Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melihat negeri bung besar

Pemerintahan Irak dengan partai baathnya di bawah kekuasaan Saddam Husein sangat tertutup bagi dunia luar. Diwarnai dengan kekerasan dan darah. Posisi Irak dalam menghadapi iran. (sel)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAK berpenduduk 28 juta jiwa. Empat belas juta manusia, 14 juta lagi potret Saddam Hussein." Ini olok-olok di kalangan penduduk Irak. Presiden mereka, Saddam Hussein, memang sangat dirasakan kekuasaannya di negeri itu. Ke pelosok mana pun orang pergi, potret atau posternya seakan mengawasi semua - dengan wajah tegar, dengan kumis tebal dan mata yang besar. Terkadang bibirnya menyunggingkan senyum yang menampakkan gigi. Dalam ukuran besar atau kecil, potret itu terpasang di kantor, di bis, di pagar bangunan, di tembok masjid, di kalender, di buku tulis anak sekolah, di jam besar dan arloji, bahkan di piring kue yang kecil. Demikian ditulis Elaine Sciolino dalam majalah The New York Times awal Februari. Di beberapa tempat, potret itu tampil dalam berbagai peran. Di Universitas Baghdad ia tampak sebagai sarjana yang baru diwisuda - pakai toga. Di lapangan olah raga ia men jadi penunggang kuda yang gesit. Di Babylon, reruntuhan kota tua dekat Sungai Efrata, profilnya mengungguli Hammurabi, peletak dasar hukum dunia pada zaman sebelum Masehi. Walau sekali-sekali ada juga tangan usil, populasi foto Saddam tak berkurang. Di sebuah desa kaum Syiah, potret Saddam di tembok desa dirobek tangan jahil pada malam yang gelap. Keesokan paginya potret baru sudah terpasang lagi. Negeri yang pernah diperintah Khalifah Harun Al-Rasyid yang bijak bestari itu kini menjadi suatu masyarakat tertutup tempat kebenaran sukar tampil secara utuh. Partai sosialis Arab Baath yang berkuasa menjalankan pengawasan yang teliti atas segala bidang. Tak banyak partai politik di dunia yang disiplinnya sangat ketat, dengan cara kerja penuh rahasia, seperti Partai Baath. Dalam hal warna masyarakat yang serba rahasia dan sukar disusupi, barangkali hanya Libya yang menandingi Irak. Presiden Saddam, yang memimpin Partai, melaksanakan pemerintahan dengan bantuan Dewan Komando Revolusioner yang beranggotakan sembilan orang. Ia merangkap pula sebagai ketua dewan itu. Anggota Partai Baath tersebar di mana-mana: di tiap kesatuan militer, di sekolah, di kantor, di pabrik. Elaine Sciolino, yang berkunjung ke Irak Januari lalu, suatu hari berniat mewawancarai mahasiswa Universitas Baghdad - menanyakan pendapat mere ka tentang hubungan Irak-Amerika yang puli belum lama ini. Dari seorang profesor sejarah d lingkungan universitas itu, Ahmad Samii - yan memperoleh gelar M.A. dan Ph.D.-nya di Amerika ia dapat izin. Tapi ketika seorang mahasiswa baru saja hendak ditanyainya, seorang mahasiswa lain memotong. "Dilarang bicara soal politik dalam kuliah,' katanya. Pemuda itu, selain anggota Dewan Perwakila Mahasiswa juga anggota Partai yang bertugas menjaga dipatuhinya garis Baath di kampus. "Sayalah yang akan menjawab pertanyaan mereka," katanya. "Pro fesor sama sekali tak bisa menjawab - sayalah yan bertanggung jawab. Saya punya instruksi Partai. Prof. Samii terpaksa minta maaf. Di kelas itu, di mimbar universitas, ia ternyata tak punya wewenang. Politik merupakan sesuatu yang tabu dibicaraka di Irak - di meja makan sekalipun. Apalagi beroposi - jangan bayangkan - biar dengan bisik-bisik sekalipun. Orang segan buka mulut - bahkan ketawa merupakan hal langka. Kalangan terpelajar takut berhubungan dengan orang asing, sekalipun hanya sekadar bergaul biasa. Yang melanggar aturan ini bisa ditangkap, atau, salah-salah, kena "peluru nyasar'. Seseorang bercerita, belum lama ini di lingkungan kediamannya 50 orang ditangkap. Lalu ditembak mati. Keluarganya tidak diperbolehkan mengadakan upacara berkabung (tahlilan, kalau di Indonesia) secara mencolok. Penjagaan keamanan sangat menonjol di pasar-pasar. Orang mau belanja diperiksa dulu sebelum masuk kompleks itu. Mobil pribadi atau taksi dilarang berhenti dekat-dekat pintu gerbang kantor pemerintah, hotel besar, atau kedutaan asing. Di hotel Ishtar Sheraton yang baru dibangun, tamu yang datang harus meletakkan bagasinya 40 meter dari meja resepsionis. Ini semua untuk mencegah pengacauan teroris Iran, negara yang diperangi Saddam. Sekalisekali toh terjadi juga ledakan bom. Artinya, oposisi bawah tanah bukan tak ada. Untuk mencegah larinya uang, orang Irak dilarang ke luar negeri. Para diplomat asing yang ingin berkunjung ke luar Ibu Kota Baghdad harus minta izin tertulis paling lambat seminggu sebelumnya. Dan, barangkali Iraklah satu-satunya negara di dunia yang mengharuskan adanya izin tertulis untuk memiliki mesin ketik. Benda ini dianggap dapat digunakan untuk membuat selebaran gelap. Soalnya, Saddam sendiri menggunakan barang itu sebagai modalnya yang penting dalam kegiatan revolusionernya dulu. Seorang diplomat Barat menggambarkan pemerintahan Saddam Hussein sebagai "rezim yang bergelimang darah dan brutal". Penyiksaan fisik dan psikis yang keji terhadap para tahanan merupakan sesuatu yang selalu ditutup-tutupi pemerintah. Tapi rakyat dihantui rasa takut, dan perasaan mereka sebagai manusia menjadi tumpul. Itulah mengapa orang jadi enggan bicara. Sejak mereka masih kanak-kanak, pemerintah dan aparat Partai sudah mengarahkan cara berpikir para kawula. Dalam pelajaran sejarah di sekolah dasar, anak-anak sudah disuruh menghafal pernyataanpernyataan politik Saddam. "Kami makan, bekerja, dan tidur, tapi tak bisa berpikir," kata seorang pegawai menengah suatu kali. "Kami jadi tidak efisien: takut kepada orang-orang di atas kami dan orang-orang di bawah kami." Kalaupun ada yang mendukung rezim Saddam, kata pegawai itu, paling-paling hanya 20 persen. "Tapi mereka akan benar-benar kehilangan kalau Saddam jatuh. Di Polandia, atau Amerika Latin sekalipun," ia menambahkan, "masih ada gereja tempat orang menyuarakan hati nurani. Tapi di sini, petugas keamanan negara terlalu rapi dan baik sekali kerjanya. " Bagaimana sikap kebanyakan orang Irak terhadap presiden mereka tecermin dalam ucapan seorang sopir taksi. "Ini memang. mobil," katanya, sambil menepuk-nepuk dashboard. "Tapi kalau Saddam bilang ini sepeda, maka ini sepeda." la melihat sekeliling. "Saya bisa ditembak karena bicara begini ." Kalau di negara lain wartawan biasanya dilarang memotret obyek militer atau obyek sensitif lain, di Irak binatang pun dilarang dipotret. "Binatangbinatang itu akan membuat negara tampak terbelakang," kata seorang pegawai rendahan. Maka, keledai penarik gerobak yang banyak berkeliaran di Baghdad, domba-domba yang ditambatkan di tiang lampu di Najaf, sapi yang mondar-mandir sepanjang jalan ke Basrah, semua itu harus dianggap tidak ada. * * * Saddam Hussein, 48 tahun, tampil sebagai presiden pada bulan Juli 1979, menggantikan Jenderal Ahmad Hassan al-Bakr yang mengundurkan diri karena sakit-sakitan. Sebelumnya, Saddam sudah menjadi orang kedua. Ia termasuk Muslim Suni, separuh dari penduduk Irak yang 52%-nya terdiri atas Muslim Syiah. Pemerintah selalu menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara Suni dan kaum Syiah, meski mereka sendiri curiga pada kemungkinan adanya pengikut Khomeini di kalangan rakyat. Tapi tak dapat dikatakan bahwa Syiah Irak memandang Suni sebagai lawan. Gerakan bawah tanah Syiah Irak yang pernah berjaya, Al Dakwah Al Islamiyah, lebih menganggap dirinya sebagai lawan pemerintah sekuler yang buruk dan sama sekali bukan lawan Suni. Karena itu, pemimpin revolusi Islam Iran Ayatullah Rohullah Khomeini kecele ketika mengharapkan kaum Syiah Irak akan bangkit melawan Presiden Saddam Hussein dan mendirikan Republik Islam Irak. Tapi Saddam harus membayar mahal untuk menjaga "kesetiaan" Syiah Irak. Ratusan juta dolar dikeluarkannya untuk memugar tempat-tempat ibadat Syiah dan kota-kota mereka. Di Najaf, 200 km selatan Baghdad, sebuah masjid Syiah sedang dipugar. Gentingnya saja terbuat dari batu pirus, lantainya marmar putih. Para pekerja bangunan didatangkan dari Sudan atau Mesir. Tukang-tukang bangunan Irak sendiri sudah lama dikerahkan ke garis depan. Tetapi, di antara para makmum yang bersembahyang di masjid itu tampak lebih banyak petugas keamanan daripada jemaah awam. Mereka tampil dalam berbagai wujud: berpakaian seperti suku pengembar!a Badui, seperti sheik yang kaya, atau mengenakan pakaian Barat. Di balik tabir pemisah, beberapa jemaah wanita berzikir. Kedengaran tangis mereka tertahan - barangkali memohon kepada Tuhan supaya anak-anak mereka, yang sedang bertugas di front melawan Iran, kembali ke rumah dengan selamat. Yang lain berdoa bagi anak-anak mereka yang dinyatakan "gugur bagi Tanah Air" di medan perang. Meski pemerintah Irak bersifat sekuler, Saddam (khususnya pada saat-saat akhir - Red.) sering ditampilkan dalam foto sedang sembahyang. Wakil Perdana Menteri I Taha Yasin Ramadan termasuk pejabat pemerintah yang suka menggembar-gemborkan kepada tamu asing, bagaimana pemerintah berusaha menjaga kerukunan beragama. "Kami membangun masjid untuk umat Islam, gereja untuk umat Kristen, dan sinagog untuk umat agama lain". Umat "agama lain" itu terdiri atas Kristen Kalden Katolik Roma, Gereja Ortodoks Yunani, dan sekte Kristen lain, yang semuanya merupakan 5% penduduk. Di bawah Saddam Hussein mereka menjalankan ibadat dengan bebas. Sampai terbentuknya negara Israel tahun 1948, di Irak berdiam 200.000 orang Yahudi. Kini, meski Irak termasuk negara Arab yang sangat anti-lsrael (tanpa pernah melepaskan peluru barang sebiji, tak pernah pula melancarkan aksi perlawanan lain apa pun, tak juga pernah menghimpun dana atau menolong negara musuh Israel - Red.), masih ada 400 Yahudi tinggal di sana. Mereka dibolehkan menjalankan ibadat, tapi tak boleh bekerja di perusahaan negara atau masuk tentara. Perang dengan Iran pecah September 1980, ketika Presiden Saddam mengerahkan tentaranya ke perbatasan. Ia hendak merebut Khuziztan, wilayah Iran yang kaya minyak, memulihkan kekuasaan Irak atas Shat el-Arab yang strategis, dan, lebih jauh lagi, menumbangkan rezim Ayatullah Khomeini. Tapi Saddam sungguh-sungguh salah hitung. Iran membalas serangannya tanpa tanggung-tanggung dan mendesak Irak menjadi pihak yang bertahan. Khomeini bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum rezim Saddam tumbang. Dalam empat setengah tahun peperangan, korban yang jatuh di pihak Iran ditaksir setengah juta orang. Irak mengaku hanya 70.000 di pihaknya. Namun, pemerintahan Saddam mengeluarkan tak kurang dari hampir satu milyar dolar tiap bulan untuk biaya perang. Di Baghdad sendiri, suasana perang boleh dikatakan tak terasa. Sikap penduduk tenang saja, meski enggan diajak bicara perihal perang. Tak banyak poster yang menggugah semangat atau mengingatkan penduduk Baghdad tentang kerepotan yang mahal itu. Bagi wartawan asing yang hendak meninjau front, pemerintah sudah menyiapkan suatu program dengan jadwal ketat. Para pemburu berita itu diangkut dengan bis, dibolehkan jalan-jalan di parit-parit pertahanan, lalu diajak makan siang bersama prajurit. Tapi setelah mendapat briefing singkat yangbiasanya menceritakan tekad Irak menghancurleburkan pasukan Iran, para wartawan segera diantarkan kembali ke Ibu Kota. Tak ada waktu untuk secara leluasa meliput suasana perang yang sesungguhnya. Satu-satunya sumber berita hanya siaran resmi pihak militer yang tidak jelas dan isinya tak banyak berubah dari hari ke hari: "Enam puluh pesawat jet tempur angkatan udara Irak menyerang posisi dan konsentrasi pasukan musuh, menimbulkan kerusakan peralatan dan korban jiwa yang besar. Semua pesawat Irak itu kembali dengan selamat ke pangkalan ...." Siaran seperti ini tak pernah mencantumkan nama si pemberi keterangan. Televisi, yang menyiarkan upacara pemberian tanda jasa oleh Presiden Saddam Hussein kepada prajurit yang gagah berani, tidak pula pernah menyebutkan nama-nama "para pahlawan" itu. Dan berapa jumlah sebenarnya tentara Irak yang tewas tidak pernah ada yang tahu. Para pejabat Irak selalu menghindar jika ditanya tentang eksperimen mereka dengan senjata kimia yang biadab itu. Eksperimen itu berakhir musim semi tahun lalu, setelah dikutuk kerasAmerika. Meski duma mengecam penggunaan senjata amoral itu, Irak tetap menimbun sejumlah besar gas saraf dan mostar (mustard), paling sedikit ditiga pabriknya yang dijaga ketat. Ketika ditanya tentang jumlah produksinya, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Tariq Aziz hanya tersenyum. "Apakah Anda mencium bau gas kimia di sini?" tanyanya berkilah kepada para wartawan asing. Keadaan di front kadang-kadang mirip tempat peristirahatan. Beberapa pos terdepan dibangun permanen - ada prajurit yang sempat berkebun bunga. Peninjau yang datang akan dijamu minuman dingin dalam ruangan ber-AC, beralas karpet, dilengkapi perabotan bagus dan televisi warna. Prajurit mendapat jatah es - dan bir! - serta makanan hangat, dan tidur nyenyak semalam suntuk. Di sebuah kedai di Sheik Saad, kota antara Baghdad dan Basra, tentara tampak berleha-leha minum bir di ruang makan penuh lalat. Mereka sedang menonton pertandingan sepak bola di televisi. Kota Basra, yang terletak di perbatasan Irak-Iran, yang diserang Iran Februari tahun lalu, kini tampak relatif tenang. "Anda takkan tahu bahwa perang pernah meletus di sini," kata Mahdi Feiz, yang berdagang beras dan kacang di pasar terbuka Basra. Tapi orang asing akan melihat begitu banyak karung pasir - ratusan ribu - bertebaran di kota itu. Karung-karung setinggi tiga meter itu, dengan tebal satu meter, ditumpuk sepanjang hampir semua kaki lima. Jendela kantor-kantor pemerintah juga dilindungi karung pasir. Demikian pula parit-parit pertahanan di Shatt el-Arab yang diperebutkan. Banyak dari karun itu sudah rusak oleh air hujan. Tumpahannya menjadikan jalan-jalan Basra becek dan kotor. Di Basra Sheratron Hotel yang mewah, bunga matahari baru ditanam dekat air mancur untuk memperindah pemandangan. Tumpukan karung pasir yang masih ada dekat pintu masuk merusakkan keindahan itu. Wartawan Foto Steve McCurry berkisah dalam majalah National Geographic, Januari lalu, bagaimana ia hanya diberi waktu 15 menit meninjau parit pertahanan di Front Basra. Bersama 60 wartawan asing lainnya ia dibiarkan menunggu selama tiga jam dalam bis di Baghdad, sebelum berangkat. Suhu udara ketika itu lebih dari 40 derajat Celsius. Juru bicara Kementerian Penerangan, pengantar mereka, mengatakan bahwa mereka akan mengunjungi tempat paling baik di front untuk membuat foto. Tapi selama perjalanan mereka dilarang memotret apa pun yang tampak dari dalam bis. Delapan jam kemudian mereka sampai dan dibolehkan jalan-jalan melihat Kota Basra. Tapi tetap tak boleh memotret. Esoknya mereka dibawa ke parit pertahanan di front yang tidak menunjukkan tandatanda perang. "Saya membidikkan kamera saya kepada seorang prajurit yan sedan berdiri dalam parit," Steve McCurry bercerita. "Tapi dia malah yangbilang, 'Tidak boleh motret'. Lalu saya kebetulan melihat awak televisi sedang memfilmkan sekelompok prajurit lain. Saya pun mengikuti mereka." Mengenakan pakaian seragam yang masih baru, para prajurit hanya berdiri tanpa berbuat sesuatu. Mereka ketawa kepada para wartawan. Setelah mengambil beberapa shot, rombongan diperintahkan kembali ke bis untuk pulang ke Baghdad. "Demikianlah, saya menghabiskan waktu satu setengah hari, naik bis yang panas dan berdebu, hanya untuk liputan 15 menit di parit pertahanan yang tak ada apa-apanya. Kami tak boleh memotret meriam atau tank - kecuali satu parit itu saja," McCurry mengomel. Sebelumnya, McCurry mengunjungi Taman Zawra di Baghdad. Di sana dipamerkan tank-tank yang dirampas Irak dari Iran. Tank itu buatan Amerika yang dibeli pada zaman Syah berkuasa. Para wartawan dibawa pula meninjau kamp tawanan perang di Ramadi, 70 mil sebelah barat Baghdad. Jelas, ini pameran belaka. Mereka diantar ke dapur, memeriksa persiapan makanan bagi para tawanan. Untuk menyambut kedatangan mereka, tawanan bertanding sepak bola. Ketika ditanya, dengan lancar para tawanan berkisah bagaimana mereka diperlakukan dengan baik oleh pemerintah Irak, dan betapa jahatnya Khomeini. Suatu pertunjukan rutin. Irak tampaknya puas dengan peperangan yang berjalan lamban sekarang ini. Dari dataran tinggi yang terlindung di Basra, pasukan Saddam menembakkan peluru kendali Exocet ke kapal-kapal tanker yang tak bersenjata. Roket Exocet seharga US$ 250.000 buatan Prancis, yang dirancang untuk menggempur kapal perang kecil, dipakai hanya sebagai senjata pengganggu. Tahap perang sekarang ini, mulai Februari lalu, bermaksud memblokade pelayaran di dalam dan di luar pelabuhan minyak utama Iran di Pulau Kharg. Tetapi dibanding besarnya biaya yang sudah dikeluarkan, Irak sebenarnya tak banyak mendapat manfaat. Sebuah peluru kendali Exocet yang ditembakkan memang akan membuat bocor sebuah tanker, menyerap air atau minyak. Dalam pada itu, para analis militer tidak yakin bahwa Irak mampu melumpuhkan fasilitas minyak di pelabuhan Kharg. Pipa-pipa minyak di pulau karang kecil 30 mil di lepas pantai Iran itu terlindung sangat baik. Peralatannya yang bernilai strategis sukar dihancurkan, dan umpamanya ada bagiannya yang hancur, membangunnya kembali pun tidak terlalu sulit. Seorang atase militer yang penasaran dengan cara berperang Irak sampai terlepas bicara, "Kenapa mereka tidak menggunakan roket atau bom menembak kapal tanker? Luas kapal tanker sama dengan sebuah lapangan terbang. Kenapa mereka tidak merebut saja Pulau Kharg? Dan kenapa mereka membiarkan para birokrat mengambil keputusan militer? Mereka bertempur 10 hari, tapi istirahatnya 150 hari ! " Sudah bertahun-tahun Presiden Saddam mengobrak-abrik angkatan perang Irak. Ia menggeser perwira-perwira yang cakap dan menggantinya dengan birokrat yang secara politik dipercayainya. Strategi militer Irak ditentukan di kantor Presiden, sementara para komandan militer di front tidak dibenarkan mengambil keputusan penting. Mana perang bisa jalan. * * * Meski gemar menampakkan diri dalam seragam militer dengan bintang-bintang jasa, Saddam Hussein sebenarnya bukan prototip tentara. Sehari-hari ia tidak mudah ditemui, meski hampir tiap malam siaran televisi selalu menampilkannya - biasanya dalam acara kunjungan ke front. Dilahirkan di kalangan keluarga petani yang tak punya tanah, di Desa Tikrit, Saddam belajar ilmu -hukum di Kairo. Di sinilah ia memulai gerakan revolusionernya yang penuh intrik dan yang akhirnya membawanya ke tampuk kekuasaan. Seleranya akan kekuasaan melebihi para pemimpin Iran, dan dengan pecahnya perang Irak-lran kekuasaan pribadinya semakin besar. Ia menikah lebih dari 20 tahun lalu dengan saudara sepupunya sendiri, dan dikaruniai lima anak. Sering pula diperlihatkan fotonya sedang memangku anak perempuannya yang bungsu. Tapi Saddam masih tetap keras seperti ketika ia pada usia 22 - terluka dalam percobaan membunuh orang kuat Irak, Jenderal Abdel Karem Kassem. Ia mengeluarkan sendiri peluru dari pahanya dalam pelariannya di gurun pasir di Syria. Ia pun masih setegar lima tahun yang lalu ketika memimpin sendiri pelaksanaan hukuman mati, di hadapan regu tembak, atas lebih dari 20 pejabat pemerintah, termasuk bekas pembantu pribadinya. Namun, ia pun dapat memberi perhatian pada hal-hal kecil dalam kehidupan rakyatnya. Ia, misalnya, hadir pada upacara sunatan atau menyempatkan diri berceramah tentang bagaimana memperbanyak hewan ternak. Belum lama ini ia mengunjungi pertanian sebuah penjara, mengenakan rompi kulit kambing yang biasa dipakai para petani, dan membawa tongkat gembala. Ia membebaskan dua tahanan yang diperintahkannya bertempur di garis depan. Tindakan ini disambut hangat oleh rakyat yang hadir. "Tapi," ia memperingatkan, "kalian akan dihukum jika tidak menjalankan tugas perang dengan baik. Saya akan mengawasi kalian." Di sebaliknya, Saddam pun tak luput dari serangkaian usaha pembunuhan. Sebagian kisah itu sudah diabadikan dalam sebuah buku laris setebal 190 halaman oleh saudara tirinya, Barzan Tikriti. Jabatan terakhir Barzan adalah kepala pasukan pengawal Presiden Saddam, tapi Saddam pula yang kemudian memecatnya. Ini membuktikan lagi, betapa di Irak kini kesetiaanipolitik lebih penting dari ikatan keluarga. Kini Barzan hidup sebagai orang biasa, tapi kasus pemecatannya tetap merupakan misteri. Apakah ia dipecat karena tidak setuju salah seorang anak perempuannya diperistri seorang anggota pasukan pengawal Presiden? Ataukah karena Barzan punya ambisi tertentu? Kasus lain menyangkut Menteri Kesehatan Riyadh Ibrahim. Ia dihukum mati pada 1982, tapi apa sebabnya tidak jelas benar. Saddam pernah menuduhnya membiarkan pasien memakai obat yang sudah tercemar. Tapi ada juga yang mempertanyakan apakah hukuman itu bukan dijatuhkan karena Ibrahim menjawab dengan tulus ketika ditanya, "Apakah Saddam sebaiknya mengambil cuti panjang?" Perundingan dengan suku Kurdi, yang sejak dulu menuntut otonomi di Irak Utara, musim panas lalu tiba-tiba dihentikan. Tak jelas pula apakah ini terjadi karena salah seorang pembantu utama pemimpin Kurdi, Jalal Talabani, dibunuh. Atau apakah karena suku Kurdi menuntut terlalu banyak. Kurang lebih setahun sekali, seperti bermusim, muncul desas-desus baru tentang usaha membunuh Presiden Saddam. Bulan Agustus lalu tersiar cerita tentang usaha kudeta. Yang terlibat, konon, sekelompok suku Kurdi dan para perwira angkatan darat dan udara Irak di utara. Mereka berkomplot akan menyerbu istana Presiden, stasiun radar dan televisi di Baghdad dengan enam pesawat tempur MIG-13. Menurut kabar, 500 anggota komplotan dihukum mati. Tapi Wakil Perdana Menteri I Taha Yasin Ramadan hanya tersenyum ketika ditanyai kebenaran berita itu. "Inilah pertama kali saya mendenar kabar seperti itu," katanya. Tapi ia kemudian tak bicara apa-apa, seakan dengan sabar menunggu pertanyaan lebih lanjut. Janji Saddam Hussein, bahwa perang dengan Iran tidak akan mengganggu perekonomian negara meleset. Mulanya pemerintah memang berhasil memperkecil dampak buruk peperangan. Tapi ini dilakukan dengan menggali bermilyar-milyar dolar kekayaan cadangan Irak dan bantuan langsung Arab Saudi serta negara-negara Teluk Persia. Pada 1982 pemerintah terpaksa menghentikan pembangunan prasarananya. Keran impor ditutup, beberapa proyek dibekukan, sedangkan untuk proyek-proyek lain para kontraktor asing diminta membiayai sendiri. Selanjutnya pemerintah menjalankan kebijaksanaan anggaran hemat. Pemasangan pipa minyak Irak ke Turki, musim panas lalu, memungkinkan Irak memperbesar ekspor minyaknya sampai sekitar satu juta barel sehari. Sedangkan pembangunan tahap pertama pipa minyak yang dihubungkan dengan pipa minyak Saudi Petroline, yang direncanakan selesai September ini, akan memperbesar ekspor minyak menjadi 1,5 juta barel sehari. Sementara itu, rencana pembangunan pipa minyak ke pelabuhan Yordania, Aqaba, dibatalkan - diperkirakan tak bisa dijamin keselamatannya dari serangan Israel. Toh, tanpa pipa minyak Aqaba, kemampuan produksi minyak Irak dewasa ini memang dapat menjamin teratasinya berbagai kesulitan - dengan cadangan minyak bumi 100 milyar barel di dalam buminya. Tahun 1980, ketika perang dimulai, eskpor minyak Irak tercatat 3,2 juta barel sehari. Tahun itu saja penghasilan negara mencapai US$ 25 milyar. Menteri Penerangan Latif Nasif Jasim optimistis bahwa Irak akan melampaui titik yang sulit. "Pada akhir 1986 tak akan ada kesulitan ekonomi sama sekali, meski perang ini berkecamuk bertahun-tahun lagi," katanya. Tapi banyak orang Irak tak menyukai optimisme Jasim. Mereka tetap mengimpikan "zaman normal", ketika mata uang dinarnya relatif kuat. Kini resminya dinar Irak bernilai US$ 3,30, tapi di bursa valuta asing Kuwait hanya laku US$ 0,90. Pemerintah Irak mengancam dengan hukuman mati orang yang menukarkan uang di pasar gelap atau yang menumpuk dolar. Tapi di Basra, anak-anak minta tip dalam dolar kepada orang asing, bahkan para pegawai pemerintah dan sopir menawarkan tukaran uang gelap, tentu saja. Meski pemerintah berusaha mengendalikan pasar dengan menetapkan harga-harga resmi, sebuah apel yang diimpor dari Kuwait hanya bisa dibeli dengan US$ 5, sedangkan kol yang masih segar US$ 18. Perang telah mengacaukan sistem distribusi barang. Para wanita, yang mengenakan abbaya yang menutup seluruh tubuh kecuali muka, berdiri berjam-jam dalam antrean panjang di pasar-pasar terbuka Baghdad - hanya untuk membeli ayam, telur, atau kentang . Tetapi, sebagaimana dengan masalah-masalah lain, mendapatkan gambaran yang tepat tentang keadaan ekonomi Irak hampir mustahil. "Tak seorang pun tahu berapa besar cadangan pemerintah," komentar seorang diplomat Barat. "Tak seorang pun tahu berapa pendapatan negara, berapa pengeluaran, termasuk biaya perang, dan berapa pula nilai ekspor. Mendapatkan informasi yang pasti di Irak adalah sesuatu yang mustahil. Dan kalau ada orang yang memberikan informasi yang pasti, ia harus segera dicurigai . " * * * Mesranya persahabatan Irak dengan Amerika kini sungguh mengherankan kalau diingat bahwa Irak pernah bersumpah tidak akan membuka hubungan diplomatiknya kembali dengan AS sebelum Washington melepaskan politiknya yang pro-lsrael. Irak sendiri salah satu negara pertama yang dikutuk AS karena "berulang kali mendukung terorisme". Ketika Israel menggempur Syria, Yordania, dan Mesir, dan mempermalukan seluruh dunia Arab pada 1967, Irak termasuk negara Arab yang memutuskan hubungan dengan AS. Lalu merangkul Uni Soviet, untuk mendapatkan dukungan militer dan diplomatik. Irak pula negara Arab paling akhir yang memulihkan hubungan diplomatik dengan Amerika. Sesudah lebih dari 17 tahun, November tahun lalu bendera Amerika melambai-lambai lagi di atas Sungai Tigris. Sejak itu sikap resmi Irak ialah berbaikan dengan negara Reagan itu. Pers, yang dikuasai pemerintah, tidak lagi memperdengarkan sikap anti-Amerika. Di lapangan terbang Baghdad, ucapan selamat datang yang ramah selalu menyambut kedatangan orang-orang Amerika - dari petugas duane dan sopir taksi. Para diplomat AS jadi tamu yang dimanjakan para jenderal dan kolonel Irak di klub-klub khusus mereka. Bahkan hiburan malam gaya Las Vegas kini mengisi acara tiap malam di hotel mewah Baghdad. Lebih mencolok ketika kedutaan besar AS belum lama ini mengadakan pesta. Sebuah kue mahal diantarkan orang dari luar. Pengirimnya? Tak lain Presiden Saddam Hussein sendiri. Ck-ck. Citra yang baik tentang Amerika pun dipompakan ke dalam diri murid-murid sekolah. Di Sekolah Dasar Dijla, di pusat Kota Baghdad, seorang murid berusia 12 tahun menjelaskan hubungan AS-lrak kepada seorang tamu Amerika yang kembali ke Irak setelah 10 bulan. Dalam bahasa Inggris yang dihafalkannya, Omar Dewachi, anak laki-laki berkaca mata dan bertampang serius, berkata, "Persahabatan kami dengan Amerika sekarang dimulai, dan kami senang mendapatkan rakyat Amerika yang bersahabat. Rakyat Amerika mencintai rakyat Irak karena Irak berada di pihak perdamaian." Seorang temannya, ketika mendapat giliran, berkata lebih bersemangat, "Rusia memberi kami peluru. Amerika adalah sahabat kami." Tapi bukanlah takdir yang mendorong Irak merangkul Amerika - melainkan keputusasaan. Kalau bukan karena perang berlarut-larut dengan Iran, yang telah menghabiskan banyak korban jiwa dan biaya, mungkin Irak masih tetap akan menjauhi AS. Tanpa melihat kemungkinan jelas kapan berakhirnya perang, Irak ingin AS terus membantu perbekalan militernya dan menggunakan kekuatan diplomatiknya mempengaruhi negara-negara Barat agar jangan membeli minyak Iran. Irak berharap, dengan lebih banyak kredit ekspor dan teknologi minyak AS, perekonomiannya dapat dibantu menuju arah yang tepat. Amerika, di pihaknya, melihat tawaran Irak itu sebagai imbangan persahabatan Iran yang lama dengan Uni Soviet. AS juga tahu bahwa Irak, barangkali hanya ditandingi Arab Saudi dalam hal cadangan minyaknya, merupakan risiko kredit yang baik untuk jangka panjang. Di tengah Kota Baghdad, kedutaan besar Amerika Serikat kini sedang didandani untuk memperkuat pengamanan dirinya. Gedung yang pernah menjadi kedutaan besar Rumania itu terletak di jalan yang ramai dilalui truk. Ini tempat yang tidak aman mengingat senjata "truk bom" teroris berasal dari wilayah Irak. Dikelilingi karung pasir setinggi dua meter dan pagar pipa baja berisi semen, gedung itu berusaha benar melindungi dirinya dari serangan teror. Bangunan ini sebenarnya merupakan pengganti yang lebih jelek dari kompleks seluas 2,5 hektar yang ditempati Amerika sebelum hubungan diputuskan. Di kompleks itu, lebih dari sepuluh tahun lalu, terdapat kediaman duta besar, kantor kedutaan dengan kebun gaya Inggris yang mengelilinginya, gedung apartemen untuk staf kedutaan, dan sebuah bangunan untuk pasukan marinir yang mengawal kedutaan. Tapi pada saat itu pulalah kompleks itu disita pemerintah - lalu digabungkan ke dalam kompleks kepresidenan. Gedung dan tanahnya ketika itu bernilai US$ 5,5 juta kini nilainya tak terhitung. Pemerintah Irak tak bersedia mengembalikannya kepada Amerika, meski mereka menjanjikan gantinya. Yang diinginkan Amerika sebenarnya tempat yang sebanding, terletak di sebidang tanah yang luas, sehingga mudah pengamanannya. Irak menawarkan tempat yang tetap, di perkampungan diplomatik yang sedang dibangun dekat lapangan terbang. Tawaran ini ditolak mentahmentah - karena lingkungan lapangan udara itu "mirip kampung". Seperti dikatakan para pejabat Washington, dewasa ini "bulan madu (AS- Irak) baru saja dimulai". Dan mereka menganjurkan kepada para kapitalis Paman Sam untuk mempertimbangkan penanaman modalnyadi Iraksekarangini,sebelumperangberakhirdan atau bulan madu lewat. Para pejabat Amerika suka membual kepada orang-orang Irak, bagaimana proyek desalinasi (menghilangkan kadar garam dari air laut) di Sungai Colorado bisa diterapkan dengan baik di Sungai Efrata, dan bagaimana senangnya orang Arab Saudi dengan teknik konservasi air buatan Amerika untuk tanah setengah gersang. Dalam tahun fiskal 1985, Perusahaan Negara Kredit Komoditi Departemen Pertanian AS akan menjamin kredit sampai US$ 666 juta untuk penjualan gandum, beras, dan komoditi pertanian lain kepada Irak. Jumlah ini kurang lebih sama dengan pada tahun lalu. Irak, yang tak punya banyak uang tunai, berharap akan tambahan kredit pertanian dari AS, juga kredit perdagangan. Mereka berkeras bahwa mereka tidak membutuhkan piranti keras militer buatan Amerika. Dan mereka memang tidak akan memperolehnya. * * * Orang yang sekarang berkunjung ke Baghdad akan tercengang melihat perubahan besar yang sedang melanda kota yang terkenal dalam dongeng dan mitos itu. Pada musim panas tahun lalu, Baghdad sering dilanda angin kencang dan pasir gurun. Dalam keadaan begini orang bisa saja keluyuran di jalanan. Tanpa mampu melihat apa-apa, karena pemandangan kabur dan membuat perih mata, pikiran akan menerawang, mencari jejak-jejak sejarah dan legenda. Tapi bila udara terang kembali untuk mengusir roh Sindbad dan Ali Baba, yang tampak jadi lain: Baghdad muncul di pundak Sungai Tigris yang besar, bersama dengan kedamaian dan kemakmurannya yang tak tanggung-tanggung. Padahal, lima belas tahun yang lalu, Baghdad sebuah kota yang penuh gubuk rombeng. Fasilitas sanitasinya ketinggalan zaman, sebagian besar jalan bopengan. Tak satu pun hotel kelas satu di ibu kota itu. Keharuman dan keindahan Baghdad ketika itu hanya tinggal kenangan dari Hikayat Seribu Satu Malam. Kini, nightclub dan disco bukan hal aneh. Jumlahnya sampai belasan. Beberapa hotel bahkan menyediakan pertunjukan tari telanjang. Untuk memenuhi "kebutuhan sosial" prajurit yang cuti, diimpor pula cewek-cewek penghibur dari Asia Tenggara yang meramaikan nightclub. Perlu diketahui, para prajurit dari garis depan itu mendapat cuti tujuh hari setiap bertugas tiga minggu. Arak dan judi, yang di negara-negara Arab lainnya dilarang, adalah hal yang legal di Irak. Sering kelihatan orang dari negara tetangga Kuwait yang kaya, dan tak biasa minum, nongkrong di bar-bar hotel. Pacuan kuda merupakan permainan judi baru, dan negara memperoleh sumber pendapatan baru dari pajaknya - untuk penambah-nambah biaya perang. Pembangunan kembali Kota Baghdad dimulai tahun lalu. Ribuan apartemen dan kantor baru, dari kontrak yang ditinggalkan selama masa perang, kini menghias cakrawala. Menurut wakil wali kota Baghdad, Husham al-Madfai, pembangunan besarbesaran ini dimulai tahun 1979 dan memuncak pada 1981. Irak ketika itu mengejar deadline untuk menyambut konperensi nonblok yang direncanakan tahun 1982 di kota itu. Tapi Irak gagal, dan Iran berhasil: konperensi dialihkan ke negara lain. Toh pembangunan tidak berhenti. Ratusan kilometer selokan dan kanal digali. Di atasnya giat dibangun superhighway baru yang melintas dan mengelilingi kota. Ada sebuah lapangan terbang yang juga baru dan banyak hotel mewah. Melintasi Sungai Tigris yang membelah kota, kini ada 12 jembatan untuk memperlancar komunikasi. Didirikan lebih dari 1.20a tahun yang lalu oleh khalifah Bani Abbas, Abu Ja'far al-Mansur, Baghdad ketika itu berupa sebuah kota bulat yang dikelilingi tembok. Tak kurang dari 100.000 pekerja dikerahkan untuk pembangunan itu. Kota itu segera berkembang sebagai pusat perdagangan dan ilmu, dan pada abad ke-10 merupakan kota metropolis yang terbesar di dunia. Tahun 1258 orang Mongol menyerbu, dan pada abad-abad selanjutnya Baghdad mengalami kemunduran. Adapun Irak yang sekarang ini sebenarnya diciptakan oleh Inggris setelah Perang Dunia I - dari bekas-bekas wilayah Kerajaan Ottoman. Untuk mengenang kejayaan masa lampau itu, sejumlah monumen menghiasi Kota Baghdad, bertemakan kisah dongeng. Di bundaran Jalan Sa'dun, di pusat kota, terpampang sebuah patung perunggu yang tinggi, melukiskan adegan kisah Ali Baba dan Empat Puluh Penyamun. Memang, yang paling mencolok tetap saja monumen dari hari ini: bangunan untuk prajurit tak dikenal guna menghormati mereka yang mati dalam perang dengan Iran. Tapi, terdiri dari kubah setinggi 50 meter yang dibelah dua, monumen itu - menurut Elaine Sciolino, wartawan kita ini - merupakan peringatan pula atas perang yang terjadi tahun 637 Masehi. Ketika itu kaum Muslimin ("orang-orang Arab", tulis Elaine), dekat sepeninggal Nabi Muhammad, menyerbu Persia dan merebut wilayah yang kini bernama Irak. Bahwa Saddam mengartikan Muslimin itu sebagai Arab dan Persia itu Iran (dua-duanya memang benar), itu lain perkara. Kubah monumen itu saja beratnya 550 ton, terbuat dari besi, melambangkan perisai prajurit yang gugur. Menjulang di atasnya setinggi 30 meter terdapat sebuah tiang bendera, dengan bendera kebangsaan Irak yang pada malam hari menyala dalam empat warna: putih, hitam, hijau, dan merah. * * * Wajah baru Kota Baghdad ini tak mendapat banyak perhatian dunia luar karena kunjungan wartawan asing diawasi sangat ketat. Sebagian besar datang hanya untuk meliput perang. Lagi pula, tidak seperti Kairo, Baghdad sebenarnya tak memiliki ciri yang mengundang perhatian atau yang merangkul tamu dengan kehangatan. Kota itu memang mempunyai masa lampau yang jaya, tapi tanpa gairah. Ada pihak-pihak tertentu di Irak yang khawatir, kalau-kalau pembangunan kota bisa merusakkan cirinya yang bersejarah - dan itu bisa dipahami. Ihsan Fethi, profesor arsitektur di Universitas Baghdad, termasuk di antaranya. Lima belas tahun lamanya ia berjuang - berusaha meyakinkan berbagai pihak akan perlunya melestarikan gaya arsitektur Baghdad tradisional. Ia sendiri dibesarkan di lingkungan rumah seperti itu, yang dikenangnya sebagai "suatu dunia tersendiri yang sejuk dan menyenangkan". Menurut Fethi, rumah-rumah tradisional itu dibangun mengelilingi pekarangan. Pandangan penghuninya lebih diarahkan ke bagian dalam, sedangkan penglihatan ke jalan hanya melalui satu pintu di lantai dasar. Di atap rumah dipasang pipa-pipa besar yang menghimpun embusan angin dan menyebarkannya ke seluruh bilik sampai ke ruangan bawah tanah. Rasanya sejuk dan teduh. "Tapi kini rumah-rumah membuat jendela yang menghadap ke luar," kata Fethi. "Jendelanya besar-besar, dan banyak, dan akibatnya terasa panas. Keleluasaan pribadi tidak ada lagi. Sebagai gantinya dibuat pagar tinggi yang menutupi pandangan ke luar. Ini logika yang terbalik." Di rumah tradisional itu orang bisa tidur di atap pada malam musim panas. Untuk bergolek-golek siang, mereka masuk ke ruang bawah tanah. "Di rumah yang sederhana sekalipun, ruang bawah tanahnya agak luas," kata Fethi sambil memperlihatkan rumah-rumah di Bab al-Shaykh, distrik lama Baghdad yang dimaksudkannya sebagai kawasan pelestarian . Bangunan rumah-rumah itu cukup berseni pula: kebanyakan punya balkon yang menjorok ke depan, seakan bergantung. Jendelanya pun dibuat menjorok ke depan, dihiasi ukiran kayu yang bolong (mashrabiyah), sehingga penghuninya leluasa melihat ke luar tanpa bisa dilihat dari sana. Untuk memugar rumah-rumah itu, didatangkan tukang dan perajin kayu dari India. Pembangunan berbagai fasilitas modern di Baghdad, dalam pada itu, membuat keakraban antartetangga di rumah-rumah jadi hilang. Orang tidak bisa lagi berkumpul di warung kopi sambil merokok, main domino, dan ngobrol: warung-warung kopi yang khas itu sudah langka. Sebagai gantinya mereka pergi ke kolam renang. Jemuran yang dulunya digantungkan di udara terbuka kini dikeringkan dengan mesin, dan orang Baghdad kini mulai mengeluh tentang ketergantungan mereka yang statis. "Yang mencemaskan kami ialah perubahan gaya hidup orang," kata Wakil Wali Kota al-Madfai kepada wartawan National Geographic, William S. Ellis. "Ada masalah-masalah sosial yang tersangkut, tapi nyatanya orang membutuhkan lebih banyak rumah yang baik, jalan yang beraspal, persediaan air yang lebih baik." Ia mengakui, ada kemungkinan Baghdad kehilangan cirinya - meski mereka berusaha mencegahnya. Itulah sebabnya mereka menentukan kawasan kota yang dilestarikan. "Kami berusaha keras agar ciri sejarah dan peninggalan masa lampau kami tecermin dalam arsitektur kota," kata al-Madfai. Di bagian luar salah satu hotel yang baru dibangun di Baghdad orang bisa menemukan tiruan Taman Gantung Babylonia. William S. Ellis menulis dalam majalah National Geographic, Januari lalu, bahwa masih mungkin oran menemukan sisa-sisa Bahdad sebaai kota terkaya di dunia, Baghdad dengan orang-orang Mongol di gerbang kotanya dan para khalifah di bilik-bilik istana mereka. Pasarterbukaatau suq yang kuno masih ada, dengan gang-gang beratap dan jalan sempit yang berliku-liku. Juga ingar-bingar suasana di pasar, tempat seorang pandai tembaga menempakan palunya pada logam yang sedang dibentuknya. Di bagian lain berjejer peti-peti kayu yang diisi rempah-rempah dan bumbu masakan sampai melimpah. Ada jadam (kemenyan Arab) untuk obat perut, ada celak (sipat) untuk menghitamkan pinggir kelopak mata. Ada pula kunyit, berwarna jingga menyala dan pedas. Di mana-mana di suq ada seorang tua yang menawarkan jam kantung bertuliskan kata-kata Konstantinopel pada piringannya. Ini peninggalan zaman Ottoman. Pak Tua memutar jam itu dengan sebuah kunci, dan bunyi "tik"-nya kedengaran lembut tapi jelas, seperti titik hujan jatuh di danau. "Berapa harganya?" "Banyak dinar," jawabnya. "Berapa banyak?" "Seratus dua lima (US$ 400)." "Itu banyak sekali dinar." "Saya 'kan sudah bilang." Suq akan tetap bertahan menghadapi modernisasi Baghdad. Demikian pula Sekolah Mustansiriya, lembaga pendidikan dari abad ke-13 yang dikenal luas pada zaman pemerintahan Bani Abbas. Dibangun pada zaman yang sama, dan masih tetap berdiri, adalah Istana Bani Abbas. Satu abad kemudian dibangun Khan Murjan, gedung yang gaya arsitekturnya menonjol karena cirinya yang khas. Dirancang sebagai penginapan, rumah makan, dan tempat persinggahan para saudagar untuk mengistirahatkan kuda, Khan Murjan mempunyai ruang tengah yang tinggginya lebih dari 15 meter. Dinding batanya disusun berbentuk crenelation- berselangseling tinggi-rendah seperti bagian atas tembok benteng - dengan jendela berlubang-lubang kecil untuk menyaring sinar matahari. Khan Murjan kini dijadikan restoran dan, sebagaimana umumnya restoran di Baghdad, banyak dikunjungi. Selama hampir 200 tahun bangunan itu dibiarkan tak terurus. Ruang tengahnya digenangi air setinggi pinggang, limpahan dari Sungai Tigris dan limbahan air kota sebelum saluran air dan kanal baru digali. Kini lantainya sudah kering dan ditutupi karpet bagus. Di bagian atas terdapat ruangan-ruangan tempat orang mengisap tembakau dan minum kopi Arab yang kental pahit dalam cangkir kecil. Di situ orang dapat bersantai sendirian atau ngobrol, tanpa perlu peduli pada potret besar Saddam Hussein (bukan khalifah ini atau itu) yang dipasang di tembok. Di ruang tengah yang luas, sambil makan atau minum, orang dapat menikmati alunan suara merdu Suad Abdallah, biduanita Irak terkenal. Suad bukan sekadar penyanyi ia seorang penghibur yang cepat dapat merebut simpati. Pada saat ia menyanyi, para tamu pria meninggalkan meja dan menuju panggung untuk melemparkan uang kepadanya. Anak-anak membawakan bunga. Seakan hidup kembali suasana hangat di ruang tengah Khan Murjan 600 tahun lalu, ketika para pengembara dari Damaskus dan Persia serta bagian dunia lainnya berkumpul di sini, menikmati keriaan Baghdad yang maju dan semarak. * * * Salah satu dampak menguntungkan dari kegiatan pembangunan di Baghdad ialah ditemukannya peninggalan-peninggalan kuno. Benda-benda yang bisa memberikan petunjuk penting tentang sejarah negeri itu ditemukan lewat penggalian. Jumlahnya banyak sekali, dan meliputi hampir segala macam barang. Dr. Muayad Said Damerji, ketua Organisasi Negara Peninggalan Bersejarah, mengatakan, di Baghdad dan seluruh Irak kini terdapat sekitar 10.000 situs. arkeologi. Penggalian di tempat-tempat itu sudah berlangsung lebih dari seabad, dan akan terus berlangsung sampai entah kapan. Penemuan purbakala terbaru yang penting adalah sebuah patung perunggu Hercules setinggi satu meter sedang bersandar pada tongkat yang dihiasi kulit singa. Di kaki patung ada tulisan dalam bahasa Yunani dan Aram (Syria Kuno), memberikan informasi baru tentang raja-raja zaman itu - abad kedua Sebelum Masehi. Penemuan itu membuat orang ingat kembali pada pernyataan beberapa ahli purbakala Irak bahwa Hercules hanyalah nama lain untuk Nergal, dewa Irak Kuno. Tapi pastilah lebih banyak lagi rahasia zaman lampau yang dapat diungkapkan oleh penemuan arkeologi baru di Irak - bukan sekadar silsilah Hercules. Irak, yang dulu bernama Mesopotamia, adalah tempat lahirnya peradaban manusia. Tulisan pertama berasal dari sini, demikian pula kitab undang-undang. Orang Sumeria, Akkadia, Babylonia, dan Assyria, semuanya membangun peradaban mereka di negeri ini. Taman Firdaus pun konon bertempat di Irak - daerah yang disebut Qurna. Barang-barang purbakala itu tersimpan di Museum Baghdad, yang dengan 28 galerinya merupakan museum terbesar di Timur Tengah. Direktur museum itu, Dr. Bahija Khalil Ismail, wanita, mengatakan bahwa barang-barang peninggalan di museum mereka meliputi jangka waktu 100.000 tahun sampai ke zaman Islam. Dr. Bahija sendiri seorang ahli huruf paku. Dalam satu peti kaca terdapat sebuah batu yang berusia 10.000 tahun. Ada 12 guratan di situ -mungkin alat penanggalan zaman purba. Ada lagi beberapa cap yang dipakai orang Sumeria 5.000 tahun lalu untuk melegalisasikan dokumen. Sebuah relief abad kesembilan Sebelum Masehi memperlihatkan upacara jabat tangan antara dua orang. Sebagian benda purbakala di Museum Irak merupakan reproduksi. Inilah yang menimbulkan keprihatinan banyak ahli di negeri itu. Sama halnya dengan yang dialami di banyak negeri, benda-benda yang asli dibawa oleh para penjajah asing atau ahli purbakala asing ke negeri mereka. Gerbang Ishtar, misalnya, berada di Berlin Timur, dan lembaran marmar hitam yang bertuliskan undang-undang yang disusun Hammurabi berada di Museum Louvre, Prancis, setelah dibawa ke Iran sebagai rampasan perang pada abad ke-12 SM. Benda-benda lain disimpan di British Museum dan di Museum Universitas Pennsylvania, AS. "Kami berusaha mendaDatkan kembali benda-benda itu," kata Dr. Damerji. Prancis sudah mengembalikan Kitab Undang-Undang Hammurabi yang ditatahkan di marmar itu. "Tapi baru sekitar 59 pasal," kata Dr. Damerji, "sisanya masih mereka simpan." Di British Museum masih tersimpan lempengan batu Assyria -belum satu pun dikembalikan. Dari Amerika sudah dipulangkan ratusan lempengan tanah liat yang bertuliskan huruf paku, sementara beberapa benda lain masih mereka tahan. Salah satu undang-undang yang ditetapkan Hammurabi berbunyi: "Jika api membakar rumah seseorang, dan orang lain yang memadamkan api itu menemukan barang pemilik rumah dan membawanya, orang itu harus dibakar." Undang-undang ini seakan menunjukkan bahwa raja keenam Dinasti Pertama Baylon yang memerintah di Mesopotamia pada 1792--1750 SM itu sudah mengetahui nasib apa yang akan dialami barang-barang peninggalannya. Undang-undang itu tertulis dalam huruf paku pada sepotong batu setinggi tiga meter, yan kini dipamerkan di Museum Louvre. Yang ada di Irak hanya kopinya. Orang Turki dari Kerajaan Ottoman, yang menguasai Irak selama 400 tahun, tak banyak memberikan perhatian pada kesejahteraan penduduk kota. Orang Inggris, yang datang setelah mengalahkan Turki dalam Perang Dunia 1, sama saja. Ketika mereka angkat kaki, 1932, setelah mendirikan monarki, Baghdad dalam keadaan centang perenang. Seorang pemandu di Museum Baghdad bercerita, di pinggirpinggir jalan kota, dulu, biasa ditemukan wanita tua duduk di samping belanga besar berisi cairan mendidih. Cairan itu mengandung ramuan lezat, dan dengan bayaran tertentu setiap pejalan kaki bisa mencelupkan rotinya ke dalamnya sebagai penyedap. Ada pula pemangkas rambut yang mangkal di kaki lima. Ia menyediakan jasa bukan hanya memotong rambut tapi juga mencabut kutil. Pada saat-saat tertentu jalanan digunakan untuk tempat perayaan. Panji-panji beraneka warna dijejer dan musik dimainkan - untuk merayakan sunatan seorang anak-anak lelaki. Kini, sekali-sekali, masih terdengar lengkingan "serunai kantung" - yang dibunyikan dengan kantung udara alat musik Skotlandia - dalam suatu upacara. Seruling itu, bersama bis bertingkat, merupakan satu-satunya sisa kejayaan Inggris di kota yang kini berpenduduk hampir empat juta jiwa ini. Lapangan Tahrir, yang terletak di ujung jembatan di tepi kiri Sungai Tigris, merupakan jantung kota. Dari lapangan yang luas inilah berpangkal beberapa jalan utama dalam kota. Ada Jalan Rasyid (dari nama Khalifah Harun al Rasyid) yang kaki limanya beratap karena dijadikan tempat mangkal para pedagang kecil. Di antara dagangannya terdapat karpet-karpet dengan gambar penyanyi rock terkenal Elvis Presley. Di Jalan Sa'dun yang lebar dan dibiarkan terbuka orang bisa terpanggang dalam suhu lebih dari 45 derajat Celsius. Penjual air es sangat laris di jalan ini. Di jalan-jalan raya itu berseliweran bis bertingkat warna merah buatan Inggris. Tapi kesemrawutan seperti di kota-kota besar Timur Tengah lainnya tidak ditemukan. Penumpang cukup sopan untuk tetap berada di dalam bis, tidak bergelantungan. Dalam etalase sebuah toko buku terpasang lagi potret Saddam Hussein yang cukup besar. Kali ini ia mengenakan kopiah Arab, tangannya memegang cerutu. Di toko itu tak banyak dijual penerbitan dalam bahasa Inggris. Majalah atau koran berbahasa asing memang tak bisa didapatkan di Irak. * * * Suatu proyek permukiman penduduk kota yang terbesar di dunia kini sedang dibangun di Jalan Haifa. Rencananya mencakup pembangunan hampir 2.000 unit rumah, bersamaan dengan sekolah, penitipan anak, pusat pertokoan, klinik, taman, dan pusat hiburan. Kontraktor dari banyak negara ikut serta dalam proyek ini. "Pembangunannya hampir selesai," kata Wakil Wali Kota al-Madfai. "Dan kami berharap, segera setelah perang usai, kami bisa terus membangun proyek yang sama di seluruh kota." Perang memang menguras banyak uang Irak. Selama dua tahun pertama, lebih dari US$ 30 milyar dihabiskan. Tapi bantuan uang yang mengalir deras dari Arab Saudi dan Kuwait, selain hasil minyak Irak sendiri, memberikan janji baru bagi pembangunan Baghdad. Di Jalan Khulafa (Jalan Para Khalifah), lebuh utama yang paling ramai di Baghdad, sedang direncanakan perbaikan lingkungan besar-besaran. Sebuah perusahaan arsitek Amerika terkemuka, The Architects Collaborative Inc., mendapat tugas merancangkan perbaikan itu bersama dengan pembangunan Universitas Baghdad yang baru dan spektakuler. Didirikan tahun 1946 oleh arsitek terkenal Walter Gropius, TAC - demikianlah perusahaan itu lebih dikenal - sudah membangun Hotel Sheraton di Baghdad, yang terdiri dari 21 tingkat dan menjadi pusat perhatian di bagian Kota Baghdad yang ramai. Para tamu bisa menikmati pemandangan Sungai Tigris yang indah dari 312 kamarnya beserta balkon dan terasnya yang dihiasi tanaman. Hotel itu selesai tahun 1982 dengan biaya US$ 80 juta. Kendati desainnya disesuaikan dengan masa kini, pengaruh Islam tetap tecermin. Kompleks Universitas Baghdad akan dibangun di tanah kurang lebih 3,5 km2 yang ketiga sisinya dibelah Sungai Tigris. Akan ada 273 bangunan, yang semuanya memakan biaya US$ 1,5 milyar. Salah satu bangunan ialah masjid universitas, sebuah gedung menyerupai kubah yang bertumpu di tiga titik. Jika selesai, masjid itu tak hanya merupakan tempat ibadat, tapi juga lambang kehebatan arsitektur yang kini bertebaran di Kota Baghdad. "Irak memang punya selera tinggi untuk mempekerjakan para arsitek terbaik di dunia," kata Peter W. Morton, rekan usaha TAC yang sering mengunjungi Irak untuk mengawasi proyeknya. "Tapi sekaligus mereka juga menentukan standar yang tinggi." Dalam mendesain bangunan untuk Baghdad, para arsitek harus tunduk pada tradisi tertentu. "Sistem farash, misalnya, harus dipertahankan," kata Morton. "Di Timur Tengah selalu ada seseorang yang bertugas menyediakan kopi di kantor-kantor. Dialah farash. Pekerjaannya merupakan tradisi kuno tapi penting di Baghdad. Jadi, kami pun harus menyediakan tempat baginya - sebuah ruangan tempat ia masak dan duduk menunggu panggilan bel." Yang sudah selesai ialah proyek Kota Saddam, yang terletak di utara Baghdad, di bekas rawa yang dulunya ditinggali penghuni liar. Kini satu juta orang tinggal di sini, setelah Presiden Saddam memerintahkan pembangunannya. Banyak penghuninya orang-orang dari desa. Pemandangan ganjil akan tampak sehari-hari di kota modern itu: kambing dibiarkan di halaman, kaum wanita membalut tubuhnya dengan kain hitam, kaum pria nangkring di pinggir jalan. Bentuk rumahnya kecil-kecil, dicat warna tanah, dan dari dalamnya keluar bau sayuran sedang dimasak. Pohon bebungaan tumbuh sepanjang batas halaman masing-masing, tempat para tetangga bertemu dan ngobrol. Suatu pagi, seorang wartawan Barat naik bis ke Kota Saddam, tanpa tahu arah yang dituju bis dan tempat ia harus turun. Di tempat duduknya ia makan kacang Arab yang keras dan berkulit hijau. Sebagian besar kulit kacang itu menempel di dagingnya, sehingga susah dimakan. Mengerti akan kesukarannya, penumpang di sebelahnya, seorang bertampang mirip Pancho Villa, melihat waspada ke sekeliling. Kemudian mendekatkan kepalanya, dan berbisik, "Kacang Iran lebih baik." Bis tiba di tengah kota melalui jalan yang bersilangan dengan jalan layang dua atau tiga tingkat. Ini jalan untuk kendaraan cepat, yang terdiri atas banyak jalur. Di Timur Tengah atau di Eropa belum ada jalan sebaik ini sistemnya. Pengendara motor bisa mengira dirinya sedang meluncur di autobahn Jerman, kalau saja ia tidak melihat rambu-rambu seperti "Babylonia, 100 kilometer". Sebuah jalan raya di bawah tanah, yang kini sedang dalam tahap perencanaan akhir, akan dibangun suatu saat setelah perang usai. Di Pasar Thulatha (Pasar Selasa), orang akan menemukan salah satu dari lima pusat perbelanjaan gaya Barat di Baghdad. Dahulu kala, puncak kesibukan pasar itu memang terjadi pada hari Selasa. Dibuka pada 1983, "dalam masa pemerintahan pemimpin-pejuang kami, Yang Mulia Saddam Hussein", seperti kata direkturnya, Pasar Selasa yang dikelola negara itu mempunyai lima gedung besar dan modern. "Tiap hari 30.000 orang berbelanja di sini," kata direkturnya, Adel Abud Abbas. Yang dijual: bahan makanan, pakaian, perabot rumah tangga, segala-galanya. Hari itu pembeli sedang memborong periuk belanga bersusun tujuh buatan Korea. Di bagian makanan, saus ayam buatan Denmark laku keras. Alat olah raga yang paling laku adalah cakram. Di bagian pakaian, sebuah rak besar dan panjang hanya berisi beberapa potong kemeja. Ini salah satu akibat perang yang menciutkan impor. Tapi pada umumnya barang cukup tersedia. Meskipun prinsip "sama rata sama rasa" jadi tujuan perjuangan Sosialisme Baath untuk kehidupan sosial dan ekonomi Irak, masih ada lingkungan permukiman elite. Namanya Mansur - mungkin berasal dari nama keluarga khalifah pendirinya, Abu Ja'far al-Mansur. Gaya orang kaya sangat terasa di lingkungan ini. Terdapat banyak vila, sementara mobil Volvo diparkir sepanjang jalan. Menurut cerita, di Baghdad masih ada keluarga-keluarga yang punya simpanan uang dalam jumlah besar. Tapi kekayaan itu terasa relatif di kota tempat polisi berpatroli dengan mobil Mercedes, dan harga secangkir kopi dan sepotong roti bakar di hotel mencapai US$ 12. Mohammad Ghani tinggal di Mansur, tapi kekayaannya terletak dalam bakatnya. Ia seorang pematung yang karya-karya terbaiknya banyak dipasang di jalan-jalan kota. Sebagian besar karyanya bertemakan mitologi Mesopotamia. Salah satu, misalnya, sebuah patung perunggu besar berwujud jin yang keluar dari lampu Aladin. Patungnya yang lain, Sindbad si pelaut yang naik rakit, akan dipasang di Sungai Tigris. Yang lainnya mengambil kisah dari Sumeria, Babylonia, dan Ur - misalnya burung garuda yang ditunggangi manusia, terbang untuk mengunjungi Tuhan. Menurut Ghani, tak ada referensi tentang manusia terbang yang lebih tua dari mitologi Sumeria ini. Sebagai warga Baghdad, ia merasakan kejayaan masa lampau kota itu. Bertubuh pendek dan kepala hampir botak, Ghani seorang teman bicara yang hangat. "Cita-cita saya ialah memberikan kehormatan melalui karya saya kepada kota yang banyak jasanya kepada dunia ini," katanya. Meski sebagian seniman Irak menjadikan masalah politik kontemporer - yang tak jarang sensitif sebagai tema karya mereka, memang masih banyakyang mengandalkan diri pada kejayaan masa lampau. Khalil Khoury, penyair, merupakan contoh yang lain. Ia lahir di Damaskus, Syria, tapi selama 15 tahun terakhir tinggal di Baghdad. Ia terkenal dengan tujuh jilid kumpulan sajaknya di samping lima naskah sandiwara. Bekerja sebagai penerjemah bahasa Prancis untuk Presiden Saddam, Khoury seorang sosialis yang gigih dan sangat sadar akan keagungan masa lampau Mesopotamia. "Anda bisa merasakan ribuan tahun peradaban di Baghdad," katanya. "Bagi saya, kota ini penuh semangat masa lampau. Di sini Anda bisa menemukan kisah Nabi Nuh dan Taman Firdaus, dalam prasasti-prasasti kuno. Jauh sebelum diberitakan dalam Injil," katanya. Sebagaimana banyak penduduk Baghdad, Khoury terikat kepada masa lampau seakan hendak menentukan standar di masa depan. Ia mencaci maki Khomeini dan Iran yang "hendak menguasai Irak dan mengembalikan kami ke zaman 1.500 tahun yang lalu". Kebetulan, ketika itu lewat di depan rumahnya seorang wanita Irak mengendarai sepeda. "Kalau di Iran, ia bisa ditembak mati karena menaiki barang itu," katanya. * * * Kaum wanita di Irak memang menikmati kebebasan lebih besar dibanding kaum sejenisnya di dunia Arab umumnya. Mereka hadir di segala bidang profesi - sebagai insinyur, dokter, penerbang, arsitek, atau sarjana hukum. Secara historis, keadaannya memang sudah demikian. Di sela-sela alat besar, tumpukan bahan bangunan, dan rumah hampir jadi di sebuah proyek Jalan Abu Nawas, Baghdad, orang akan melihat seorang wanita ramping-cantik sibuk mengatur dan berbicara. Mengenakan helm pengaman, celana panjang hitam, dan baju hitam berlengan pendek, dialah Ghadah Mahuk, insinyur listrik. Dalam keadaan perang, banyak pekerjaan tradisional laki-laki diambil alih wanita. Secara nasional, 25% wanita mengisi angkatan kerja di Irak. Ini didukung pemerintah dengan menyediakan penitipan anak cuma-cuma. Di Universitas Baghdad, misalnya, jumlah mahasiswi lebih banyak dari mahasiswa - 55%. Nyonya Iftikar Ahmad Ayoob, wakil direktur Federasi Wanita Irak, dengan bangga bercerita tentang kemajuan wanita di negerinya. "Dalam sejarah Islam, wanita sudah bekerja sebagai pedagang, bahkan ikut berperang. Apa yang kini dilakukan Khomeini sesungguhnya bertentangan dengan hukum Islam. Ia menggunakan Islam sebagai kedok untuk menyembunyikan tindakannya yang melanggar hukum dan biadab terhadap wanita," katanya. Dalam doktrin resmi Partai Baath, wanita memang diakui mempunyai persamaan penuh dengan pria. Pemerintah tidak memberlakukan peraturan sangat ketat terhadap cara berpakaian wanita Irak. Ketika pemerintah Irak memutuskan memberantas buta huruf, 1,4 juta kaum wanitanya mengunjungi pusatpusat PBH untuk belajar membaca dan menulis. "Kini kami menyusun program untuk memberi mereka lapangan kerja," kata Ny. Ayoob. "Banyak yang bekerja di pabrik. Yang lainnya melanjutkan ke pendidikan tinggi atau kejuruan." Ketika Saddam Hussein pada bulan Juni 1980 mengadakan pemilihan umum, dari 250 anggota Majelis Nasional terpilih 16 wanita. Di antaranya Nyonya Ayoob sendiri. Persamaan antara wanita dan pria menimbulkan dampak lain pula. "Dulu pria Irak sangat manja," kata Ny. Ayoob, tersenyum. "Misalnya, karena merasa laki-laki, ia tidak mau momong bayinya. Tapi ketika disiarkan foto Presiden Saddam sedang menggendong bayi, perbuatan itu tidak lagi dianggap memalukan," kata wanita yang dekat dengan pemerintahan ini. Masalah hak-hak wanita, melebihi segalanya, merupakan ciri pemisah yang nyata antara ideologi Iran dan Irak yang sedang bermusuhan. Saddam Hussein tidak memperkenankan kompromi apa pun dengan sekularisme Irak, sementara Khomeini pun bersikap sama dengan interpretasinya atas hukum-hukum Quran. Selama bulan Puasa, di Baghdad tidak tampak banyak orang yang menjalankan ibadat agama itu. Kini sulit dipercava bahwa selama 15 tahun Irak sudah memberikan perlindungan kepada Khomeini. Bekas tempat tinggalnya masih berdiri di Najaf, salah satu tempat suci kaum Syiah. Dari 1963 sampai 1978 Khomeini tinggal di sebuah bangunan bertingkat dua dengan beberapa balkon. Jalan di muka rumah itu kini penuh sampah. Selama di sini, pemimpin Iran itu dihargai sebagai seorang ulama Syiah terkemuka, dan bagi pemerintah Irak ia tidak membahayakan. Tahun 1977 ia dikenai tahanan rumah oleh pemerintah Irak karena pidatonya yang mengecam pedas Syah Iran. Tahun berikutnya, karena desakan Syah, ia diusir dari Irak. Ia lari ke Paris, dan tak sampai empat bulan kemudian kembali ke Teheran - sebagai pemenang. "Perhatikanlah," kata seorang pemandu wisata sambil menunjuk ke tingkat dua rumah bekas tempat tinggal Khomeini. "Kami bahkan melengkapi rumahnya dengan air conditioner. Sungguh tak berterima kasih si tua bangka itu," katanya. Di bagian selatan Sungai Tigris, di Baghdad, terletak kedutaan besar Iran - sebuah gedung megah bertingkat dua yang di jaga sangat ketat. Meski kedua negara berperang selama bertahun-tahun, mereka tidak memutuskan hubungan diplomatik. Pernyataan perang pun tak pernah dikeluarkan oleh salah satu pihak. "Memang, ini gejala yang aneh," kata Saadoun Hammadi, ketua Majelis Nasional Irak. "Tapi setidaktidaknya (di Baghdad) masih ada orang (Iran) yang bisa diajak bicara lewat telepon." Di kedutaan itu ada sekitar enam orang diplomat Iran, termasuk kuasa usaha dan beberapa anggota staf. Pemerintah Irak mengizinkan para diplomat itu berbelanja - dengan kawalan ketat polisi - tapi tidak bergaul dengan diplomat negara lain atau menghadiri acara resmi. * * * Meskipun Presiden Saddam lebih ditakuti dari dicintai rakyatnya, di bawah kepemimpinannya dan dengan kekayaan minyaknya - negeri itu telah mengubah dirinya dari negara agraris terbelakang menjadi negara berkembang yang maju. Untuk para petani dibangun sistem irigasi desa-desa mendapat tenaga listrik sementara pemberantasan buta huruf merupakan program wajib. Kehidupan petani lebih baik: berkat listrik masuk desa, mereka mengenal lemari es, dan antena televisi mencuat di gubuk-gubuk petani yang terbuat dari tanah. Bulan madu Irak dengan AS tidak membuat semua pemimpin Irak senang. Sisa-sisa kebencian atau kekecewaan masih teroendam. Saadoun Hammatli yang menerima gelar Ph.D. ilmu ekonomi di Universitas Wisconsin, misalnya, tak dapat menyembunyikan rasa tak percayanya kepada Amerika. "Kami ingin melihat Amerika memperketat pasaran bebas untuk mencegah Iran memborong minyak dan memperoleh senjata," katanya. "Saya kira Amerika cukup punya kekuatan untuk melakukannya. Tapi barangkali AS menilai Iran akan masuk orbit Barat dalam jangka panjang." Para pejabat Irak berkeras bahwa pemulihan hubungan diplomatik dengan Amerika hanyalah tindakan "yang normal". Ini untuk mengimbangi hubungannya yang sudah lama dengan Soviet, yang menjual sebagian besar perlengkapan militer kepadanya. Sebaliknya, Wakil Perdana Menteri Aziz panjang lebar menemukakan rasa puasnya dengan upaya AS membendung mengalirnya senjata ke Iran, dan adanya pengakuan terbuka AS bahwa Irak menginginkan perdamaian. Padahal, dulu Aziz sangat menentang dukungan AS kepada Israel dan mengecam keras keengganan AS meninggalkan Iran setelah berkobar revolusi. "Kami jadi dewasa jadi lebih matang sebagai politisi," katanya. "Tapi ini tak berarti berubahnya pandangan." "Otak" politik keseimbangan Irak yang ruwet ini masih tetap suka mengenakan atribut revolusionernya. Jas kelabu konservatif, yang dipakainya ketika mengunjungi Washington, sudah disimpannya di lemari kantornya. Ia kini mengenakan kembali pakaian kerjanya warna hijau yang terkenal itu, sementara di pinggangnya tergantung pistol bergagang gading kesayangannya. Tak akan ada perubahan di front pertempuran, memang, sampai Khomeini meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus