PETA kota Gorontalo seperti gambar pohon beringin rimbun
lengkap bersama akar-akarnya. Yang berbentuk persis dan batang
dahan utama menjulang jauh ke utara, tak lain adalah sungai
Bolongo di sebelah kiri dan sungai Bone di kanan. Keduanya
mengalir di tepian sebelah Barat dan Timur, mengepung rapi kota
yang berwilayah 66,15 km persegi dengan 3 kecamatan. 39 desa dan
penduduk 89.284 jiwa.
Kedua sungai yang mengalirkan air warna kuning ini masing-masing
merayap di kaki perbukitan yang gundul memanjang, disebut
penduduk gunung Pabean di sebelah kiri dan gunung Talumolo di
sebelah kanan. Keduanya tegak bagaikan benteng buat kota yang
kini dipimpin oleh Walikota drs. Jusuf Bilondotu ini. Jangan
lupa, yang nampak seperti dua dahan besar tadi adalah kawasan
desa Tenda dan Talumolo, lalu berbentuk seperti akar induk.
Inilah muara kedua sungai tadi yang dikenal sebagai teluk
Gorontalo merangkap bandar lautnya.
Dengan lukisan ini, sudah dapat dibayangkan problem terpenting
merupakan tantangan bagi kota yang terbagi tiga kecamatan ini
masing-masing Kota Utara. Kota Barat dan Kota Selatan. Meskipun
menurut Walikota Bilondatu banjir biasanya datang setiap lima
tahaun sekali, namun menurut catatan, kiriman air dari
Kabupaten Gorontalo itu sanggup merendam 40 persen wilayah
kotamadya yang baru berusia 16 tahun ini, sedalam dua meter.
Dengan begitu dapat difahami apabila penduduk kota ini terutama
yang berdiam di Kecamatan Kota Selatan dan Kota Barat untuk
desa-desa yang terjangkau daerah aliran kedua sungai tadi, harus
menggigil bila masih penghujan tiba.
Tanggul-Tanggul
Sekalipun lamaya air bah itu raib dengan cepat - paling lama
semalam tapi akibatnya tak kepalang tanggung. "Di samping
tembok-tembok bisa jebol, endapan lumpur tebal naik di atas
lantai rumah-rumah dan jalan-jalan tutur A. Mosin. Ka Hubmas
kota ini. Tapi mujurlah karena sampai dengan akhir tahun kemarin
pengalaman semacam itu belum terulang. "Syukur sudah lima tahun
belum pernah banjir selam saya menjabat walikota", ucap walikota
yang haji itu.
Rasa syukur ini tentu bukan tak beralasan. Sebab di samping
musim hujan yang sesungguhnya sudah malas muncul belakangan ini,
usaha melawan banjir memang sudah malas muncul belakangan ini,
usaha melawan banjir memang sudah ada. Sejak 1972 Bilondatu
memimpin sendiri jelatanya membuat tanggul-tanggul anti banjir
dengan proyek bernama normalisasi erosi di Talumbolo dan sungai
Bone. Di samping pembuatan tanggul-tanggul itu, alur-alur sungai
yang tak berfungsi lagi karena tersumbat erosi yang menyebabkan
sungai itu berpindah telah difungsikan kembali. Seperti sungai
Bone sepanjang kurang lebih 3 km di antara desa Tamalate dan
Padebualo yang tersumbat erosi, sekarang telah dinormalisir dan
alur yang lama telah beftungsi kembali. Juga sungai Bolongo di
bilangan desa Donggala sepanjang kurang lebih 2 kilo di jaman
Belanda pernah dialihkan liwat desa Siending mungkin dengan
maksud mengakhiri tepian pasar, sekarang telah difungsikan
kembali, sehingga air tak perlu lagi harus menjenguk pasar
sebelum terjun ke laut.
Begitu giatnya usaha melawan banjir ini, sehingga diperkirakan
sekarang ini "tinggal 20 persen wilayah kota yang terancam
banjir" seperti perkiraan Kasubdir pembangunan . Berni Yasin.
Mungkin pun untuk membebaskan ancaman kota ini dari bahaya air
bah sampai dengan nol persen, harus menunggu berhasilnya usaha
penghijauan bukit-bukit yang seluruhnya nampak botak. Sebab
pengaruh kebotakan ini bukan saja menyebabkan kota yang
selalu terendam, tapi pula air Balango dan Bone yang berwarna
itu , menandakan bakal lenyapnya bandar laut Gorontalo
di satu ketika bila endapan lumpurnya tak pernah dikeruk. Dengan
program bantuan penghijauan Nasional yang diatur dengan
Impres No. 8/76 di mana Sulawesi Utara kebagian Rp
1.011.500.000. Kotamadya Gorontalo teratas dalam skala
prioritas.
Mendahului mengucurnya dana tadi, usaha pun sudah ada yaitu 27
hektare dihijaukan dengan pohon lantoro di desa Talumolo dan 15
ha di Donggala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini