SEBAGIAN besar siswa itu ternyata tak tahu mengendalikan dorongan seks. Padahal, mereka mengaku sering, setidaknya pernah, melihat buku dan film porno. Celakanya lagi, sebagian besar mereka pun tak tahu seluk-beluk seks yang benar, sementara tecermin sikap permisif terhaap hubungan seks. Tidak heran bila ahli penyakit kelamin Suria Djuanda mensinyalir bahwa usia penderita penyakit ini di Jakarta menurun. Bila dulu setingkat usia mahasiswa, misalnya, kini setingkat siswa SMA. Itu semua diungkapkan Suhargono Hadisumarto, 56, dalam sidang promosi doktor di IKIP Jakarta, Sabtu pekan lalu. Dan inilah pertama kalinya masalah seks dan remaja masuk disertasi, berjudul Pengaruh Pendidikan Kehidupan Keluarga terhadap Sikap Siswa SMP mengenai Seks: Suatu Studi Kasus. Suhargono, mengadakan penelitian terhadap 173 siswa kelas 1 SMP sebagai responden, lulus dengan predikat "memuaskan". Sarjana pendidikan biologi lulusan IKIP Bandung ini memang punya perhatian khusus terhadap masalah seks dan remaja. Skripsinya pun, 1965, tentang kemungkinan pendidikan seks di SMA. Dan disertasinya ini antara lain didorong oleh hasil-hasil penelitian dosen Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pankahila, yang menghebohkan itu pada 1981. Juga, hasil angket seks yang disebarkan Eko siswa SMPP Yogyakarta, yang karena angketnya itu lalu diminta pindah sekolah (TEMPO, 22 Januari 1983). "Sebenarnya, para remaja itu kebingungan. Mereka ingin tahu soal seks tapi tak ada yang memberi tahu secara baik," katanya kepada TEMPO. Penelitian Suhargono bukan murni tentang seks. Yang ingin dicarinya yakni efek pendidikan seks terhadap slkap seks para remaja. Itu sebabnya ia memilih siswa kelas 1 SMP. Menurut Promovendus, pada usia 13-15 tahun itu hormon seks mulai bekerja. "Jadi, tepat untuk memberikan pendidikan pada usia itu," kata dosen biologi IKIP Jakarta ini. Respondennya ditentukan siswa-siswa kelas 1 SMP swasta di bilangan Tebet, Jakarta Selatan - jumlah siswa memenuhi syarat, dan SMP ini bermutu cukup. Dengan memperbandingkan hasil pengisian daftar pertanyaan sebelum dan sesudah pendidikan seks diberikan, kesimpulan diambil. Kegiatan ini berlangsung dari Agustus hingga Desember 1983. Tentu, bahan pendidikan seks disusun oleh Suhargono sendiri, tapi yang mengajarkannya kepada responden adalah guru-guru mereka. Tlga Jenis pendidikan diberikan kepada responden yang juga dibagi tiga kelompok: yang menekankan pada segi biologisnya, pada etis, dan kombinasi keduanya. Seperti sudah disinun, dari penisian daftar pertanyaan pertama, ternyata persepsi dan sikap para siswa terhadap seks cenderung keliru. Misalnya 129 responden (hampir 75%) tidak tahu risiko kehamilan akibat hubungan seks. Sekitar 60% responden menganggap "boleh" pergi ke WTS. Sementara itu, lebih dari 50% ternyata tak tahu-menahu soal penyakit kelamin. Dan sikap responden putra dan putri menurut Suhargono tak berbeda. Hasilnya, ternyata, bahan pendidikan yang mencampurkan antara segi biologis dan etis kurang menampakkan pengaruh. Ada kemungkinan siswa kelas 1 SMP itu malah kebingungan. Sebab, responden yang hanya diberi pendidikan seks yang menekankan pada segi biologisnya atau segi etisnya menunjukkan perkembangan sikap dan persepsi yang positif. Misalnya, mereka jadi paham ikhwal keluarga berencana. Bukan hanya terbatas pada soal membatasi kelahiran, tapi alasan mengapa perlu ada KB, misalnya. Kesimpulan Suhargono, pendidikan seks punya pengaruh positif. "Artinya, pada diri siswa akan terbentuk sikap kontrol diri, dengan demikian mereka akan terhindar dari penyalahgunaan seks," kata bapak tiga anak ini kepada TEMPO. Tentu, ia pun memberikan syarat guru yang bagaimana yang sebaiknya memberikan pendidikan seks. "Guru harus datang dari keluarga yang harmonis dan hubungannya dengan siswa akrab," kata orang kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini. Sebenarnya, Suhargono ingin meneliti para siswa SMP negeri di Jakarta. Alasannya, kebanyakan sekolah negeri belum mendapatkan pendidikan seks. Tapi izin yang diperoleh dari kepala Kanwil Departemen P & K Jakarta pada 1982 ternyata dicabut oleh kepala kanwil yang baru. "Mungkin karena dianggap masyarakat kita masih rawan bila mendengar soal-soal seks," kata Suhargono. Itu sebabnya pemilihan responden beralih ke sekolah swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini