Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melacak Aksi Penumpang Gelap

Laporan Badan Intelijen Negara menyebut Wiranto dan sejumlah tokoh ikut mendompleng demo antipemerintah.

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI penggembosan!? teriak Irwansyah, Koordinator Aliansi Korban Kekerasan Negara (Akra). Mantan mahasiswa Universitas Jakarta itu mengaku handphone-nya diserbu pesan yang berisi pernyataan ?kejam?: seorang rekan kita dibeli Wiranto. Padahal sang aktivis?sebut saja dia Tony?selama ini justru dikenal sangat sebal dengan Wiranto. Tony dan banyak rekannya sesama elemen?begitu mahasiswa menyebut jatidirinya?pernah berdemo di rumah mantan petinggi tentara itu di kawasan Simpruk, Senayan, Jakarta. Kabar beredarnya ?isu maut? itu juga didengar Irwansyah dari kawan-kawan dekatnya di kalangan gerakan mahasiswa. Bendera Akra, yang jaringannya membelit di beberapa kampus Jakarta, memang tidak berkibar dalam demo yang ramai itu. Sebab, fokus mereka adalah pada advokasi kasus Trisakti, Semanggi I dan II. ?Kenaikan harga bukan isu kami,? tutur Irwansyah. Tapi, ironisnya, Tony malah kecebur masuk ke isu kenaikan tarif, yang bukan agenda perjuangan mereka. Berkat Wiranto? Nama Jenderal Purnawirawan Wiranto kini mewabah di kalangan aktivis mahasiswa. Apalagi setelah bocor berita dirinya dilaporkan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam sidang kabinet awal pekan lalu. Selain Wiranto, disebut juga nama Fuad Bawazier (Ketua Korps Alumni HMI), Adi Sasono (Ketua ICMI), Eros Djarot (Ketua Partai Nasionalis Bung Karno), dan Rizal Ramli, analis Econit yang bekas Menteri Perekonomian di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Mereka, dalam laporan Intelijen Negara, dianggap sebagai ?penunggang gelap? aksi mahasiswa menolak kenaikan harga. Mereka menyusup dengan memasukkan isu ?turunkan Mega-Hamzah? dan ?bentuk presidium?. Isu bahwa pensiunan militer kelahiran Yogyakarta, 4 April 1947, itu ?bergerilya? di kalangan mahasiswa, LSM, dan aktivis politik memang santer terdengar. Ia beroperasi lewat bekas pentolan mahasiswa yang bekerja di lembaga kajian Institute for Democracy Indonesia (IdeI), yang didirikannya. Selain itu, ada kabar juga, beberapa aktivis senior gerakan mahasiswa juga dikenal suka runtang-runtung dengannya. Seorang pentolan Forum Kota, dikenal dengan demonya yang galak, mengaku pernah ?dibujuk? untuk bertemu Wiranto. Adi?sebut saja begitu namanya?diajak oleh dua orang seniornya pada 12 Januari lalu. Mereka dijemput Erik Wardana, penghubung Wiranto dengan mahasiswa yang juga sekretaris IdeI. Adi diantar ke kantor di Jalan Teluk Betung, Jakarta. Di sebuah ruangan seluas 3 x 5 meter di lantai 3, mereka berdiskusi dengan Wiranto, yang berpakaian safari warna krem, mengenakan sandal kulit. Wiranto tak sendiri. Alumni AMN tahun 1968 ini tengah ditemani seorang mantan aktivis mahasiswa. ?Ini Pak, anak-anak ingin berdiskusi dengan Bapak,? kata Erik. Adi tentu saja kaget karena ia justru merasa diundang, bukan ingin bertemu. Wiranto kemudian bercerita tentang niatnya menulis soal kerusuhan Mei, sama sekali tak menyentuh soal demo pesanan atau berjanji untuk memberi duit. Nostalgia berkuasa di masa lalu juga disinggung. Wiranto bercerita bagaimana ia dipanggil ke Cendana oleh Soeharto. Ia diberi Inpres No. 16/98 atau semacam ?Supersemar II?, yang bisa mengambil tindakan apa pun untuk mengamankan Ibu Kota, sekaligus mengkoordinasi tindakan ini dengan dukungan sejumlah menteri. Inpres itu tak dipakainya karena khawatir akan jatuh korban lebih banyak. Tiba-tiba Wiranto menceletuk, ?Kamu enggak takut datang kemari? Kita ini sekarang kan sedang dimata-matai BIN.? Menjelang magrib, diskusi bubar. Pertemuan itu kemudian berlanjut. Tiga hari kemudian, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Erik bersama tiga orang mantan aktivis bertemu membahas kemungkinan untuk mendanai demonstrasi. Cara merekrut massa juga didiskusikan. Saat itu konon Erik menyebut ada dana Rp 20 miliar bagi siapa saja yang bisa menggarap mahasiswa turun ke jalan untuk menggoyang Mega. Adi merasa tak sreg dan keluar. Ia tak tahu lagi bagaimana kelanjutan ?usaha? itu. Erik tegas membantah cerita itu. ?Bawa ke sini anaknya, biar kita klarifikasi langsung,? katanya, menantang. Apalagi soal uang Rp 20 miliar. ?Wah, kaya kita. Enggak usah segitu, kalau ada Rp 10 miliar saja kita bagi-bagi saja deh,? ia menambahkan. Wiranto juga menepis tudingan bahwa ia melakukan penggalangan dengan mendekati para aktivis lewat orang-orang dekatnya. ?Apa ada buktinya lewat saya?? katanya, balik bertanya kepada TEMPO seusai jumpa pers di Hotel Century Park, Jakarta, Jumat lalu. Adi Sasono juga membantah tuduhan pemerintah. ?Ah, itu hanya fantasi BIN,? tutur mantan Ketua Partai Daulat Rakyat ini. Namun, beberapa sumber mengakui kritik Adi kepada pemerintah cukup keras. ?Beberapa kali ia menuduh pemerintah telah melakukan ?premanisme? kekuasaan,? kata seorang tokoh partai Islam. ?Seandainya mahasiswa, saya tersinggung kalau dibilang ditunggangi,? ujarnya dengan senyum tipis. Fuad Bawazier termasuk tokoh yang ?diwaspadai? mahasiswa. Ia dicurigai menjadi wakil cukong Cendana. Bedanya, tak seperti Wiranto, posisinya sebagai Ketua KAHMI memungkinkan ia lebih ?bebas? bertemu mahasiswa dan aktivis. Beberapa aktivis mengaku kerap diberi sangu sekadarnya. Bukan rahasia lagi, bekas Dirjen Pajak juga Menteri Keuangan ini dikenal kaya raya. Kritiknya terhadap pemerintahan Megawati sudah lama kenceng. Fuad bilang, sebutan bahwa dirinya menunggangi berbagai kelompok mahasiswa yang kini bergerak merupakan tuduhan khas penguasa. ?Mahasiswa punya garis sendiri yang tak bisa ditumpangi, dan saya enggak pernah rapat dengan mereka,? katanya. Ia tak ambil pusing terhadap pemetaan politik yang dilakukan pemerintah. Boleh saja BIN bercuriga. ?Tapi saya akan tetap melakukan hak demokrasi saya,? tuturnya, tegas. Fuad memang rajin melobi. Sekretaris Jenderal Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi (Prodem), Abdul Hamid Dipopramono, mengaku pernah mengundang Fuad Bawazier sebagai salah satu pembicara kunci pada Sidang Raya Gerakan Oposisi Nasional (Sirgonas) 2003, awal Januari lalu. Selain Fuad, juga diundang Rizal Ramli, Eros Djarot, Mulyana W. Kusumah, dan Profesor Sarbini. ?Kami undang semua wakil komponen gerakan yang kritis terhadap pemerintahan Megawati,? katanya. Fuad wakil kelompok ?kanan? atau Islam, Sarbini dari kelompok ?kiri? atau sosialis, sedangkan Eros wakil kelompok ?tengah?. Sirgonas menghasilkan maklumat bersama. Judulnya: Mega-Hamzah Mundur, Rakyat Makmur. Tiga butir isinya menyerukan Mega-Hamzah dan kabinetnya mundur dan DPR bubar; pembentukan Presidium Nasional untuk menjalankan fungsi pemerintahan sementara selama dua tahun sampai adanya pemilu dan pemilihan presiden langsung; dan terakhir, menyeru kepada masyarakat agar menduduki pusat-pusat kekuasaan politik di pusat dan daerah secara damai. Ide ini terus berkembang dan diarak-arak mahasiswa pekan-pekan ini. Eros Djarot juga keheranan kalau dirinya disebut sebagai ?penunggang? aksi mahasiswa. ?Hebat banget. Itu fitnah,? ia menukas. Ia membantah bertingkah sejauh itu. Penggagas tabloid Detik yang pernah dekat dengan Megawati ini memang giat mengkritik pemerintah. ?Karena itulah realitas sosial yang terjadi,? ucapnya. Ia mengaku menggelar serangkaian pertemuan di kantor Poros Indonesia di Pejompongan, Jakarta. Pertemuan itu melahirkan Koalisi Nasional, beranggotakan 40-an elemen organisasi, yang pekan lalu dideklarasikan di Gedung Joang 45 di Menteng sebagai wadah oposisi nasional. ?Kalau beginian saja dilarang, berhenti saja jadi politikus,? katanya, kesal. Arif A. Kuswardono, Iwan Setiawan, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus