JAKARTA dilanda banjir adalah cerita lama yang selalu baru. Apa
penyebab banjir, juga selalu dijawab dengan nada lama:
kekurangan biaya, atau warga kota yang membuang sampah
sembarangan.
Tetapi memang hanya itukah penyebabnya? Apakah alasan ini tidak
terlalu singkat dan mudah? Selama ini belum pernah dikaji secara
luas dan mendalam, apakah banjirnya Jakarta disebabkan oleh
kombinasi beberapa faktor, yang titik beratnya terletak pada
fihak eksekutif yang kurang tegas dan tanpa perhitungan yang
teliti? Mengapa daerah Jakarta Kota yang relatif lebih rendah
dari daerah Kuningan tidak mengalami genangan hebat, jika
dibandingkan dengan daerah Setiabudi yang airnya bertahan sampai
5 hari?
Atap dan Banjir
Di koran Jakarta terbaca keterangan dari Dinas Meteorologi &
Geofisika, bahwa banjir Januari 1977 merupakan terbesar sejak
1892, tetapi bukan merupakan curah hujan yang terbesar selama
ini. Kalau demikian kenapa banjirnya terbesar sedang curah hujan
tidak terbesar? Dan berbeda dengan keadaan sebelumnya, banjir
kali ini tidak begitu dipengaruhi oleh banjir kiriman dari
sekeliling Jakarta.
Secara logis dapat disebut, bahwa banjirnya Jakarta adalah
mendadaknya sejumlah air yang tidak dapat ditampung got dan
saluran - lantas meluber. Kenapa?
Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 1970, belakangan ini
Jakarta dibangun dengan hebat dan cepat. Rumah-rumah besar dan
industri bertambah mendadak. Perkembangan perumahan di Jakarta -
berbeda dari di Singapura dan kota besar lainnya di dunia -
ialah horisontal melalap daerah pinggiran. Di luar negeri
pembangunan perumahan mengarah vertikal alias rumah bertingkat.
Luas atap rumah Jakarta tahun 1976 pasti bertambah, minimum 25%
dibanding tahun 1965. Berkat semen yang agak murah dan meluasnya
perbaikan jalan dan gang dalam rangka M.H.T., maka permukaan
tanah Jakarta seakan-akan tertutup dan tidak menyedot air lagi.
Tanah kebun, rumputan dan taman terus menyempit.
Lantas, kalau datang hujan air terkumpul dengan cepat, tetapi
daya serap tanah berkurang, serta-merta daya tampung saluran dan
parit umumnya tidak bertambah sesuai dengan pertambahan
pembangunan. Hasilnya, air meluap. Manusia Jakarta telah menjadi
korban kemajuan - dan salah perencanaan.
Drainage dan Pembangunan Kota
Bagi orang yang pernah mengamati kota metropolitan di luar
negeri, bertemu dengan kota Jakarta pasti terheran-heran. Lihat
saja kota modern Kebayoran, Tebet, dan Kawasan Industri
Pulogadung dan kota Universitas Rawamangun. Sistem drainage dan
salurannya kacau-balau atau tanpa ada perencanaan yang integral.
Pemilik rumah di Kebayoran Baru atau Tebet tidak tahu pasti ke
mana buangan airnya mengalir. Pokoknya mengalir ke sebelah atau
ke luar pekarangan -- atau berputar-putar di sekitar pekarangan.
Apakah para insinyur dan perencana kota Jakarta serta para
arsitek kita tidak pernah menghitung daya tampung selokan dan
tinggi rendah permukaan air serta ke mana air akan mengalir?
Ataukah para insinyur di Jakarta kebanyakan lahir di pegunungan
atau di kota kecil hingga tidak peka akan masalah kota besar?
Atau mungkin juga mereka mengusulkan sistem drainage dan saluran
yang konsekwen, tetapi mereka dianggap bodoh oleh para pembangun
(bouwheer) karena biayanya mahal? Atau mereka tutup mata saja?
Memang, seandainya sistem drainage dan saluran diterapkan secara
benar, maka biaya setiap pembangunan rumah dan kantor serta
pabrik di Jakarta pasti bertambah minim 250 dari biaya
rata-rata sekarang.
Tetapi kenapa Dinas Tatakota tidak memaksakan prosedur sistem
drainage dan saluran bagi pembangunan proyek besar dan
rumah-rumah luks? Memang, akibat banjir terutama dirasakan oleh
rakyat kecil, karena daerah mereka biasanya agak rendah dan
bangunannya mepet dengan tanah. Tetapi bukankah air yang
menggenangi rumah mereka adalah akumulasi dari atap dan semen
orang kaya atau bangunan raksasa?
Kita menjadi heran: "secara matematik" beberapa daerah Jakarta
seharusnya tidak banjir - mengingat letak daerah tersebut
beberapa meter atau cm lebih tinggi dari permukaan laut. Peta
banjir di harian Kompas 20 Januari 1977, memperlihatkan daerah
Jakarta Kota tidak begitu luas banjirnya.
Penulis jadi teringat kota Amsterdam dan Rotterdam yang
rata-rata terletak di bawah permukaan laut tetapi jarang sekali
ketimpa banjir. Perencana Batavia dahulu, rupanya di samping
perhitungan dari segi pertahanan, pembangunan saluran dan kanal
yang melingkari kota Batavia, juga mempunyai perhitungan untuk
mengurangi bahaya banjir. Mungkin tidak ada jeleknya apabila
para perencana Jakarta, dan terutama Dinas Tata kota-nya mengkaji
hal-hal di atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini