ANEKA warna bagaikan pelangi -- bertebaran di jalan-jalan.
Itulah taksi di Jakarta yang sampai sekarang seluruhnya. telah
mencapai jumlah 6.000 lebih.
Kendaraan yang melayani penduduk berpenghasilan menengah ke atas
ini, tampaknya semakin dibutuhkan. Mungkin karena itu pula,
taksi yang berkali-kali dilanda kenaikan BBM sampai kini masih
bertahan -- meskipun tak sedikit yang telah bertampang
rongsokan. Kecuali ricuh manajemen yang merongrong President
Taxi tahun lalu, dunia pertaksian nampak tenang, sampai terjadi
keributan di perusahaan taksi Blue Bird.
Dimulai dengan protes Jafar dkk, pengemudi taksi Blue Bird (BB).
Jafar mewakili rekan ssama pengemudi mengusulkan tukar pendapat
dengan pihak pengusaha, khususnya soal kenaikan komisi mereka.
Tapi usul ditolak dan Jafar dinyatakan "menghasut, memfitnah dan
memecah-belah". Dan dipecat.
Karena kecewa, awal Mei silam, Jafar mengadukan nasib ke LBH.
Terlibatnya lembaga ini bukan meredakan, malah mempertajam
sengketa (TEMPO, 27 Juni 1981). Pemilik BB, Ny. Djokosoetono,
menggerakkan satu aksi tandingan ke LBH yang menolak
campur-tangan lembaga ini dalam kasus intern perusahaan mereka.
Ny. Djoko diminta tampil di DPRD DKI dalam acara dengar
pendapat. Ini belum cukup. Senin pekan lalu pihak BB mewajibkan
para pengemudi hadir dalam apel kesetiaan yang dipusatkan di
ketiga pool taksi milik mereka. Dari 35 pengemudi di pool Warung
Buncit, 13 orang menolak menandatangani pernyataan setia pada
perusahaan. Setia pada perusahaan berarti tidak mendukung Jafar.
Akibatnya, ke-13 pengemudi itu tak diberi kendaraan. Kalau Jafar
jelas terkena PHK, maka nasib 13 orang itu terkatung-katung,
sampai sekarang.
Kemelut
Kemelut ini, bagi sebagian pengemudi, berpangkal pada perbaikan
nasib. Soal komisi, misalnya. Menurut Ny. Djoko di depan sidang
DPRD, sopir membawa pulang rata-rata Rp 5000 sehari. Tapi
menurut Jafar dkk hanya Rp 2000. Perhitungannya menurut Jafar,
begini: tiap hari, untuk 16 jam kerja, perusahaan menetapkan
target setoran Rp 24.500. Dari jumlah ini pengemudi memperoleh
komisi Rp 4.200 yang masih dipotong Rp 1.500 untuk 3 kali makan
dan Rp 700 untuk rokok dan transpor. Sisanya bisa tinggal Rp
2.000, kalau tidak dipotong lagi untuk cicilan atau denda karena
pernah tabrakan misalnya.
Adalah Idris Pohan Pardede, Kepala Urusan Pembinaan Usaha
Angkutan DLLAJR yang pernah mengadakan survei pribadi tentang
pendapatan sopir taksi dari beberapa perusahaan. Menurut Idris,
sopir President Taxi satu hari bersih menerima Rp 10.000 --
dengan ketentuan, sehari kerja sehari tidak. Denan bekerja 17
jam sehari, rata-rata bisa mereka kumpulkan Rp30.000. Sesudah
dipotong setoran Rp 12500, bensin Rp 6.000 dan makan Rpl.500,
memang masih tersisa Rp 10.000.
Seorang sopir BB yang tidak mau disebutkan namanya, mengakui,
pendapatan sopir President Taxi memang besar, karena setoran
plus bensin hanya Rp 18.500, sedangkan untuk jam kerja yang sama
Ny. Djoko menetapkan Rp 24.500. Tapi Nababan, 33 tahun, seorang
sopir President Taxi toh mengeluh. Setoran yang ditentukan
majikannya Rp 13.000 plus bensin, masih dirasanya berat.
Dengan jam kerja yang sama, sopir Sri Medali harus menyetor Rp
13.600 sehari. Honor memang ada, Rp 10.000 sebulan - di BB Rp
7.500. Tapi jika pulang terlambat ke pool 1 jam didenda Rp
1.000, tidak mengenakan seragam didenda Rp 5.000, tidak
bersepatu Rp 5.000. Binsar Nasution, 38 tahun, dengan geram
berkata, "pokoknya lu lu, gua gua "
Berbeda dengan sopir dari perusahaan taksi lain, sopir BB jelas
menikmati beberapa fasilitas: perawatan/pengobatan, tunjangan
kelahiran/kematian/musibah, kredit barang dan pinjaman uang
tunai, serta pakaian seragam. Fasilitas seperti ini memang tidak
disebut-sebut Jafar, kecuali soal kredit barang yang selama ini
berupa sepeda motor. Meskipun sudah 200 lebih sopir yang
mendapat sepeda motor semacam ini, dalam penilaian Jafar, kredit
itu hanya memaksa mereka untuk bekerja lebih keras agar dapat
membayar cicilan yang besarnya antara Rp 1000 - Rp 1500 sehari.
Hal lain yang juga merisaukan para pengemudi adalah jam kerja
yang terlalu ketat (jika terlambat tidak dapat jatah kendaraan),
sistem kerja yang tidak pasti (meski sudah jadi pengemudi tetap,
belum tentu mendapat surat pengangkatan), suasana kerja yang
penuh agitasi (selalu ada pengemudi fanaatik yang memata-matai
sesama rekannya pengemudi demi kepentingan pengusaha), juga PHK
yang sewenang-wenang tanpa perinatan I dan II.
Belum lagi hal-hal kecil lainnya: PHR (pinjaman hari raya) dan
tabungan wajib Rp 100 sehari. Menurut Jafar, BB tidak mengenal
tunjangan hari raya gratis. Tentang tabungan wajib Rp 100,
menurut Jafar, "apakah ini bukan berarti pengemudi memberi
kredit pada pengusaha? "
Jaminan hari tua yang menurut SK Gubernur tahun 1971 ditetapkan
10% dari harga mobil yang sudah terpakai selama 3 tahuh
dilaksanakan berbeda-beda. Pengusaha BB menetapkan jaminan itu
sebesar Rp 75.000, di Sri Medali bahkan hanya Rp 64.000. Tapi
Jafar dkk berpendapat sedikitnya harus Rp 300.000. Mengapa?
Karena tidak ada mobil yang berharga Rp 750.000, meski sudah
dipakai 3 tahun.
Blue Bird memiliki 500 mobil dan mempekerjakan 800 sopir.
Perusahaan ini pernah mendapat tiga kali penghargaan dari DKI,
dipercaya untuk menyambut tamu di Halim dan Kemayoran serta
diperebutkan oleh pelbagai hotel kelas satu di Jakarta.
Dan di tengah protes Jafar dkk, Ny. Djokosoetono berhasil
melebarkan sayap usahanya ke tiga jurusan perusahaan lampu
pijar, angkutan bis untuk turis dan perusahaan angkutan yang
khusus melayani Pasar Induk Cipinang. Bagaimana dengan kenaikan
komisi yang dituntut Jafar dkk? "Itu tidak mungkin," katanya
wanita pengusaha itu dengan mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini