Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAUT biru adalah singgasana-nya. Kapal perang adalah sahabat ter-kasihnya…. Siang itu, di perair-an Ambalat, Rosalinda Yahya me--mulai kisahnya. Di atas kapal pe-rang yang menderu-deru, di antara ombak yang menampar, dia berdiri di depan kamera televisi. Wartawan RCTI itu menuturkan panasnya perseteruan kapal Indonesia versus kapal Malaysia mengenai Ambalat, secuil pulau ka-rang di ujung Kalimantan Timur.
Gadis mungil itu mengisahkan adu ger-tak kapal perang Indonesia dan Ma-laysia dengan penuh semangat, seperti Peter Arnett, wartawan perang dari CNN . ”Inilah laporan kami dari atas ka-pal perang di Laut Ambalat,” kata-nya menutup siaran.
Di tempat itulah berita dari medan tem-pur disiarkan. Tak ada antena pa-ra-bola di sana. Juga tiada OB Van—mo-----bil siaran langsung superkomplet yang dilengkapi penyunting video, pem---bangkit listrik, dan parabola yang me-mancarkan siaran ke satelit. Lagi pu---la, di atas kapal tempur, mana boleh memboyong mobil yang bobotnya ham-pir satu ton itu?
Tapi, inilah kurun nanoteknologi, yang semua perangkatnya bisa jadi mi-ni, termasuk prosesor yang bisa diker-dil-kan hingga sepermiliar dari ukur-an aslinya. OB Van bisa digantikan de--ngan laptop dan I-Cast, pemancar si-nyal ke satelit yang bentuknya seperti koper kecil itu.
Lewat alat itu, adegan pesawat patroli yang bersilangan di langit Amba-lat, wajah ayu sang reporter, atau ka-pal perang yang memamerkan meriam, bisa dikirim langsung ke kantor pusat RCTI di Kebon Jeruk, Jakarta. Hanya dalam hitungan menit, penonton bisa diajak menyelami tragedi.
Semua itu berkat pemancar mini made in Batam. I-Cast ini merupakan alat pengirim video pertama bikinan in--sinyur-insinyur PT Asia Cellular Sa--tellite (ACeS), anak perusahaan satelit swas-ta PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Alat yang dibikin sejak setahun lalu itu, pada akhir Juni silam, disempurnakan menjadi G-Wave. Teknologi-nya sama, cuma bentuknya sedikit le-----bih kecil, dan beratnya cuma 7 kilo-gram. -Antenanya juga hanya sedikit le-bih lebar ketimbang kertas folio.
Cara kerja ”koper satelit” ini tak ru--mit. Untuk mengirim video, cukup hubungkan kamera ke laptop. Dengan peranti lunak khusus, video berkualitas tinggi dimampatkan menjadi video berformat MPEG-4 (moving picture experts group tipe 4). Ini adalah format video yang dirancang untuk di--alir-kan lewat Internet. Ukurannya ke--cil tapi gambarnya tak akan pecah bila disiarkan di televisi. Selanjutnya, me-lalui G-Wave, video itu dikirim ke satelit Garuda-1 yang beredar di atas langit kawasan Asia Pasifik. Dari satelit ini, video dikirim ke stasiun bu-mi Pasifik Satelit Nusantara dan disalurkan lewat jalur khusus (leased line) ke RCTI (lihat infografik).
Alat ini sebenarnya juga bisa digunakan untuk siaran langsung. Hanya, siaran langsung dengan G-Wave ini le-bih rentan masalah. Jika sedikit men-dung atau jalur koneksi ramai, gam--bar yang tampil bisa sedi-kit patah-patah. Itu yang terjadi saat wartawan menguji coba alat ini dari -Gunung Hali-mun, -Suka-bumi, Juni lalu.
Kendati punya ke-lemahan, teknologi ini, kata Denny Reksa, News Gathering Manager RCTI, sangat membantu, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Alat ini bisa ditenteng ke ma-na-mana dan sangat berguna, ”Ka-rena kami menguber kecepatan dan akurasi gambar,” ujar Denny. Asal antena bisa menghadap langit, data bisa di-kirim dengan lancar. Untuk vi-deo ber-du-rasi satu menit, para juru warta itu cuma butuh 5 sampai 8 menit untuk memampatkan gambar dan mengirimkannya.
Denny menuturkan, stasiun televisinya menggunakan alat ini sejak tiga bulan lalu. Reportase dari per-airan Ambalat adalah uji coba pertama me-reka memakai I-Cast. Saat liputan pemilihan kepala daerah secara langsung pertama di Kutai, Kalimantan Ti-mur, RCTI menjajal versi baru I-Cast, yakni G-Wave. Ternyata juga mulus. Sejak itulah, stasiun televisi swasta per-tama di Indonesia itu menyewa satu G-Wave buat jaga-jaga.
Selain oleh RCTI, G-Wave kini sudah dipakai banyak stasiun televisi: Me-tro TV, TV7, dan SCTV. Bahkan SCTV yang pertama kali menguji coba koper pemancar ini. Mereka mengguna-kannya saat liputan bencana di Nias, gem-pa di Padang, dan saat pelaksana-an hukum cambuk di Aceh. Dengan G-Wave ini, stasiun tV yang se--rius menjual pa-ket berita itu ber-harap tak lagi ke-tinggalan berita seper-ti yang ter-ja--di pada dua pekan pertama se-te-lah tsu-na-mi menyapu Aceh. Sa-at itu cuma Metro TV yang bisa me-lakukan siar-an langsung dari Seram-bi Mekah, ka-re-na mereka mengirimkan OB Van. Yang lainnya terpaksa me-ngirim kaset video dengan menitipkan ke maskapai penerbangan, karena in-fra-struktur te-le--ko-munikasi di Aceh nyaris nihil terhajar gelombang.
Dengan peranti ini, orang tak ha-nya cuma bisa me-ngirim video tapi juga trans-fer data yang berbasis Internet: mulai dari me-nge-cek surat elek-tronik, ber-selan-car di Internet, te-le-kon-fe-ren-si, maupun vi-deo on demand (layanan video sesuai de-ngan permintaan pe-langgan). Tempo bulan lalu menjajal pe-ngiriman da-ta dan lagu. Lagu Yesterday dari Bea-tles yang berukuran dua megabyte di-unduh hanya dalam waktu dua menit.
Sebuah berita di televisi, kata A. Fikri Shahab, Manager of Business Support PT Asia Cellular Satellite, pada umumnya butuh tayangan berukuran 10 megabyte. Tayangan itu bila diki-rim cuma butuh sekitar 10 menit. Cukup cepat, karena laju pengiriman ini maksimal bisa mencapai 256 kilobyte per detik (kbps). Kecepatan itu empat kali lipat pemancar satelit jinjing sejenis. Nera dari Inmarsat cuma bisa me-ngirim dengan laju data 64 kbps. Cu-ma, Nera memang menang luasnya jangkauan, seluruh dunia, sedangan G-Wave cuma Asia.
Meski jangkauannya cuma Asia, Ri-an Alisjahbana, Direktur Operasi PSN, tetap bangga. Teknologi ini, katanya, ”Bisa memperkecil Indonesia, karena bisa menyebarkan informasi de-ngan baik.” Berita dari ujung bu-kit atau sepucuk video bisa di-kirim ke be-lah-an Indone-sia yang lain de-ngan cuma be-berapa ”klik” tom-bol kompu-ter. Selamat da-tang di dunia siar-an televisi yang ins-tan.
Burhan Sholihin, Tjandra Dewi
’Kurir’dari Negeri Seberang
Banyak cara mengirim video atau data dari daerah pelosok. Berikut ini beberapa ”kurir” pengirim video. Dari beberapa kurir, ini cuma satu yang bikinan Indonesia, yakni G-Wave.
OB Van
Bobot hampir satu ton. Mahal tapi komplet (pemutar kaset VHS, alat penyunting, pembangkit listrik, antena diameter 2,4 sampai 3,7 meter). Sulit menjangkau daerah terpencil. Butuh keahlian tinggi.
Fly Way
Parabola cukup besar. Tak mudah dipindah-pindah. Mahal dan berat. Butuh keahlian tinggi.
Inmarsat GAN
Bentuk mini. Kecepatan kirim maksimum 64 kilobyte per detik. Tarif US$ 5,85 per menit. Karena kecepatannya seperempat G-Wave, biaya kirimnya juga 4 sampai 6 kali lebih mahal.
DVB dan Parabola
Parabola biasa ditambah komputer yang dilengkapi kartu DVB (digital video broadcasting). Tak cocok untuk dipindah-pindah. Harga lumayan murah US$ 2.500 per bulan per satu megabyte. Koneksi ke lewat jalur Internet.
G-Wave
Mudah dijinjing (cuma tujuh kilogram). Kecepatan 256 kbps. Untuk siaran langsung rawan gangguan. Sewa US$ 800 (Rp 7,8 juta) per bulan ditambah biaya kirim US$ 8 (Rp 78 ribu) per menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo