Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Batavia & Banjir

Jakarta selalu dilanda banjir, karena tidak menggunakan sistem drainage dan saluran benar. Dinas tata kota tidak memaksakan sistem drainage bagi pembangunan proyek besar dan rumah luks.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA dilanda banjir adalah cerita lama yang selalu baru. Apa penyebab banjir, juga selalu dijawab dengan nada lama: kekurangan biaya, atau warga kota yang membuang sampah sembarangan. Tetapi memang hanya itukah penyebabnya? Apakah alasan ini tidak terlalu singkat dan mudah? Selama ini belum pernah dikaji secara luas dan mendalam, apakah banjirnya Jakarta disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, yang titik beratnya terletak pada fihak eksekutif yang kurang tegas dan tanpa perhitungan yang teliti? Mengapa daerah Jakarta Kota yang relatif lebih rendah dari daerah Kuningan tidak mengalami genangan hebat, jika dibandingkan dengan daerah Setiabudi yang airnya bertahan sampai 5 hari? Atap dan Banjir Di koran Jakarta terbaca keterangan dari Dinas Meteorologi & Geofisika, bahwa banjir Januari 1977 merupakan terbesar sejak 1892, tetapi bukan merupakan curah hujan yang terbesar selama ini. Kalau demikian kenapa banjirnya terbesar sedang curah hujan tidak terbesar? Dan berbeda dengan keadaan sebelumnya, banjir kali ini tidak begitu dipengaruhi oleh banjir kiriman dari sekeliling Jakarta. Secara logis dapat disebut, bahwa banjirnya Jakarta adalah mendadaknya sejumlah air yang tidak dapat ditampung got dan saluran - lantas meluber. Kenapa? Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 1970, belakangan ini Jakarta dibangun dengan hebat dan cepat. Rumah-rumah besar dan industri bertambah mendadak. Perkembangan perumahan di Jakarta - berbeda dari di Singapura dan kota besar lainnya di dunia - ialah horisontal melalap daerah pinggiran. Di luar negeri pembangunan perumahan mengarah vertikal alias rumah bertingkat. Luas atap rumah Jakarta tahun 1976 pasti bertambah, minimum 25% dibanding tahun 1965. Berkat semen yang agak murah dan meluasnya perbaikan jalan dan gang dalam rangka M.H.T., maka permukaan tanah Jakarta seakan-akan tertutup dan tidak menyedot air lagi. Tanah kebun, rumputan dan taman terus menyempit. Lantas, kalau datang hujan air terkumpul dengan cepat, tetapi daya serap tanah berkurang, serta-merta daya tampung saluran dan parit umumnya tidak bertambah sesuai dengan pertambahan pembangunan. Hasilnya, air meluap. Manusia Jakarta telah menjadi korban kemajuan - dan salah perencanaan. Drainage dan Pembangunan Kota Bagi orang yang pernah mengamati kota metropolitan di luar negeri, bertemu dengan kota Jakarta pasti terheran-heran. Lihat saja kota modern Kebayoran, Tebet, dan Kawasan Industri Pulogadung dan kota Universitas Rawamangun. Sistem drainage dan salurannya kacau-balau atau tanpa ada perencanaan yang integral. Pemilik rumah di Kebayoran Baru atau Tebet tidak tahu pasti ke mana buangan airnya mengalir. Pokoknya mengalir ke sebelah atau ke luar pekarangan -- atau berputar-putar di sekitar pekarangan. Apakah para insinyur dan perencana kota Jakarta serta para arsitek kita tidak pernah menghitung daya tampung selokan dan tinggi rendah permukaan air serta ke mana air akan mengalir? Ataukah para insinyur di Jakarta kebanyakan lahir di pegunungan atau di kota kecil hingga tidak peka akan masalah kota besar? Atau mungkin juga mereka mengusulkan sistem drainage dan saluran yang konsekwen, tetapi mereka dianggap bodoh oleh para pembangun (bouwheer) karena biayanya mahal? Atau mereka tutup mata saja? Memang, seandainya sistem drainage dan saluran diterapkan secara benar, maka biaya setiap pembangunan rumah dan kantor serta pabrik di Jakarta pasti bertambah minim 250 dari biaya rata-rata sekarang. Tetapi kenapa Dinas Tatakota tidak memaksakan prosedur sistem drainage dan saluran bagi pembangunan proyek besar dan rumah-rumah luks? Memang, akibat banjir terutama dirasakan oleh rakyat kecil, karena daerah mereka biasanya agak rendah dan bangunannya mepet dengan tanah. Tetapi bukankah air yang menggenangi rumah mereka adalah akumulasi dari atap dan semen orang kaya atau bangunan raksasa? Kita menjadi heran: "secara matematik" beberapa daerah Jakarta seharusnya tidak banjir - mengingat letak daerah tersebut beberapa meter atau cm lebih tinggi dari permukaan laut. Peta banjir di harian Kompas 20 Januari 1977, memperlihatkan daerah Jakarta Kota tidak begitu luas banjirnya. Penulis jadi teringat kota Amsterdam dan Rotterdam yang rata-rata terletak di bawah permukaan laut tetapi jarang sekali ketimpa banjir. Perencana Batavia dahulu, rupanya di samping perhitungan dari segi pertahanan, pembangunan saluran dan kanal yang melingkari kota Batavia, juga mempunyai perhitungan untuk mengurangi bahaya banjir. Mungkin tidak ada jeleknya apabila para perencana Jakarta, dan terutama Dinas Tata kota-nya mengkaji hal-hal di atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus