Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Garudeya dari Candi Kidal

Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003 berlangsung di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sebuah pesta tari, teater, dan folklor.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Candi mungil itu bernama Kidal. Ia mengingatkan kita akan sajak Subagio Sastrowardoyo: "Ketapang yang bercumbuan dengan musim menjatuhkan daunnya di halaman candi.... Aku ingin jadi ketapang yang tumbuh di muka gerbang... berukiran huruf lam... yang dijaga orang kidal." Dari Malang, Jawa Timur, untuk mencapainya Anda harus berkendaraan 30 kilometer lagi menuju Kecamatan Tumpang.

Candi itu diperkirakan didirikan pada 1248. Para arkeolog menganggap candi itu tempat disemayamkannya abu jenazah Anusapati, putra tiri Ken Arok. Di dindingnya terpahat relief Garudeya. Selama ini, orang mengenal kisah Garudeya identik dengan Candi Sukuh. Sebab, candi di kaki Gunung Lawu itu memiliki obelisk berelief Garudeya. Padahal sesungguhnya Garudeya di Tumpang lebih tua karena Candi Sukuh baru dibangun pada abad ke-15.

Di Tumpang yang dingin itu, terdapat pedepokan seni topeng Mangun Dharma, pimpinan Sholeh Adi Pramono. Ia sering membawa penarinya ke pelataran candi yang rimbun itu untuk latihan atau olah batin. Sholeh percaya kepada pandangan Claire Holt, penulis buku Art in Indonesia: Continuities and Change (1962). Ia yakin arsitektur dan style Candi Kidal termasuk yang pertama kali melepaskan diri dari bayangan candi-candi Syailendra di Jawa Tengah yang berbau India. Lebih dari itu, ia menganggap Candi Kidal bagian dari atmosfer spiritualitas Kerajaan Kanjuruhan, yang berdiri di Malang pada abad ke-5 (dengan bukti Candi Badut), yang jauh lebih tua dari Borobudur dan Prambanan.

Garudeya berkisah tentang putra Begawan Kasyapa dan Dewi Winata yang berujud garuda mencari tirtakamandalu (air suci) untuk membebaskan ibunya yang diperbudak para naga. Naga ini anak dari Dewa Kasyapa dengan Dewi Kadru. Mereka kalah bertaruh menebak warna ekor kuda uchaiwasra, lalu menawan Dewi Winata. Garudeya bertempur melawan para naga dan kala. Dan itulah yang disajikan rombongan Jawa Timur (yang diwakili pedepokan Mangun Dharma) di STSI Padang Panjang, tengah bulan ini. Panggung ramai dengan adegan barong dengan mulut mencaplok (disebut barong caplokan) mau menyantap garuda.

Di tengah panggung, terpancang kayu seperti sebuah tiang salib. Di situ Dewi Winata lemah lunglai, sementara kedua tangannya terikat. Ia mengenakan topeng putih khas Malang. Adegan ini puitis. Winata yang sendiri, tersalib, dengan topeng sendu di tengah panggung yang kosong, sudah terasa sebagai komposisi yang kuat. Semua penari Sholeh mengenakan topeng. Topeng Malang disebut-sebut lebih tua dibandingkan dengan topeng Yogya, Solo, atau Cirebon. Sebab, daerah-daerah di sekitar Malang adalah tempat awal pelarian dari Majapahit.

Elemen tari rakyat jaran monelan juga dipergunakan Sholeh. Ini adalah seni tari yang hidup di dusun-dusun di Madura, Lumajang, Situbondo, dan Tengger. Sholeh sendiri mengambil monelan gaya Desa Jabong, Tengger, Gunung Bromo, gaya dengan tradisi kuda-kudaan—yang punggungnya bolong sehingga bisa dimasuki penari. Kuda dihiasi kertas berwarna emas, seperti warna monel putih keperakan. Lalu penari mengenakan kacamata hitam. "Masuknya penari ke punggung, lambang pertemuan lingga dan yoni," kata Sholeh. Pertunjukan ini juga menarik lantaran sinden yang mengiringi adegan adalah Karen Elizabeth Schrieber, antropolog kelahiran Wisconsin, yang tak lain dari istri Sholeh. Yang mengharukan, Sonya, 9 tahun, putri mereka, ikut menabuh gamelan, dan adiknya, Kyan Daru, 5 tahun, tertidur pulas di sela-sela instrumen para pemusik sampai akhir pertunjukan.

Garapan berjudul Ontran-Ontran Tirta Kamandalu tak mengherankan menjadi salah satu pemenang Festival Nasional Seni Pertunjukan Tahun 2003, yang diikuti 15 provinsi. Festival yang berlangsung di gedung yang mengambil nama almarhum perempuan koreografer pelopor pembaruan tradisi Minang itu—Huriah Adam—selama tiga malam tak ubahnya menyajikan sebuah panorama tari, teater rakyat, dan folklor Nusantara. Dewan juri, yang terdiri atas Ben Pasaribu, Athur S. Nalam, Nungki Kusumastuti, Zulkifli, dan Bagindo Fahmi, memilih lima pemenang tanpa peringkat. Di samping Jawa Timur, ada tim Yogya, Papua, Bali, dan Aceh. Dan kita pun bisa menyaksikan, kesenian tradisional ternyata secara umum bergerak di antara unsur sakral dan humor.

Penonton dari luar Sumatera, misalnya, beruntung karena bisa menyaksikan berbagai teater tradisional Sumatera, antara lain dul muluk (Sumatera Selatan) dan makyong (Riau). Struktur pertunjukannya luwes, penuh kejenakaan, spontanitas, dan improvisasi aktor. Kita misalnya dapat melihat bagaimana cara mereka mengemas humor dibandingkan dengan lenong atau ludruk. Mursal Esten (almarhum) pernah melakukan penelitian cara Wisran Hadi mengadaptasi randai tradisional ke teater modern. Di Yogya kita kenal gaya tradisi sampakan Teater Gandrik yang berangkat dari dagelan Mataram. Pada dasarnya tradisi adalah bahan pergulatan kesenian kontemporer. Menonton pertunjukan randai tradisional malam itu yang sarat nasihat membuat mafhum mengapa dulu naskah Wisran, Cindua Mato, yang menggambarkan Bundo Kanduang, wanita agung dalam sejarah Minangkabau, berselingkuh, mendapat protes.

Kontingen Yogya, yang dikomandani murid senior pedepokan Bagong Kussudiardjo, Sutopo Tejo Baskoro, dan dramawan Bambang Paningron, menampilkan kisah wayang kakak-adik Sumantri-Sukrasana: si buruk muka Sukrasana ditelantarkan Sumantri meski telah menolong memindahkan Taman Sriwedari. Sutopo mengandalkan barisan penari bertopeng raksasa buruk. Cara berjalan, berkata, dan bertingkah Sukrasana kocak dan sesekali ia meloncat ke punggung Sumantri.

Pertunjukan itu mengambil struktur ganda. Di panggung juga ada wayang kulit. Ini mengingatkan kita pada pertunjukan Miroto, Kidung Kunthi, dengan dalang Yogya, Ki Seno Nugroho, membelakangi penonton menghadap kelir memainkan wayang. Para penari jadi diimajinasikan berada dalam space untuk dalang. Namun, apabila pernah melihat pertunjukan wayang listrik Cudamani Bali Dewa Putu Berata yang sangat kompleks mengeksplorasi bayangan, rasanya keduanya masih tertinggal jauh dalam mengolah wayang sebagai elemen pertunjukan modern.

Sebetulnya gagasan awal adalah seni pertunjukan yang sudah mulai punah. Dari Jambi tampil kesenian marcok. Di panggung ada lingkaran penuh pecahan kaca. Seorang tua, berkacamata, bertelanjang dada, masuk. Tubuhnya kurus. Tiba-tiba ia menusukkan keris, lalu berguling-guling di pecahan itu. Para penari perempuan menyusul ber-"dansa" ria di atas kaca, cukup menggiriskan. Marcok berasal dari kata malical atau memijak. Ini tradisi ratusan tahun masyarakat Desa Koto Tengah, Kerinci. Dan kita pun disadarkan bahwa tradisi pertunjukan magis seperti ini tak hanya dimiliki debus Banten. Setiap lokalitas memiliki tradisi trans. Kita ingat pangurekan di Bali, kita juga ingat para bissu, pandita waria, di Bugis, yang melakukan maggirik: menusuk-nusukkan badik ke tubuh saat kesurupan.

Indonesia kaya akan keberagaman mitologi dan folklor. Ahli mitologi seperti Claude Levi-Strauss atau Mircea Eliade selalu menyebut khazanah mitologi kita. Strauss, dalam buku Savage Mind, misalnya, sempat mengutip bagaimana masyarakat Dayak Kalimantan mampu membaca isyarat suara burung untuk menengarai pelbagai gejala di hutan. Data para antropolog untuk festival semacam ini akhirnya memang penting. Daerah tujuan pariwisata yang suka dikunjungi turis dari Padang, misalnya, adalah Kepulauan Mentawai. Pada 1970-an, rohaniwan asal Italia, Bruno Spina, pernah mendata mitos dan legenda suku Mentawai. Entah kini ritual berdasarkan mitologi tersebut masih hidup atau sudah punah.

Kadang sebuah mitologi di satu etnis memiliki kemiripan dengan etnis lain. Problem inses, misalnya, ada di Sangkuriang, tapi juga di La Galigo. Seperti dipentaskan tim Sulawesi Tengah, dulu, di masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah, bila terjadi gerhana bulan, serempak segera masyarakat memukul apa saja bunyi-bunyian. Ini mengingatkan kita pada warga Larantuka, Flores Timur. Bila memasuki masa duka penyaliban Kristus saat Paskah, orang lalu memukul apa saja, misalnya tiang listrik atau batu, kemudian hening sunyi, tak boleh membunyikan segala hal, bahkan lonceng gereja pun tak boleh berdentang.

Malam itu juga tim Kalimantan Timur menyuguhkan tari pedalaman hutan Kersik Luway, Dayak Kenyah-Benuaq. Ingat bahwa Deddy Luthan, koreografer yang suka Gandrung Banyuwangi itu, pernah ke Kersik Luway, bahkan sampai ke Long Pahangai, sebuah desa yang bila ditempuh dengan motor boat bisa dicapai lebih dari sehari. Lalu ia menciptakan tari Ketika Anggrek Hitam Berbunga. Kersik Luway adalah daerah langka di dunia, area hutan anggrek hitam. Dulu luasnya 400 hektare, tapi akibat kebakaran hutan tingggal 17 hektare. Sayangnya, "pertunjukan asli Kalimantan Timur" ini malah seperti rata-rata penampil lain: miskin visualisasi, tak banyak sentuhan koreografinya, dan hanya kelas tontonan turis lokal di Taman Mini Indonesia Indah.

Sebetulnya, di samping tari, teater rakyat, dan folklor, ada pesta musik. Semua penampil mengunakan pengiring musik sendiri. Berbagai macam gamelan, berbagai instrumen kawasan bekas kerajaan Melayu—misalnya akordeon, rebana, tifa, dan suling—digunakan. Salah satu kekuatan instrumen musik Timur adalah kekayaan warna suara atau timbre yang alami. Misalnya penggunaan genggong—bambu tipis sepanjang pensil yang bila ditiup menimbulkan bunyi bergetar di udara seperti bunyi pegas. Indonesia masih memiliki khazanah instrumen dan bunyi "aneh-aneh" seperti ini. Yang kita butuhkan adalah keuletan para musisi untuk selalu mencari ke berbagai komunitas tradisi, nun di tempat terpelosok pun. Festival ini tahun lalu berlangsung di Banjarmasin dan tahun depan diadakan di kota lain. Satu yang dapat dipetik: tradisi akan konservatif apabila tak ada inovasi imajinasi.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus