Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Balada Lokomotif yang Terseok

Di usia 33 tahun, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) nyaris gulung tikar. Penyandang dana asing satu per satu mengundurkan diri, karyawan minta berhenti, dan cabang-cabang di daerah hampir tutup. Padahal lembaga ini pernah disebut sebagai lokomotifnya demokrasi Indonesia. Mereka, dalam berbagai kasus hukum, dengan gagah pernah melawan rezim Orde Baru. Bahkan, di tahun pertama berdirinya, badan ini pernah beperkara dengan Pemerintah DKI Jakarta, institusi yang justru melahirkan dan memberi dana kepada YLBHI. Kini, semuanya jadi nostalgia. Para pengurus YLBHI kini berjuang keras agar tak menjadi kerakap: lokomotif demokrasi yang hidup segan, mati tak mau.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


"Dari sini para pembela dan pemikir bantuan hukum akan berjuang dengan jujur ikhlas dan tanpa pamrih.... tidak saja membela perkara-perkara yang menyangkut kepentingan rakyat, tapi juga ikut merombak tatanan yang menyebabkan mereka terus-menerus terbelakang, miskin, dan terlupakan…."

Di dekat batu hitam tempat kalimat heroik itu ditatahkan, Sarmani terduduk. Suatu hari awal musim hujan 2003 di depan pintu utama kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Hati pria 50 tahun itu sedang galau. Beberapa bulan terakhir penjaga malam di kantor YLBHI itu tak lagi menerima utuh gaji bulanannya. Dari semestinya ia mendapat Rp 900 ribu, kini ia hanya mendapat separuhnya. "Gaji sebelum dipotong saja tak cukup untuk biaya hidup saya dan keluarga. Hidup sekarang terasa lebih berat," kata bapak dua anak yang telah bekerja di YLBHI selama 11 tahun itu. Karena tak ingin mati kelaparan, bekas nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, itu mencari akal. Ia lalu bekerja rangkap: siang hari menarik ojek, malamnya menjadi penjaga kantor YLBHI. Karena masih tak cukup, ia meminta putra sulungnya yang cuma tamat SMP menjadi penjaga malam di sebuah rumah tak jauh dari kantor YLBHI. "Kasihan anak saya. Dia terpaksa ikut menanggung beban keluarga," kata Sarmani lirih. Beban hidup Sarmani kian berat ketika ia kena musibah: anak keduanya yang baru duduk di bangku SMP ditabrak mobil. Kakinya patah. Menurut Sarmani, meski si penabrak membantu Rp 3 juta, ongkos perawatan anaknya ternyata mencapai Rp 8 juta. Ia lalu membobol celengannya hingga ludes. Sekarang, meski sudah sembuh, engsel kaki anaknya itu mesti disangga pen. Derita Sarmani hanyalah serpihan kecil dari derita YLBHI. Lembaga hukum yang Selasa pekan lalu berulang tahun ke-33 itu hampir bangkrut karena kekurangan dana. Satu per satu donatur asing yang selama ini menjalankan roda YLBHI mengundurkan diri. Sejak Oktober 2002, tiga donatur utama YLBHI—Nederlandse Organisatie voor Internationale Bijstand (NOVIB asal Belanda), Triple Eleven (Belgia), dan Sida (Swedia)—tak lagi bersedia membantu YLBHI. Berdasarkan laporan keuangan YLBHI periode 1 Januari hingga 30 Juni 2003, posisi saldo akhir kas hanya Rp 18 juta. Itu pun ada kasbon Rp 13 juta. Praktis uang yang berada di tangan hanya Rp 5 juta. Bantuan dana tetap dari Adnan Buyung Nasution dan Ali Sadikin, sebagai dewan penyantun YLBHI, masing-masing senilai sekitar Rp 25 juta per bulan, tak lagi cukup untuk membiayai organisasi. Dewan pengurus lalu mengambil kebijakan pahit: sebagian karyawan dirumahkan dan sebagian lainnya dipotong gajinya hingga 50 persen. Hingga akhir Juli lalu, total karyawan YLBHI dan 14 kantor cabang di daerah yang dinaunginya menciut dari 410 menjadi tinggal 172 orang. Bantuan kepada daerah yang sebelumnya digelontorkan Rp 600 juta untuk semua cabang kini hanya menetes Rp 1,5 juta per cabang. Gaji karyawan daerah sudah dipotong sejak November 2002. Akhir tahun 2002 mereka tak mendapat tunjangan Lebaran dan Natal (lihat Melego Meja, Mengharap Maitua). Kantor YLBHI di Jalan Diponegoro 74, Jakarta, yang dulu hingga larut malam selalu diramaikan oleh pelbagai kegiatan aktivis dan pengacara, kini sepi selepas magrib. Penggunaan telepon dibatasi dan penyejuk udara dipasangi pengatur waktu agar hanya beroperasi pada pukul 12.00-16.00. Masa-masa keemasan YLBHI—dulu bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH)—tampaknya usai sudah. Secara finansial, keuangan lembaga ini merosot tajam. Dulu saban tahun mereka bisa menarik dana donor hingga Rp 11 miliar. Dengan duit sebanyak itu, ruang gerak YLBHI bisa dikatakan tak terbatas. Mereka memberikan advokasi gratis kepada para pencari keadilan. Kasus penggusuran hingga penangkapan para aktivis Peristiwa Malari 1974, semua ditanganinya. Tak ayal, YLBHI dijuluki lokomotif demokrasi di Indonesia. Didirikan pada 28 Oktober 1970, LBH adalah gagasan yang dicetuskan sejumlah tokoh besar. Mula-mula ide mendirikan LBH muncul dalam Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) 1969. Setahun kemudian ide itu diwujudkan. Ikut membidani kelahiran LBH adalah sejumlah tokoh hukum seperti Harjono Tjitrosoebono, Yap Thiam Hien, Victor Sibarani, R.O. Tambunan, Amartiwi M. Saleh, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Mohamad Assegaf, Albert Hasibuan, Minang Warman, selain Buyung sendiri. Dalam perjalanannya LBH menempuh berbagai cobaan, terutama karena tekanan pemerintah Soeharto. Adnan Buyung pernah ditahan tanpa pengadilan pada peristiwa Malari 1974. Sejumlah kantor cabang LBH pernah ditutup karena dianggap rezim mengganggu "ketenteraman" politik saat itu. Ancaman dan intimidasi adalah menu sehari-hari pengurus LBH. "Mobil Bambang Widjojanto (Ketua YLBHI 1996-1997) pernah disiram air keras dan bannya dikempesin orang," kata Mansyur, bekas pegawai pusat dokumentasi LBH, mencontohkan. Tapi kini heroisme itu menyurut. Ruang gerak menyempit, dan yang terdengar di kantor LBH pusat dan daerah adalah gerutu para karyawan. Menurut Munarman, Ketua YLBHI saat ini, macetnya bantuan dana dari donatur disebabkan beberapa hal. Di antaranya adalah konflik internal YLBHI yang tak kunjung selesai dan adanya pendiri dan alumni YLBHI—seperti Adnan Buyung Nasution dan M. Assegaf—yang aktif menjadi pembela jenderal TNI dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur beberapa waktu lalu. "Faktor itu sering dipersoalkan para donor," kata Munarman mengeluh. Kasus pelanggaran hak asasi manusia pascajajak pendapat di Timor Timur 1999 memang membuat banyak negara asing melotot. Jika saja Indonesia tak secara proaktif menggelar pengadilan di dalam negeri, bukan tak mungkin sejumlah tersangka akan diseret ke mahkamah internasional. Tapi tudingan ini dibantah M. Assegaf. Baginya, mendampingi terdakwa pelanggar hak asasi manusia merupakan tuntutan profesi. "Para donatur menyetop bantuan buat YLBHI bukan karena alasan itu, melainkan adanya perubahan kebijakan. Sekarang mereka lebih suka membantu lembaga swadaya masyarakat yang spesifik kegiatannya, seperti LSM lingkungan," kata Assegaf. Soal konflik internal memang tak secara langsung mempengaruhi disetopnya dana donatur. Tapi ini memang penyakit laten dalam tubuh YLBHI. Setiap kali ada pergantian pengurus, selalu saja muncul ribut-ribut. Isunya macam-macam: mulai dari pertanggungjawaban pengelola lembaga yang dianggap tak transparan hingga intervensi dewan penyantun yang dinilai membelenggu demokrasi di tubuh badan itu. Ketika bantuan donatur semakin seret, ada juga tuduhan bahwa pengurus LBH yang lama "bergerilya" mempengaruhi donatur asing agar tak mengucurkan bantuan. Tudingan yang selalu saja sulit dipastikan kebenarannya. Meski remuk-redam, sesungguhnya citra YLBHI belum rusak total. Setidaknya bila diukur dari tetap banyaknya orang yang mempercayakan kasusnya ditangani pengacara LBH. Pada 15 tahun pertama usianya, LBH menangani 22.290 kasus atau sekitar 1.600 kasus tiap tahun. Tahun lalu, di seluruh Indonesia, YLBHI masih menangani 2.218 perkara—kebanyakan pelanggaran hak asasi manusia. Di Jakarta saja tahun ini LBH menangani setidaknya 500 kasus. "Kualitas" kasus juga tak buruk-buruk amat. Kasus berbobot politik tinggi masih bisa mereka pegang. Satu di antaranya adalah perkara penangkapan "aktivis muslim" yang ditangkap karena disebut-sebut terlibat aksi teror bom. Dalam kasus itu YLBHI menjadi bagian dari tim advokasi yang diberi nama KUAT (Korban Undang-Undang Anti-Terorisme). Koordinator tim dipegang langsung oleh Munarman. "Jadi, masih banyak masyarakat yang mengadukan masalahnya ke LBH," kata Munarman lagi. Yang memburuk tentu saja kesejahteraan pengacara dan karyawan. Para pengacara kini harus mencari pendapatan dengan juga bekerja di badan hukum lainnya di luar. Di daerah, beberapa pengacara membuka kantor advokat hukum sendiri selain juga coba-coba mencari kesempatan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah atau aktif di Panitia Pengawas Pemilu. Sebagian pengurus daerah ada pula yang berbisnis kecil-kecilan. Penggalangan dana untuk mengembalikan kiprah sang lokomotif demokrasi bukan tak pernah dilakukan. Pengurus YLBHI, misalnya, pernah menyebarkan surat permohonan donasi kepada para alumninya. Namun hasilnya minim: sebagian besar alumni LBH baru sekadar memberikan dukungan moral agar YLBHI tak bubar. Malam dana yang digelar bulan lalu di Hotel Indonesia juga tak sukses, bahkan panitia tekor. Bantuan Rp 500 juta yang pernah diberikan suami Presiden Megawati, Taufiq Kiemas, jadi polemik. Terakhir, YLBHI membuka rekening publik di Bank BNI cabang Menteng agar masyarakat mau secara sukarela berpartisipasi membantu lembaga itu. Tapi sampai saat ini hasilnya belum bisa diharapkan. "Karakter masyarakat kita belum memungkinkan. Mereka lebih berempati pada korban bencana alam atau korban kemanusiaan lainnya," kata Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI, Riswan Lapagu. Riswan mengaku bahwa menggali dana itu memang bukan perkara enteng. Selain tak mudah merayu donatur, soal "kebersihan" si penyumbang juga jadi sumberdebat yang tak berkesudahan. Dalam sejarahnya, LBH memang pernah mendapat kucuran dana dari Pemda DKI Jakarta pada era Gubernur Ali Sadikin. Tapi Ali Sadikin tak sedikit pun merasa jengah ketika LBH menuntut Pemda DKI dalam sejumlah kasus penggusuran rumah warga Jakarta (lihat Mencari Ali Sadikin, Sekali Lagi). Suatu ketika pernah muncul ide untuk kembali mengusahakan bantuan dari pos anggaran pendapatan dan belanja Pemda DKI Jakarta. "Tapi jika APBD berasal dari pinjaman luar negeri yang membebani rakyat, berarti YLBHI ikut melegitimasi utang," kata Riswan. Belum lagi kalau ada persoalan dengan Pemda DKI. "Belum tentu kami dapat menuntut Pemda DKI seperti pada zaman Ali Sadikin dulu," kata Riswan lagi. Kini LBH memang masih berjalan meski terseok. Kasus demi kasus mereka tangani dengan dana yang terbatas. Yang terus-menerus menahan ngeri adalah pegawai kecil seperti Sarmani. "Saya berharap keadaan bisa kembali normal. Kalau sampai YLBHI gulung tikar, saya mau kerja ke mana lagi," ujarnya lirih. Nurdin Kalim, Arif Ardiansyah (Palembang), Yophiandi (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus