Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim investigasi penularan dan penyebaran flu burung sedang tancap gas. Pemicunya adalah hasil uji dari laboratorium rujukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Hong Kong yang diumumkan pada Rabu pekan lalu. Dipastikan, Iwan Siswara Rafei, 37 tahun, warga Tangerang, Banten, dan dua anaknya yang meninggal secara beruntun terkena virus flu burung. Maklumlah, virus pembunuh ini jika tak segera dihambat gerakannya akan makin gawat sepak terjangnya.
Mereka tak hanya mengubek-ubek sumber virus flu burung alias avian influenza di sekitar rumah keluarga Iwan di Villa Melati Mas, Serpong, Tangerang. Dalam beberapa hari terakhir, tim yang beranggota personel dari Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Naval Medical Unit Research dari Angkatan Laut Amerika Serikat, dan WHO itu telah menebar petugas ke 21 provinsi yang pernah disatroni sang virus. “Kami mencari sumber virus, lalu mengupayakan pencegahannya,” kata I Nyoman Kandun, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan yang menjadi komandan tim.
Virus maut yang semula masih misterius itu awalnya menyerang Sabrina Nurul Aisah, 8 tahun, anak kedua Iwan, pada 24 Juni. Dia dirawat di Rumah Sakit Siloam Gleneagles sejak 29 Juni. Kemudian, Iwan dan anak ketiganya, Thalita Nur Azizah, 1 tahun, terkapar sakit. Mereka dirawat di rumah sakit yang sama sejak 7 Juli. Belakangan, Thalita sempat diboyong ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Namun, ketiganya tak bisa bertahan. Mereka meninggal secara beruntun dalam rentang waktu sepekan. Tinggallah istri Iwan, Lin Rosalina, bersama putra sulungnya, Fariz Rizky, 12 tahun.
Dokter Eddy Soeratman, ahli paru di Rumah Sakit Siloam, menaruh curiga atas penyakit tiga pasiennya itu. Soalnya, menurut hasil diagnosis awal, pasien mengalami pneumonia berat. “Tapi penyakitnya agak janggal, sesak, batuk-batuk, panas tinggi selama dua hari, lalu meninggal. Ini kan aneh,” katanya. Karena itu, Eddy melapor ke Departemen Kesehatan.
Sampel darah Iwan dan dua anaknya kemudian dikirim ke laboratorium rujukan WHO di Hong Kong. Laboratorium yang terdapat di Jurusan Mikrobiologi, University of Hong Kong, itu memiliki fasilitas penelitian untuk influenza, termasuk flu burung. “Seluruh spesimen dari Asia dikirim ke Hong Kong, termasuk Indonesia,” kata Georg Petersen, perwakilan WHO di Indonesia, kepada Ami Afriatni dari Tempo.
Sepekan kemudian, jawaban yang ditunggu-tunggu datang. “Mereka positif terkena flu burung,” kata Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Namun, dia belum mengetahui bagaimana virus mematikan yang dalam dunia kesehatan dikenal berjenis subtipe H5N1 itu menyerang keluarga Iwan. Inilah kejadian pertama flu burung menyerang manusia di Indonesia. Kenyataan ini tentu saja mengkhawatirkan, kendati dipastikan virus ini tak menular dari manusia ke manusia. “Hanya melalui unggas,” kata Siti Fadillah.
Sejak ada kepastian itulah pemerintah membentuk tim investigasi untuk menelusuri aktivitas Iwan dan dua anaknya sebelum meninggal. Sardikin Giri Putro, Ketua Tim Medis Flu Burung Departemen Kesehatan, ikut mengerahkan sejumlah pemantau untuk menyisir jejak Iwan dalam 10 hari terakhir. Menurut Lin Rosalina, suami dan anaknya sebelum meninggal pernah pergi ke Bandung pada 28 Mei. “Itu adalah perjalanan ke luar kota yang terakhir kalinya,” kata perempuan 35 tahun ini. Setelah itu, keluarga ini disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Fariz dan Sabrina menjalani ujian sekolah, suaminya sibuk dengan pekerjaan kantor. Lin kembali beraktivitas sebagai staf Kementerian Lingkungan Hidup.
Kecurigaan bahwa mereka tertular dari luar kota atau luar negeri terbantahkan karena masa inkubasi virus tersebut pada manusia sungguh cepat, hanya satu sampai tiga hari. Kemungkinan berikutnya, mencari jejak Iwan di luar rumah. Menurut Lin, keluarganya memang senang makan di luar rumah pada hari-hari libur. “Biasanya makan daging ayam, “ katanya kepada Joniansyah dari Tempo. Namun, jika tertular di restoran, tentu seluruh keluarganya menjadi korban, juga orang lain yang makan di restoran itu.
Dugaan lain, virus flu burung berasal dari hidangan ayam yang dimasak di rumah. Lin sendiri mengaku keluarganya memang menyukai daging ayam. Bahkan saking gemarnya, mereka sampai menyediakan stok daging ayam di lemari pendingin. Ayam itu dibeli dari penjual sayuran atau pasar swalayan tak jauh dari rumah.
Lagi-lagi, kemungkinan itu pupus karena keluarga Lin tak suka daging setengah matang. Jadi, ayam selalu dimasak sampai benar-benar matang sebelum disantap. Pada daging ayam yang sudah dimasak dipastikan virus avian influenza telah terbasmi. Virus ini tak bisa hidup pada suhu 60 derajat Celsius. Lagi pula, jika asalnya dari ayam yang dimasak sendiri di rumah, tentu virus akan menyerang seluruh keluarga, sedangkan Lin dan seorang anaknya sehat-sehat saja.
Masih ada dugaan lain. Penularan mungkin berasal dari unggas di sekitar kompleks Villa Melati Mas. Sebab, manusia bisa tertular dari percikan lendir yang keluar dari unggas. Bahkan dalam jarak dekat, penularan bisa terjadi melalui udara. Ini pun meragukan. “Jika penyebabnya adalah unggas yang ada di sekitar tempat tinggalnya, harusnya unggas itu mati lebih dulu,” kata Sardikin. Selain itu, tentu bukan hanya Iwan dan keluarganya yang terkena.
Lalu dari mana datangnya virus? Tim investigasi penularan dan penyebaran flu burung belum menemukan jawabannya hingga kini. Menurut Sardikin, jika kontak antara Iwan dan unggas tak ditemukan, maka sulit pula untuk mengetahui asal virus.
Yang pasti, selama ini virus flu burung memang sudah menyerang Tangerang. Sekitar 15 kilometer dari rumah Iwan terdapat tempat peternakan babi. Peternakan itu pernah terjangkit flu burung pada April lalu. Itu sebabnya, untuk mencegah penularan, semua babi di sana akan segera dimusnahkan oleh pemerintah.
Teknik lain untuk melacak jejak virus yang membunuh Iwan dan anaknya dengan mengidentifikasi secara genetik. Caranya, unggas yang terkena virus flu burung diperiksa Deoxyribose Nucleic Acid (DNA)nya. Hasilnya dibandingkan dengan virus yang menyerang Iwan. “Jika secara genetik virus itu sama, maka sumber virusnya baru bisa diketahui,” ujar Sardikin.
Petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Tangerang ikut membantu menelitinya. Mereka telah mengambil sampel darah semua ternak unggas dan babi di Tangerang yang diduga terjangkit virus flu burung sejak Kamis pekan lalu. “Menurut penelitian, virus flu burung yang menyerang ke unggas bisa menular ke babi, kemudian ke manusia,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono.
Kendati masih remang-remang, Direktur Pemberantasan Penyakit Menular Bersumber Binatang, Departemen Kesehatan, Hariadi Wibisana, meyakini virus yang menyerang keluarga Iwan berasal dari satu sumber. Dia pun terus berupaya mencari jejak virus itu untuk menemukan modus penularannya—“Sehingga mata rantai penularan bisa diputus.”
Penularan dari manusia ke manusia pun dideteksi walau kemungkinannya kecil. Tim peneliti dari Departemen Kesehatan telah mengambil 315 sampel darah keluarga, teman dekat, dan orang yang merawat keluarga Iwan di rumah sakit. “Saya termasuk yang diambil sampel darahnya karena menangani korban saat dirawat di Siloam,” kata Eddy Soeratman. Pengambilan sampel dilakukan pada 11–13 Juli. Namun, hingga akhir pekan lalu belum ada yang mengeluh demam atau sesak napas. “Saya sehat-sehat saja,” ujar Eddy.
Selain meneliti sumber virus yang merasuk ke tubuh Iwan dan keluarganya, tim itu juga menelusuri bagaimana virus avian influenza bisa datang ke Indonesia. Mula-mula virus ini ditemukan di Hong Kong pada 1997, lalu menyebar ke berbagai negara di Asia. “Ada kemungkinan penyebarannya melalui migrasi burung,” kata Siti Fadillah. Memang, virus ini bisa datang bersama burung liar, tapi tak membunuh burung yang menjadi indung, hanya menumpang terbang.
Di Indonesia, avian influenza diduga telah muncul pada 2003, tapi pemerintah baru mengumumkan secara resmi tahun lalu. Sampai saat ini flu burung telah menyerang belasan juta unggas di 21 provinsi. Menurut I Nyoman Kandun, pemerintah sudah berusaha membasminya. Kemungkinan penularannya terhadap manusia juga dipantau. “Kami telah mengantisipasi sejak wabah flu burung merebak,” kata Kandun. Toh, jatuhnya korban sulit dihindari.
Kini Menteri Siti Fadillah berharap masyarakat tak panik. “Kami segera melakukan penyuluhan,” katanya. Dia juga mengimbau agar masyarakat waspada jika muncul gejala demam dan batuk, apalagi jika setelah bersentuhan dengan unggas. Orang juga bisa mencegah penularan flu burung dengan cara sederhana. “Terutama dengan menjaga kebersihan dan menerapkan pola hidup sehat,” ujarnya.
Nurlis E. Meuko, Eni Saeni, Lis Yuliawati, Maria Ulfa
Kepak Maut Flu Burung
2003
- 29 Agustus: Lima belas ribu ekor ayam mati mendadak di Jawa Tengah.
- 23 Oktober: Departemen Pertanian menyebutkan penyebab wabah adalah virus tetelo dengan jenis Vilogenic vicerotropic.
- 22 Desember: Pusat Informasi Unggas Indonesia menyebut penyakit flu burung ikut serta dalam wabah tetelo itu.
2004
- 24 Januari: C.A. Nidom, peneliti biologi molekuler Universitas Airlangga Surabaya, menyebut penyebab wabah adalah virus flu burung, bukan tetelo. Kesimpulan diambil dari identifikasi DNA (deoxyribonucleic acid) dengan sampel seratus ekor ayam dari daerah wabah.
- 25 Januari: Departemen Pertanian baru mengumumkan secara resmi kasus flu burung terjadi di Indonesia. Jumlah kematian ayam dilaporkan 4,7 juta ekor. Disebutkan pula sejak mewabah di Indonesia, pada 2003 hingga pertengahan Maret 2005, sekitar 16,24 juta ekor unggas telah terjangkit flu burung.
2005
- 9 April: C.A. Nidom menemukan virus flu burung pada babi di Tangerang.
- Mei: Sampel darah 81 peternak dari Sulawesi Selatan dikirim ke laboratorium referensi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Hong Kong.
- Juni: Dari 81 sampel darah itu, ditemukan virus flu burung pada seorang peternak dari Sinjai, Sulawesi Selatan. Tapi pada orang tersebut tidak ada gejala klinis seperti demam, sesak napas, dan daya tahan tubuh menurun drastis.
- 20 Juli: Pemerintah mengumumkan hasil penelitian terhadap kasus Iwan Siswara Rafei, warga Vila Melati Mas, Tangerang, dan dua anaknya, Sabrina dan Thalita, yang sepekan sebelumnya meninggal secara beruntun. Dari hasil uji spesimen mereka di laboratorium di Hong Kong dipastikan kematian Iwan dan dua anaknya karena virus flu burung.
Cara Pencegahan
Unggas
- Memusnahkan dengan membakar unggas yang terinfeksi flu burung
- Melakukan vaksinasi pada unggas yang sehat
- Mencuci alat yang digunakan dalam peternakan dengan desinfektan
- Tak mengeluarkan kandang dan kotoran unggas dari lokasi peternakan
- Membersihkan kendaraan yang keluar masuk kandang dengan desinfektan
Pekerja Peternakan
- Mencuci tangan dengan desinfektan
- Mandi setelah bekerja
- Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung
- Menggunakan alat pelindung diri seperti masker, kaca mata renang, pakaian kerja
- Tidak membawa peralatan kerja keluar peternakan
- Membersihkan kotoran unggas setiap hari
Masyarakat
- Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan istirahat cukup
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
- Mengkonsumsi unggas dengan cara yang benar:
- Memilih unggas yang tak ada gejala penyakit pada tubuhnya
- Memasak daging ayam dengan suhu sekitar 80 derajat Celsius minimal satu menit
- Memasak telur dengan suhu sekitar 64 derajat Celsius minimal lima menit
Gejala Unggas
- Jengger berwarna biru
- Borok di kaki
- Kematian mendadak
- Masa inkubasi satu minggu
Manusia
- Demam, dengan suhu badan di atas 38 derajat Celsius
- Batuk dan nyeri tenggorokan
- Radang saluran pernapasan atas
- Nyeri otot
- Masa inkubasi 1-3 hari
Asal-muasal
- Flu burung atau Avian influenza merupakan penyakit yang disebabkan virus influenza A sub tipe H5N1.
- Jenis penyakit ini pertama kali dikenal di Italia pada 1878.
- Penyakit ini menyerang unggas, seperti burung dan ayam, kemudian dapat menulari manusia.
- Penularannya ke hewan lain melalui air liur, lendir dari hidung, dan udara yang tercemar virus yang berasal dari kotoran unggas yang terkena flu burung. Infeksi H5N1 pada manusia pertama kali terjadi di Hong Kong pada 1997.
Lis Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo