bila ada isu-isu internasional yang miring tentang dia. Pak Harto kan masih cari nama.

Apa peran Anda?

Peran saya hanya sampai pada negosiasi dengan pihak Malaysia, mempertemukan pimpinan kita, Tan Sri Gazali, dan pimpinan Apodeti/UDT. Mario Carrascalao, antara lain, hadir dalam pertemuan-pertemuan itu. Ketika rencana itu sudah memasuki tahap operasional, saya sama sekali sudah tidak terlibat.

Tampaknya Anda terus berhubungan dengan kawan-kawan dari Malaysia dan Filipina selepas penyelesaian konfrontasi?

Oh ya, semua itu kan teman lama. Kalau Benigno (Ninoy) Aquino bukan teman sekolah. Itu kawan dekat sejak saya bekerja sebagai atase pers dan kebudayaan Indonesia di Filipina (1957-1958). Tapi perkenalan pertama, waktu dia datang ke Indonesia tahun 1945 sebagai wartawan Manila Times.

Anda terus menjaga hubungan itu?

Tak pernah putus. Hubungan kami sangat erat, kami saling mendukung dalam masa susah. Sewaktu saya hidup dalam pengasingan karena soal PRRI/Permesta pada 1958, Cory dan Ninoy menawarkan agar saya tinggal di Manila. Pada 1983, Ninoy, yang saat itu berada di Amerika Serikat, tiba-tiba menelepon saya. Dia bilang, ingin kembali ke Manila tapi dihalangi terus oleh pemerintahan Marcos. Kemudian, suatu ketika, Agustus 1983, dia menelepon saya dari Taipei. Dia bertanya, apa mungkin masuk ke Manila dari Jakarta. Kan Garuda waktu itu punya jalur Kinibalu-Jakarta. Saya bilang ke Ninoy, akan saya usahakan.

Caranya?

Dengan menaruh namanya di dalam mock list (daftar palsu). Jadi, hanya namanya ada dalam penerbangan Kinibalu-Jakarta, tapi orangnya tidak ada. Tengah malam, Ninoy menelepon lagi. Dia kaget karena mendengar istri saya dalam keadaan koma dan ingin tahu keadaannya. Saat itu saya bilang ke Ninoy, saya sudah mencoba mencari jalan, tapi mustahil, karena ada perjanjian antara Garuda dan Malaysia Airways bahwa di Kinibalu Garuda hanya melakukan pendaratan teknis, tidak menerima penumpang baru. Sebetulnya, kami masih bisa mengusahakan cara lain, lewat jalur lain dan hari lain. Tapi dia tertembak di Bandara Manila.

Di mana Anda mendengar kabar itu?

Saya mau pulang ke rumah sehabis menunggui istri saya yang sedang koma di Rumah Sakit St. Carolus. Saya iseng-iseng menyetel radio dan mendengar kabar itu. Begitu kagetnya sehingga mobil saya nyaris menyeruduk pagar kampus Universitas Indonesia di Salemba. Lama saya terbengong-bengong (Des menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan pandangan kosong).
Saya berusaha menelepon Cory tapi tidak bisa masuk. Saya mencoba terbang ke Manila tapi waktu itu orang-orangnya Marcos keburu tahu.

Hubungan dengan Cory terus berlanjut setelah dia jadi presiden?

Oh ya, sewaktu Kolonel Gregorio Honasan dan lain-lain berdemonstrasi di jalan, saya mendapat kabar dari Cory. Kami saling menelepon soal perkembangan di sana. Sewaktu Marcos hampir jatuh, Cory kasih kabar. Saya telepon Benny (Moerdani) di Bali. Saya bilang, "Ben, Marcos pasti jatuh karena gerakan kekuatan massa (people power). Reaksi Benny, "Tahu dari mana?" Saya bilang, "Ada, deh."

Kabarnya, Anda pernah menjadi utusan resmi dari militer kita untuk suatu urusan ke Filipina karena kedekatan dengan Cory?

Begini ceritanya. Suatu hari, mobil saya disetop anggota Pom ABRI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka bilang, "Pak Des, Pak Benny mengundang Anda rapat dengan Presiden sekarang. Penting sekali. Anda mau dikirim ke Filipina." Di markas Departemen Pertahanan dan Keamanan, Benny meminta saya berangkat ke Manila karena pemerintah RI mau tahu situasi sebenarnya di Filipina. Benny menaruh uang US$ 7.000 di atas meja lalu bilang, "Ini untuk kamu." Saya jawab, "Terlalu sedikit." Benny bereaksi, "Bagaimana kalau US$ 10.000?" Saya marah. Saya bilang, "Sejak kapan gua bantu-bantu RI dapat uang? Waktu pemulihan hubungan dengan Malaysia segala macam itu, apa dapat uang? Kan enggak." Saya kemudian terbang ke Manila bertemu dengan Fidel Ramos—kami sudah teman baik sejak dia masih mayor—dengan Kolonel Honasan dan Cory.

Anda juga berkunjung ke sana setelah Cory jadi presiden?

Oh ya, beberapa kali. Suatu ketika, dalam perjalanan ke Amerika, saya telepon dia ke Malacanang. Eh, di sana rupanya gampang menelepon presiden. Langsung bicara. Lalu dia meminta saya datang ke istana untuk minum teh. Ya, Cory membuka hati, macam-macam, dari soal anaknya, Kris Aquino, yang pacaran dengan suami orang, sampai Indonesia yang menagih utang beras 6.000 ton dan utang rotan. Cory mengeluh, "Bagaimana, Des, kami ini lagi miskin-miskinnya. Sewaktu Marcos, saat dia sudah mau jatuh, Indonesia (Habibie) masih kasih pesawat. Sekarang, saya baru mulai, sudah disuruh bayar utang. Uang dari mana?" Karena kecewa, Cory memutuskan akan berkunjung ke negara ASEAN, tapi Singapura—dan bukan Indonesia—yang menjadi tempat kunjungan pertama.

Apa reaksi Anda?

Saya pikir, celaka ini. Saya kumpulkan teman-teman dan kita kasih saran ke Cory. "Begini, kamu datang dulu ke Indonesia. Kalau sama Soeharto, cara ngomongnya begini, begini." Cory mempraktekkan. Hasilnya? Soeharto bilang, "Sudah, utang ini itu enggak usah dibayar."

Sekarang soal PRRI/Permesta pada 1958. Mengapa Anda terlibat dalam gerakan itu?

Itu cara saya berjuang menyatakan hak saya untuk melawan.
Anda memberontak? Kan Bung Karno menilai gerakan ini sebagai pemberontakan.
Yang saya lakukan hanyalah manusia yang berjuang untuk haknya. Saya menulis buku, berjudul The Right to The Rebel. Jadi, saya bukan memberontak, tapi melawan. Ceritanya begini, tahun 1957, saya tiba-tiba sangat rindu Indonesia, jadi pulang sebentar. Tapi saat itu mereka sudah menyebar cerita bahwa Des Alwi agen CIA (Badan Intelijen Amerika). Apalagi tatkala saya tiba di Jakarta, baru saja terjadi percobaan pembunuhan dengan granat terhadap Bung Karno di Cikini. Saya diburu orang-orang Kodam berhaluan kiri. Langsung saya cabut ke Manila.

Tapi Anda sempat mengangkut beberapa wartawan top Manila meliput pergolakan PRRI/Permesta di Manado sebelum pulang?

Sewaktu PRRI/Permesta bergolak di Manado, saya mengirim kawat ke Jakarta tentang beberapa wartawan Filipina yang mau meliput Manado. Tapi saya tidak melapor ke pusat bahwa saya mau membawa mereka lewat Minahasa. Pikiran saya, sudah ada konsulat di sana, kenapa enggak bisa membawa mereka lewat Minahasa. Ada tiga wartawan top Manila yang berangkat bersama saya, antara lain Ninoy Aquino.

Anda naik kapal ke Manado?

Ya, saya sudah kontak dengan H.N. Ventje Samuel (panglima gerakan Permesta). Kita naik kapal kopra, lewat Sambuaga. Peristiwa itu menjadi persoalan karena koran-koran kemudian menulis headline tentang situasi pemberontakan tersebut dan kejatuhan Manado. Akibatnya? Saya dipindahkan ke Jakarta dan diberhentikan menjadi pegawai negeri, dianggap melanggar sekian hal. Peristiwa itu terjadi pada 1958.

Jadi, Anda dendam pada perlakuan mereka?

Saya merasa diperlakukan tidak adil dan melawan. Saya tidak ikut apa-apa, kok, dikerjain begini. Jangan lupa, saya ini berbintang Scorpio, yang bisa balas dendam kalau sudah keterlaluan. Peristiwa di atas membuat saya pasti ditangkap jika tidak keluar dari Indonesia. Sejak itu saya bilang, "Gua mau balas dendam. Sama Maladi, Subandrio, dan segala macam nenek-moyangnya."

Bagaimana tanggapan kedua orang tua angkat Anda, Hatta dan Sjahrir, terhadap peristiwa itu?

Saya hidup sembilan tahun dalam pengasingan. Dari Manila (1958) ke Swiss (1959), Hong Kong (1960-1961), dan Malaysia (1961-1966). Saya ketemu Pak Hatta sewaktu beliau ke Jepang lewat Manila pada November 1958. Dia bercerita bagaimana dia dikerjain Bung Karno. Katanya, "Aduh, Des, Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi, Om berhenti saja jadi wakil presiden."

Itu pertemuan terakhir dengan Hatta sebelum Anda kembali ke Indonesia?

September 1962, saya ketemu Om Hatta di Malaysia. Waktu itu saya menangis seperti anak kecil (matanya tiba-tiba memerah, lalu berkaca-kaca), mengingat segala kejadian yang sudah lewat. Selama hidup saya, barangkali saya cuma 3-4 kali menangis.

Kapan Anda kembali dari pengasingan ke Indonesia?

Tahun 1966 saya sudah bolak-balik ke Jakarta. Tapi keluarga masih tetap di Malaysia karena anak-anak sekolah—di Malaysia dan Eropa.

Bagaimana Anda membiayai hidup selama di pengasingan?

Saya punya kantor, bikin mebel, lemari es. Saya sampai punya tanah di Malaysia. Saya beli tahun 1960-an seharga US$ 500. Eh, 20 tahun kemudian saya jual laku US$ 500.000.

Tapi Anda kan mengirim anak-anak sekolah ke Swiss dan Amerika selama pengasingan. Uangnya apa cukup dari menjual mebel dan merakit AC?

Suatu ketika, iseng-iseng saya pasang lotere Four Digit. Saya pasang angka 1730, yaitu pas ulang tahun Mira, anak saya, yang ke-17. Sedangkan 30 itu tanggal kelahirannya. Eh, menang, M$ 85.000. Uang itu dipakai untuk membiayai Mira dan Tanya sekolah ke Swiss, ha-ha-ha....

Tampaknya, hidup Anda diwarnai banyak kebetulan yang mujur?

Ha-ha-ha..., tidak selalu. Ya, tapi ada benarnya. Menjelang lahirnya Tanya, kami tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. Eh, kebetulan kita ketemu satu koper peninggalan teman yang mati sewaktu perjuangan Permesta. Sebelum koper itu dikirim kembali ke Manado, saya periksa dulu isinya. Di situ ada uang cek US$ 2.000 dan uang kontan US$ 1.000. Begitulah. Uang itu dipakai, kopernya dikirim ke Manado.

Oh ya, bagaimana dengan kegiatan film dan dokumentasi?

Masih saya teruskan. Heran saya, negeri sebesar ini, kok, tidak punya perhatian terhadap dokumentasi. Semua dokumentasi sejarah sudah saya serahkan ke Arsip Nasional dan disimpan dengan baik. Dokumentasi film masih terus saya lakukan. Cuma, sekarang, bagian terbesar waktu saya terpakai untuk Banda. Anda tahu, saya sangat mencintai Banda.

Seberapa cinta?

Terlalu cinta. Kalau ingat Banda, saya ingin tidak akan pernah mati. Dulu, kami punya 500 ribu pohon pala di kepulauan itu. Pala terbaik di dunia. Sebab, secara iklim, tanah, dan alam, di dunia ini pala tumbuh paling baik di Banda. Sekarang tinggal 31 ribu pohon. Sekarang saya dan penduduk setempat sudah berhasil menanam sekitar 100 ribu pohon. Tapi saya punya cita-cita, kami harus bisa menanam sampai paling tidak 200 ribu pohon.

Wah, begitu dalam perasaan Anda terhadap tanah kelahiran? Padahal, boleh dikata Anda hidup jauh lebih lama di luar negeri dan di luar Banda.

Entahlah. Saya selalu ingin pulang. Di sana ada rumah-rumah dan benteng peninggalan Belanda. Ada laut, yang bagi saya paling indah dan biru di dunia. Saya selalu ingin kembali ke Banda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus