DI gedung Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Pertamina, Cipulir, Jakarta, Rabu pekan lalu, 107 ahli yang berhubungan dengan proses katalitis industri berkumpul. "Inilah simposium pertama proses katalitis industri," kata Prof. Dr. Wahjudi Wisaksono, kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (P3TMGB) Lemigas, yang bertindak sebagai tuan rumah. Lemigas terpanggil merintis simposium ini karena banyaknya industri Indonesia yang menggunakan proses katalitis. Apalagi, hampir semua industri itu menggunakan minyak dan gas bumi sebagai bahan baku. Di kilang minyak Indonesia saja, saat ini terdapat sekitar 25 unit pengolahan yang menggunakan proses katalitis. "Katalis itu ibarat mak comblang, yang menjodohkan dua pihak," ujar Abdul Salim Nasution kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Salim, 45, adalah satu-satunya ahli yang berstatus peneliti proses katalitis di Indonesia. Dalam bahasa kimia, katalis merupakan substansi yang memacu kecepatan reaksi kimiawi. Sementara itu, katalis sendiri tidak berubah oleh reaksi tadi. Misalnya, umpan A bereaksi dengan katalis B, menjadi AB. Demikian pula umpan C bereaksi dengan katalis B menjadi BC. Reaksi AB dan BC terjadi karena energi reaksi yang dibutuhkan cukup rendah. Paling tidak, lebih rendah dari energi yang dibutuhkan A + C untuk menjadi AC. Tetapi, AB + BC akan bereaksi menjadi AC + 2B. Di sini terlihat, A dan C bisa menjadi AC, sementara B tetap tidak berubah. Katalis bersifat menarik molekul-molekul zat yang ingin direaksikan, mempertemukannya hingga bereaksi, kemudian menendang hasil reaksi tersebut. "Pada prinsipnya, reaksi dengan katalis adalah reaksi permukaan," tutur Salim, anggota American Institute of Chemical Engineers (AICE) itu. Artinya, reaksi antarzat terjadi pada permukaan katalis. Karena itu, unsur katalis harus mempunyai permukaan yang luas. "Satu gram katalis yang baik mempunyai 200 meter persegi permukaan," kata Salim, yang sempat memperdalam ilmu katalis selama empat tahun di Prancis. Katalis yang digunakan biasanya berupa inti logam, atau inti asam. Ada yang terbuat dari bahan murah, seperti kobalt. Ada yang dari bahan sedang, misalnya nikel. Tetapi, ada pula dari bahan mahal, umpamanya platinum. Untuk memperluas permukaannya, katalis dibuat berpori-pori, dengan diameter antara 100 angstrom dan 1.000 angstrom (1 angstrom = 10-10 m). INDONESIA memang belum sampai pada niat membuat katalis, melainkan _ mengoptimalkan penggunaannya. Simposium, yang membahas tujuh makalah, dua di antaranya dari ahli Denmark dan AS, juga menyimpulkan kerja sama antar industri yang menggunakan proses katalitis, dengan Lemigas sebagai koordinator. Bahkan, ada sasaran untuk menguasai teknologi regenerasi katalis, yang selama ini dilakukan pabrik pembuatnya. Regenerasi adalah proses pemurnian kembali katalis, yang dirasa telah menurun penampilannya. Penguasaan terhadap teknologi ini saja diharapkan dapat menghemat devisa negara. Soalnya, cara kerja katalis, yang dirumuskan kimiawan Denmark, Joens Jakob Berzelius, pada 1836, secara mendetail masih diperdebatkan para ahli. Karena itu, sangat menarik tawaran Dr. J.R. Rostrup-Nielsen, ahli Denmark yang membawakan makalah dalam simposium. Deputi Direktur R8D Haldor Topsoe ini, yang mengaku menyuplai 50% katalis industri amoniak dunia, menawarkan sejenis katalis baru melalui Lemigas. "Katalis ini dapat mengubah gas alam Natuna menjadi premium dengan oktan di atas 90," kata Nielsen kepada TEMPO. Namun, Indonesia tidak terburu nafsu. "Kami sedang meneliti segi teknisnya, nanti pemerintah yang menentukan," ujar Wahjudi Wisaksono. "Di Amerika saja masih percobaan, kok," ia menambahkan. Lemigas sendiri sudah memiliki laboratorium konversi dan katalisa, sejak 1975. Laboratorium ini dilengkapi reaktor statis dan reaktor dinamis, tempat proses katalitis terjadi, dalam ukuran mini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini