Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia tidak ingin aturan itu dipakai suatu kelompok untuk menganiaya kelompok lain dan menjadi pasal karet. “Yang perlu dibangun justru kehidupan yang toleran dengan agama lain,” katanya, Rabu pekan lalu.
Dalam draf KUHP yang sedang dibahas panitia kerja DPR dan pemerintah, pasal penodaan agama justru diperluas. Di KUHP lama ada satu pasal, sementara dalam Rancangan KUHP tersebut ada tujuh pasal.
Pasal 156a di KUHP lama telah memakan banyak korban. Di antaranya bekas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang divonis dua tahun penjara pada 2017, dan Meiliana, perempuan asal Tanjungbalai, Sumatera Utara. Meiliana divonis 18 bulan bui karena mengeluhkan volume suara azan di lingkungannya.
Adapun dalam Rancangan KUHP, jerat terhadap penghina agama diatur lewat pasal 326, 328, 329, 330, dan 331. Yang dimaksud dengan tindak pidana terhadap agama di antaranya menghina agama di muka umum, menyiarkan, menempelkan tulisan, menghasut, mengganggu serta merintangi pertemuan keagamaan, dan merusak tempat ibadah.
Ancaman hukumannya pun bervariasi, dari dua tahun penjara bagi pengganggu pertemuan keagamaan, empat tahun bui untuk penghasut yang ingin meniadakan agama sah di Indonesia, hingga lima tahun buat perusak tempat ibadah. “Ini harus dikaji betul supaya tidak menimbulkan diskriminasi,” ujar Zuhairi.
Menurut Zuhairi, kajian tersebut sangat dibutuhkan karena banyak sekali tafsir mengenai penodaan agama. Dalam Al-Quran, Zuhairi menjelaskan, mereka yang menodai agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberikan santunan kepada fakir miskin. Namun, dia menambahkan, aturan mengenai penodaan agama sebetulnya sudah tidak relevan lagi.
Ia mengatakan Pasal 156a KUHP mengadopsi Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama. Ketika itu, ucap Zuhairi, Presiden Sukarno mengeluarkan aturan tersebut untuk menghindari konflik sosial keagamaan di Indonesia karena ada peristiwa Gerakan 30 September 1965. “Saat ini yang dibutuhkan adalah aturan yang kuat untuk mengatur hubungan antaragama,” ucapnya.
Zuhairi juga menyampaikan hal tersebut ketika menjadi saksi ahli dalam uji materi Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 di Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan kelompok Ahmadiyah. Gugatan diajukan untuk meminta kepastian hak beribadah penganut Ahmadiyah. Sayangnya, Mahkamah menolak permohonan tersebut.
Karena itu, jika kelak terpilih, ia akan meminta fraksinya di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, meninjau ulang pasal tersebut. Zuhairi juga berencana mengusulkan Rancangan Undang-Undang Beribadah, Berkeyakinan, dan Toleransi untuk menegakkan tenggang rasa. Aturan ini diperlukan karena belakangan intoleransi kian marak.
Ketua PDIP Hamka Haq menuturkan, sampai saat ini fraksinya mendukung aturan tentang penodaan agama. Menurut anggota DPR ini, pasal tersebut diperlukan untuk memelihara sikap saling menghargai antar-pemeluk agama. “Saat ini saja sudah liar. Apalagi nanti kalau tidak ada aturannya,” katanya. Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi Hukum DPR, Ichsan Soelistio, pun mengatakan pembahasan Rancangan KUHP di parlemen terus berlanjut.
Zuhairi bin Misrawi
Tempat dan tanggal lahir:
Sumenep, 5 Februari 1977
Pendidikan:
• Sarjana Departemen Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Mesir (1999)
• Pascasarjana Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pekerjaan:
• Direktur Moderate Muslim Society
• Peneliti di Middle East Institute
• Ketua Baitul Muslimin Indonesia
Partai:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Daerah Pemilihan:
DKI Jakarta II
Nomor Urut: 2
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo