Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu siang di ambang Desember 1971. Kemeriahan membuncah di halaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jalan Ketapang, Jakarta. Siang itu, lembaga swadaya masyarakat yang baru berusia setahun tersebut menggelar kenduri: mereka menerima lima skuter Vespa bantuan Golkar. Bantuan itu disampaikan Ali Moertopo, Menteri Penerangan dan jenderal kepercayaan Presiden Soeharto kala itu.
Dalam pidatonya, Ketua LBH Adnan Buyung Nasution menyatakan, setiap bantuan yang diberikan kepada LBH bersifat tak mengikat. Maksudnya, jika suatu ketika ada rakyat kecil yang beperkara dengan si pemberi dana, LBH tak akan menjadikan bantuan itu sebagai bahan pertimbangan perkara. "Sudah waktunya kini bagi Golkar, yang menang mutlak dalam pemilihan umum, untuk melaksanakan janjinya berbuat bagi kepentingan rakyat banyak," Buyung menambahkan.
Bang Buyung—begitu panggilan akrab Adnan Buyung—kemudian mencontohkan hubungan LBH dengan Gubernur Ali Sadikin. Kendati sang Gubernur orang yang paling banyak memberikan bantuan bagi kehidupan LBH, pihak LBH tak segan-segan membela rakyat yang hak-haknya dirugikan Pemda DKI. Ketika membela warga Lubang Buaya, Jakarta Timur, yang tergusur proyek Taman Mini Indonesia Indah, LBH merangsek dan Gubernur malah memberikan uang ganti rugi yang memadai kepada penduduk.
Hal yang sama terjadi lagi pada 1971, ketika LBH membantu warga Simprug, Jakarta Selatan, yang tanahnya digusur untuk dijadikan perumahan mewah oleh Pemda DKI. LBH membela warga untuk mendapat lahan pengganti dan ganti rugi yang layak. Pemda DKI lalu mengabulkan tuntutan itu.
Di awal berdirinya, setiap bulan LBH mendapat dana rutin Rp 350 ribu. Sebelumnya, bantuan itu hanya Rp 300 ribu. Ketika kasus Taman Mini muncul, Pemda DKI terkesan dengan perjuangan LBH dan bantuan malah dinaikkan.
Menurut Ali Sadikin, adalah Adnan Buyung Nasution yang menghadap dirinya ketika LBH didirikan. "Buyung meminta saya agar mengukuhkan LBH," kata Ali Sadikin. Padahal, secara struktural, seharusnya yang mengukuhkan LBH adalah Menteri Kehakiman, bukan Pemda DKI. Tapi Buyung tahu kepada siapa dia harus menghadap: Buyung percaya Ali Sadikin bisa menerima prinsip-prisinsip independensi lembaga advokasi yang akan diresmikannya.
Ali Sadikin sadar LBH yang dikukuhkannya bisa menjadi lawannya di pengadilan. "Jadi, pendirian LBH itu pada akhirnya untuk menuntut saya sebagai Gubernur DKI," ujar Bang Ali sambil terkekeh.
Tapi Ali Sadikin bergeming. Kepada TEMPO, Ali mengaku sadar posisinya ketika itu tak mudah. Sebagai gubernur yang bertugas membangun Jakarta, ia terkadang harus bertindak keras, misalnya menggusur hunian-hunian liar. "Tapi tindakan itu bukan untuk kepentingan pribadi saya. Saya ikhlas rakyat menuntut saya jika saya bertindak tidak adil," ujarnya.
Sayang, ketika Bang Ali tak lagi menjadi gubernur, bantuan Pemda DKI kepada LBH macet. Sampai 1986, Pemda memang masih memberikan bantuan. Tapi setelah itu, terutama karena LBH getol membela kasus-kasus subversi, bantuan itu disetop sama sekali. Sekarang ada kabar bahwa Gubernur Sutiyoso akan mengucurkan lagi dana Pemda DKI kepada LBH. "Tapi itu baru pembicaraan yang belum tentu akan direalisasi," kata Riswan Lapagu, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Di zaman sekarang, memang tak mudah menemukan Ali Sadikin.
Nurdin Kalim, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo