Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melego Meja, Mengharap 'Maitua'

Dilanda krisis keuangan hebat, sejumlah LBH daerah kembang-kempis. Ada yang menjual aset kantor, ada pula karyawan yang menyambung hidup dengan berjualan hasil kebun.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Melego Meja, Mengharap 'Maitua'
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

LBH Palembang Di halaman kantor LBH Palembang di Jalan Sumpah Pemuda 6, berserakan sampah. Rumput liar tumbuh setinggi lutut dan debu beterbangan di mana-mana. Sudah beberapa bulan terakhir kantor itu tidak lagi mampu menggaji seorang pembantu. Sebuah Vespa masuk halaman dan berhenti di depan pintu. "Sialan! Mogok terus. Tekor nih," kata Anggiat M. Tiopan, Direktur Internal LBH Palembang, sang pengendara Vespa. Anggiat mengeluh karena motor tuanya itu terus merongrong koceknya. Padahal baru tiga bulan dia memakai motor itu. Rencananya, ia memakai motor untuk berhemat. Tapi kantongnya malah terkuras gara-gara motornya sering masuk bengkel. Anggiat, yang sudah empat tahun bekerja sebagai direktur di LBH Palembang, dua bulan terakhir tidak lagi menerima gaji. Begitu juga kawan-kawannya. Jurus mengencangkan ikat pinggang betul-betul dilakukan dalam situasi krisis keuangan ini. Sebetulnya, "Kami tidak terima gaji sejak Lebaran tahun lalu. Tapi bulan-bulan berikutnya dikasih ala kadarnya dan dua bulan terakhir semua pengurus tidak lagi dibayar," ujarnya. Gaji ala kadarnya itu jauh dari layak. Jumlahnya berkisar Rp 100 ribu-Rp 200 ribu. Padahal sebelumnya LBH mampu memberi gaji Rp 1 juta untuk direktur, Rp 700 ribu-Rp 900 ribu untuk staf dan kepala divisi, dan Rp 300 ribu untuk sukarelawan. Akibat kondisi yang buruk itu, enam orang staf mengundurkan diri. Sekarang, menurut Anggiat, pengurus LBH lebih banyak aktif di luar kantor. Selain membuka kantor pengacara sendiri, sebagian lainnya aktif di Panitia Pengawas Pemilu dan mengadu untung dengan mendaftar menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang lain berdagang kecil-kecilan.

LBH Yogyakarta Sejak Januari 2003, staf LBH Yogyakarta hanya menerima gaji separuh dari biasanya. Ngatwi, staf bagian administrasi, misalnya, kini hanya menerima Rp 250 ribu dari biasanya Rp 500 ribu. Uang makan pun kini dipotong. Ngatwi sebenarnya lebih suka dikenai PHK ketimbang nasibnya terkatung-katung. "Tapi kantor saya kelihatannya tidak punya duit untuk membayar pesangon," kata pegawai yang telah 23 tahun bekerja di LBH Yogyakarta ini. Nasib Ngatwi sebenarnya masih lebih baik dibanding staf LBH lainnya. Di kantor itu sekarang ada 5 staf administrasi, 3 staf kepengacaraan, 4 orang tenaga sukarela, dan seorang direktur yang tidak lagi menerima digaji. "Memang enggak ada duit untuk menggaji. Mau apa lagi," kata Budi Hartono, Kepala Bagian Operasional LBH Yogya. Menurut Budi, sejak Januari lalu dana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta distop total. Seluruh biaya operasional, termasuk gaji karyawan, tagihan telepon dan listrik, harus ditanggung sendiri. Bahkan klien, yang sebelumnya hanya perlu membayar biaya meterai kurang dari Rp 10 ribu, kini harus membayar uang pendaftaran Rp 50 ribu. "Penarikan biaya pendaftaran ini memberi beban psikologis yang tidak ringan bagi kami," kata Budi Hartono kepada wartawan TEMPO, Heru C.N. Budi dan kawan-kawan bukan tak berusaha menambah kocek lembaga. Lebih dari sepuluh donatur luar negeri sudah dikirimi proposal. Namun, sampai saat ini belum ada yang memberikan jawaban.

LBH Makassar Daeng Untung, 50 tahun, duduk termenung di kursi besi reot berwarna hitam di dekat pintu masuk kantor LBH Makassar. Sejak Februari 2003, gaji karyawan LBH Makassar ini dipotong 50 persen. Saban bulan ia cuma menerima Rp 400 ribu—jumlah yang jauh dari cukup untuk menanggung hidup istri dan dua anaknya yang masih bersekolah. Meski tak punya alternatif pekerjaan, Daeng mengajukan pengunduran diri sejak Juni lalu. Tapi belum ada jawaban pasti dari pengelola kantor. Setiap hari kini ia mengayuh sepeda dari rumahnya di Kebupaten Gowa ke kantornya untuk menanti kepastian uang pesangon. "Saya bingung mesti kerja apa lagi," katanya. Sejak pasokan uang dari Jakarta macet, lima dari enam karyawan LBH Ujungpandang langsung mengajukan pengunduran diri. Sebagian karyawan LBH lainnya bahkan telah dipotong gajinya sejak November tahun lalu. Sejak Maret 2003, LBH Makassar hanya menerima dana operasional dari YLBHI. Jumlahnya hanya Rp 1,5 juta per bulan. Uang ini tak cukup bahkan untuk membayar tagihan telepon yang besarnya Rp 2 juta per bulan. Selain telepon, LBH Makassar harus pula membayar listrik rata-rata sekitar Rp 600 ribu, tagihan PDAM sekitar Rp 100 ribu, dan langganan Internet Rp 100 ribu per bulan. Untuk menutup kekurangan, pengurus kantor menggunakan dana abadi yang diperoleh dari sisa kegiatan. "Saldo terakhir yang didepositokan tinggal Rp 15 juta. Dana lainnya masih ada di tabungan di bank sekitar Rp 10 juta. Hanya itu uang kami sekarang," kata Bakhtiar, Kepala Bidang Internal dan Koordinator Litigasi LBH Makassar. Jika tak ada pasokan dana tambahan, dengan uang yang tersisa, praktis umur LBH Makassar tinggal dua bulan lagi.

LBH Papua Krisis keuangan di LBH provinsi cenderawasih ini berawal pada 2001. Seretnya dana donatur ke YLBHI Jakarta membuat pasokan dana ke ujung timur Indonesia ini juga kempis. "Kami langsung melakukan penghematan luar biasa dan membatasi diri dalam menggunakan fasilitas kantor," kata Direktur LBH Papua, Paskalis Letsoin. Saat ini ketiga kantor cabang LBH Papua berutang sekitar Rp 70 juta—untuk membayar tunggakan rekening listrik, air, dan sewa kantor. Yang mengenaskan, untuk menambah "pemasukan", pengurus kantor bahkan harus melego aset mereka. Sebuah meja rapat, misalnya, mereka jual Rp 1,4 juta. Uang hasil penjualan dipakai membayar tunggakan tagihan listrik, telepon, dan air, serta membeli alat tulis kantor. Sisa uang di deposito kini tinggal Rp 1.050.000. Biaya pendaftaran perkara kini dinaikkan dari Rp 50 ribu menjadi Rp 100 ribu. YLBHI Jakarta memang masih mengirimkan dana Rp 1,5 juta per bulan untuk biaya operasional. Tapi uang itu tak banyak artinya. Kebutuhan kantor tak bisa ditunda, perut karyawan tak bisa dibiarkan kosong. Mathias Matuan, salah seorang staf LBH Papua, kini mencari tambahan penghasilan dengan berjualan hasil kebun. "Sekarang saya benar-benar hidup dari uang maitua (istri)," kata Mathias.

LBH Surabaya LBH di Surabaya mungkin yang paling "makmur". Sebanyak 19 karyawan kantor ini masih mendapat gaji utuh. Mereka juga memperoleh honor lembur dan tambahan fulus jika menjadi panitia suatu kegiatan di kantor. Menempati kantor seluas 150 meter persegi, pengelola LBH Surabaya bahkan masih bisa melanjutkan pembangunan ruang rapat di lantai dua. Ketika dua tahun lalu YLBHI "mencerai" LBH Surabaya, pengurus lembaga ini langsung lunglai. Sejumlah karyawan dipecat dan penghematan langsung diberlakukan. Endang Mawarti, seorang karyawan, misalnya, saat itu mengaku diberhentikan dengan pesangon Rp 18 juta. Belakangan LBH Surabaya bangkit lagi. Endang kembali dipekerjakan, tapi dengan masa kerja dihitung dari nol. "Saya ingin bertahan," katanya. Kelebihan LBH Surabaya dibandingkan dengan LBH daerah lain adalah pada pengelolanya. Mereka umumnya memiliki relasi yang baik dengan lembaga donor di dalam ataupun luar negeri. Jumlah bantuan itu memang tak besar, tapi cukup untuk membuat kantor tetap berjalan. Saat ini, kata Kepala LBH Surabaya, Deddy Pirhambudi, kantornya sudah mendapat komitmen bantuan dari Toyota Foundation. Lewat berbagai kegiatan yang didanai lembaga asing itulah LBH menyisihkan uang dana operasional dan gaji karyawan. Duit dari YLBHI praktis tak cukup. Saban bulan mereka dikirimi Rp 1,5 juta. Padahal dana operasional yang dibutuhkan Rp 120 juta per bulan. Ini belum pengeluaran untuk menggaji staf dan karyawan, yang per bulannya Rp 19 juta. I G.G. Maha Adi, Sunudyantoro (Surabaya), Arif A. (Palembang), Levi Cunding (Jayapura), Muannas (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus