Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROSES pencalonan anggota legislatif akan menentukan baik-buruknya wajah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Cara-cara tertutup dan transaksional pasti mempengaruhi perilaku politik anggota Dewan ke depan. Tahun ini, ketertutupan itu masih terjadi sehingga tidak ada ruang bagi publik untuk berpartisipasi.
Partai politik tidak mempertimbangkan faktor representasi. Para elite partai menggeser cukup banyak daerah pemilihan inkumben dengan alasan mempertahankan perolehan kursi. Selain itu, partai cenderung memilih calon legislatornya dengan kriteria loyalitas dan pengaruh faksi.
Sejumlah partai secara tidak tertulis, misalnya, memberikan kuota khusus kepada ketua umum untuk mencalonkan orang dekatnya di daerah pemilihan tertentu—meskipun ada juga partai yang membuat panitia pemilihan yang berasal dari kalangan profesional dari luar partai dan para ahli dalam proses seleksi calon anggota legislatif.
Selain loyalitas dan klik politik, kekuatan pendanaan menjadi penting bagi partai ketika memilih calon legislatornya. Umumnya, patron membiayai pendanaan sejumlah calon potensial, dengan tujuan mempertahankan jabatan dan pengaruhnya di lingkungan internal partai. Dalam model ini, loyalitas kepada partai menempati nomor sekian dalam kriteria, karena loyalitas terarah kepada patron. Loyalitas kian lemah jika pendanaan calon anggota legislatif berasal dari bohir politik.
Dalam pemilu kali ini, satu hal yang fenomenal adalah banyaknya migrasi calon legislator inkumben (legislative party switching). Pergeseran terjadi karena calon itu pindah partai atau pindah daerah pemilihan. Saya melihat salah satu faktor yang menentukan switching tersebut adalah kebutuhan untuk survival dan eksperimen partai politik akibat perubahan regulasi pemilihan, seperti perubahan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menjadi empat persen dan perubahan metode konversi suara menjadi kursi, kuota Hare menjadi metode Sainte-Lague, serta adanya keserentakan pemilu anggota legislatif dan presiden. Switching juga terjadi karena faktor tingginya kompetisi politik antarpartai.
Bagaimana polanya? Faktor apakah yang mempengaruhinya dan apa implikasinya bagi politik kita?
Saya mengembangkan dataset pencalonan anggota legislatif berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum periode 2019-2024 untuk melihat pola pergeseran dari pemilu sebelumnya. Dari dataset itu, saya menyimpulkan beberapa hal.
Pertama, strategi pencalonan tidak lagi mempertimbangkan representasi politik atau pengalaman calon di daerah pemilihannya. Hal itu tampak dari banyaknya calon yang pindah dan dicalonkan oleh partai yang berbeda pada pemilu sebelumnya. Pemilihan yang serentak juga menjadi faktor yang mempengaruhi strategi pencalonan. Partai yang tidak mendapat efek ekor jas tergiur menarik kader partai lain.
Kedua, konflik internal membuat partai kehilangan calon anggota legislatif potensial peraup suara. Partai Hanura, misalnya, kehilangan peraup suara dari gerbong Sarifuddin Sudding dan kawan-kawan yang bermigrasi ke NasDem. Begitu juga Partai Keadilan Sejahtera. Calon inkumben PKS tidak maju lagi karena loyalis Anis Matta yang terdepak dari partai. Di Partai Persatuan Pembangunan, pergeseran terjadi akibat friksi yang keras antara Romahurmuziy dan pentolan Suryadharma Ali plus Djan Faridz. Juga gerbong Setya Novanto di Partai Golkar.
Sekitar 50 calon inkumben tidak maju lagi. Porsi terbanyak dari Hanura: 9 orang (43,8 persen) dari 16 kursi DPR. Lalu PPP (15,4 persen), PKS (15 persen), Golkar (11 persen), PAN (10,2 persen), Demokrat (8,2 persen), NasDem (5,7 persen), Gerindra (5,5 persen), PKB (4,3 persen), dan PDI Perjuangan (2,8 persen). Data ini menunjukkan potensi konflik politik internal relatif rendah terjadi di PDIP, PKB, dan Gerindra.
Ketiga, status inkumben mempengaruhi nomor urut. Tabulasi silang antara status inkumben dan nomor urut menunjukkan sebagian besar calon lama mendapat nomor urut sama seperti pada pemilu sebelumnya (nomor 1), yaitu 58,5 persen. Sebagian naik (23,7 persen) dan sebagian lagi turun (17,8 persen).
Degradasi terjadi karena munculnya calon baru yang punya relasi kuat dengan ketua umum atau punya jabatan strategis di struktur partai. Di beberapa partai juga ditemukan degradasi terjadi karena pertarungan dengan sesama inkumben atau adanya mantan kepala daerah yang maju dan bisa juga tidak dianggap dari faksi politik yang tengah berkuasa di lingkup internal partai. Akibat lain: tak ada karier politik. Idealnya, anggota DPR daerah yang berkarier cukup lama mendapat prioritas menjadi anggota DPR pusat.
Keempat, partai baru menghadapi dilema: memperkuat kaderisasi dan rekrutmen menjelang pemilu atau menyiapkan infrastruktur partai. Kaderisasi menjadi tidak maksimal karena pada saat yang sama partai berfokus memenuhi syarat verifikasi sebagai badan hukum dan peserta pemilu.
Switching pada Pemilu 2019 terjadi umumnya karena partai pecah akibat konflik internal, terutama perebutan posisi ketua umum, seperti di Hanura dan PPP. Urutannya: Hanura (8), PPP (5), Gerindra (5), Demokrat (4), PAN (4), PKB (2), NasDem, PKS, PDIP, dan Golkar (masing-masing 1). Sementara itu, dari 32 calon legislator yang pindah, 21 di antaranya berlabuh ke NasDem, lalu PAN (3), PKB (3), Golkar (2) PKS (1), Gerindra (1), dan Berkarya (1).
Pola switching
Secara umum switching terjadi dengan “membajak” calon jadi yang punya nomor urut 1 pada pemilu sebelumnya. Pola migrasi ini banyak dilakukan Partai NasDem. Hal ini mengindikasikan NasDem punya head hunter yang bagus. Penelitian Aldrich & Bianco (1992) menunjukkan pergeseran calon legislatif dipengaruhi keinginan inkumben memaksimalkan dukungan suara dalam pemilihan (re-election).
Para calon yang bermigrasi tersebut umumnya kembali maju di daerah pemilihan yang sama dengan pemilu sebelumnya. Calon yang pindah partai itu misalnya Rita Zahara, yang pindah dari Gerindra ke NasDem dan tetap maju di daerah pemilihan Riau I; Salim Mengga, Sulawesi Barat (dari Demokrat ke NasDem); dan Lucky Hakim, Jawa Barat VI (dari PAN ke NasDem).
Efek pergeseran
Migrasi calon anggota legislatif memunculkan kompetisi di lingkungan internal partai, terutama bila di daerah pemilihan yang sama ada calon inkumben yang ikut berlaga. Kompetisi meningkat bila calon legislator tersebut maju di daerah pemilihan dengan tingkat fragmentasi politik yang sangat tinggi, yakni perolehan kursi menyebar ke banyak partai.
Besarnya switching juga mempengaruhi tingkat representasi politik (Herron, 2002). Switching daerah pemilihan menyebabkan pemilih tidak bisa mengevaluasi kinerja dan pencapaian calon inkumben—bila ia mencalonkan diri lagi di daerah yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Dalam kasus perubahan daerah pemilihan, motivasi partai adalah mempertahankan kursi sebelumnya dengan menggeser inkumben ke daerah pemilihan lain yang bukan daerah pemilihan aslinya. Motif mempertahankan kursi tersebut muncul karena calon inkumben tidak maju atau tidak punya kursi di pemilu sebelumnya. Motif lain adalah memperbesar kursi atau mengganggu basis politik partai lain. Misalnya yang terjadi di Jawa Timur VII: PDIP menggeser dua calon inkumben ke Jawa Timur VII, yaitu Budiman Sudjatmiko (sebelumnya Jawa Tengah VIII) dan Nursuhud (sebelumnya Jawa Timur III).
Efek sistem
Rendahnya representasi politik dalam pemilihan calon anggota legislatif, saya kira, juga disumbang sistem pemilu kita. Menurut Siavelis dan Morgenstern (2008), sistem proporsional terbuka dengan daerah pemilihan yang luas, yang membuat alokasi kursi per daerah pemilihan (district magnitude) menjadi besar, membuat loyalitas anggota DPR kepada partai dan konstituen menjadi rendah.
Saat kampanye, sistem proporsional dengan daftar terbuka mendorong calon anggota legislatif memprioritaskan daerah dengan jumlah pemilih banyak atau mengutamakan daerah asal atau basis politiknya. Akibatnya, pemilih tidak terkoneksi dengan calon anggota legislatif tersebut.
Kalimantan Tengah lebih luas daripada Pulau Jawa, tapi hanya memiliki satu daerah pemilihan. Akibatnya, calon legislator akan memfokuskan kampanyenya di wilayah dengan populasi yang besar saja. Populasi kecil tak terjamah kampanyenya. Sebab, menjamah semua pelosok akan menambah biaya kampanye.
Solusinya adalah memperbanyak daerah pemilihan. Alokasi kursi per daerah pemilihan bisa disusun berdasarkan asas proporsionalitas jumlah pemilih. Cara lain memecah daerah pemilihan menjadi lebih kecil, tentu dengan menurunkan alokasi kursinya, sehingga calon anggota legislatif benar-benar lebih membumi, tak semata mengandalkan uang dan patronasi politik.
Dengan mengubah desain daerah pemilihan dan alokasi kursi, legislator terpilih akan menjadi representasi masyarakat. Penentuannya bisa diserahkan kepada tim yang independen agar representasi politik bisa lebih terarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo