KEMATIAN di jalan raya terus berpacu dengan kendaraan-kendaraan
yang dilarikan dengan kencang. Dan dari sekian banyak korban
kecelakaan kendaraan umum, apakah yang telah dilakukan Jasa
Raharja sebagai perusahaan asuransi kepada para korban?
Menurut Dirut Jasa Raharja, H.M. Santoso, ada dua macam santunan
yang bisa dibayarkan. Pertama, bagi penumpang kendaraan umum,
dalam dan luar kota baik di darat, laut maupun udara. Kedua,
bagi setiap orang yang tertabrak kendaraan bermotor di jalan
umum.
Jumlah santunan itu Rp 500.000 untuk korban yang meninggal.
Biaya perawatan tergantung keadaan korban. "Tapi maksimum Rp
500.000," kata Santoso. Bagi yang cacat juga tergantung dari
cacatnya, maksimum Rp 1 juta Misalnya cacat lengan, kaki atau
mata.
"Jasa Raharja akan membayar klaim yang diajukan oleh ahli waris
korban tanpa menunggu keputusan pengadilan -- tanpa
mempersoalkan siapa yang bersalah," tambah Santoso lagi. Tentu
saja bila korban memiliki kupon Jasa Raharja yang harganya Rp 5
itu.
Lamanya pengurusan klaim santunan itu tergantung dari ahli waris
korban sendiri. Setiap ahli waris dapat mengurus klaim dengan
mengisi formulir K-1 dan K-2 yang telah disediakan oleh Jasa
Raharja di kantor-kantor polisi. Formulir didapat gratis.
Ketentuan tentang santunan ini diatur oleh UU no. 33 dan no.
34/1964.
Menurut rencana Jasa Raharja akan menaikkan jumlah uang
santunan, terutama untuk penumpang bis antarkota-dari Rp 500.000
menjadi Rp 2 juta. "Caranya dengan menaikkan harga kupon Jasa
Raharja dari Rp 5 menjadi Rp 50 per lembar," kata Direktur
Teknik Jasa Raharja Pusat, Sudrajat. Dia tak menyebutkan kapan
kenaikan itu mulai berlaku.
Selain karena jumlah santunan selama ini dianggap tidak memadai
lagi, kenaikan uang santunan itu juga mengingat semakin
seringnya terjadi kecelakaan akhir-akhir ini.
Jasa Raharja tidak akan membayar santunan korban yang tidak
memiliki kupon. Misalnya ketika bis yang mengangkut transmigran
masuk jurang di Puncak, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Atau
ketika sebuah Colt bertabrakan dengan truk di Padalarang, juga
di Ja-Bar, pada akhir 1979.
Kalau penumpang tidak mendapat kupon Jasa Raharja, ahli warisnya
dapat menuntut kepada perusahaan angkutan yang bersangkutan.
Tapi menurut seorang pengusaha bis di Sum-Bar, banyak penumpang
yang menuntut perusahaannya -- meskipun mereka sudah membeli
kupon.
"Mestinya mereka menuntut kepada Jasa Raharja," kata pengusaha
tersebut. Tapi siapa tahu, barangkali sopir dan kenek bis
meminta kembali kupon yang telah dijual itu.
Di pedalaman Sum-Bar misalnya seperti diungkapkan oleh Kepala
Jasa Raharja Cabang Padang, Sriwidodo -banyak kenek tidak
membagikan kupon kepada penumpang. "Ada juga yang membagikan,
tapi mendekati tempat tujuan lantas diminta kembali -- untuk
dijual lagi," katanya.
Tapi kesadaran penumpang di SumBar membeli kupon Jasa Raharja
mulai membaik."Rata-rata 60% per tahun," ujar Sriwidodo.
Sebaliknya di Sum-Ut, kesadaran itu masih tipis. "Padahal mereka
cuma diminta membayar tambahan Rp 5," kata Kepala asa Rahaqa
SumUt, Hanafi.
Lutut Pecah
Repotnya, di Medan ada oknum-oknum yang mempermainkan uang
santunan mengurus klaim dengan membengkakkan ongkos dokter dan
pembelian obat. Akibatnya penyelesaiannya jadi lama, sebab Jasa
Raharja harus mengecek ke dokter dan apoteknya. "Kalau semuanya
beres, klaim bisa selesai diurus dalam tiga jam," kata Hanafi.
Salah seorang yang berhasil mendapat santunan ialah keluarga
Hadiwinarto, Jombang, Ja-Tim. Anaknya, Yacob, tulang lututnya
pecah karena bis yang ditumpanginya, Flores, ditabrak kereta api
di Sala Mei lalu.
Yacob dirawat di Sala selama 21 hari. Ibunya bolak-balik
Jombang-Sala berkali-kali. Dijumlah dengan ongkos perawatan,
biaya yang sudah dikeluarkan keluarga Hadiwinarto tak kurang
dari Rp 600.000. Untung keluarga ini mendapat santunan Rp
500.000 dari Jasa Raharja dan dari Flores Rp 50.000.
Bukan hanya penumpang, kendaraannya pun mestinya juga
diasuransikan. Di beberapa daerah, kesadaran mengasuransikan
kendaraan itu cukup baik. Bahkan di Ja-Bar semua (91 buah)
perusahaan bis antarkota menjadi klien asa Raharja.
Tetapi di Sum-Bar, kesadaran mengasuransikan itu belum ada.
"Saya baru melihat tanda-tandanya saja," kata Sumirat, Kepala
Cabang Jasa Indonesia di Padang. Perusahaan ini merupakan satu
di antara 51 perusahaan asuransi di Sum-Bar.
Keluhan para pengusaha di Sum-Bar, umumnya karena premi yang
harus mereka bayar terlalu tinggi. Untuk bis Rp 500.000, sedang
oplet Rp 200.000 per tahun. Namun meningkatnya kecelakaan
belakangan ini rupanya lebih mendorong para pengusaha
mengasuransikan kendaraan mereka. Tahun lalu Jasa Indonesia
membayar klaim tak kurang dari Rp 60 juta.
Tapi menurut Subiyanto, staf pimpinan perusahaan angkutan bis
Flores di Surabaya, "sekarang pihak perusahaan asuransi tidak
mau menerima bis untuk diasuransikan." Barangkali karena banyak
kendaraan yang sudah tidak memenuhi syarat tapi masih
dijalankan.
Tancap Terus
Hal seperti itu dirasakan pula oleh Kepala Seksi Lalulintas
Kodak II/Sum-Ut, Letkol Pol. Drs. Gandi. Menurut dia sudah
waktunya Pemda Sum-Ut mengeluarkan perda yang mengatur usia
teknis kendaraan yang beroperasi. "Kendaraan telah reot, tapi
sopir terus ngebut karena jalannya mulus," katanya.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan bis mengaku cukup memelihara
kendaraan mereka. Misalnya Kramat Jati yang mengambil trayek
Bandung-Jakarta. "Ada gangguan sedikit saja, sopir selalu
memperbaikinya. Apalagi remnya," kata Aris, salah seorang staf
Kramat Jati.
Perusahaan ini juga menempatkan montir di terminal-terminal.
Sedang bengkel besarnya terdapat di Jakarta, Merak dan Bandung.
"Meskipun bis-bis itu sudah tua, keadaan kendaraan itu sangat
diperhatikan," tambah Aris.
Tapi ia juga mengakui bis-bis Kramat Jati hampir tak pernah
istirahat -- karena harus mengejar jadwal keberangkatan dan
kedatangannya di terminal. Sehingga sepanjang kondisinya masih
dianggap baik, tancap terus. Lebih-lebih untuk menyambar para
penumpang menjelang lebaran seperti sekarang.
Di Yogya ada perusahaan bis, NV Peni, yang sudah berusaha selama
27 tahun. Perusahaan ini membatasi "tugas"
kendaraan-kendaraannya. Untuk trayek Yogya-Sala yang berjarak 65
km, misalnya, tiap satu bis hanya boleh dua kali jalan
pulang-pergi. Perusahaan lain biasanya menempuh trayek tersebut
sampai empat kali jalan.
Barangkali hal itu bukan kesalahaan perusahaan bis yang
bersangkutan. Sebab menurut Mardo, Direktur NV Peni, sejak 1970
DLLAJR tidak lagi menerapkan peraturan maksinal dari rute yang
boleh ditempuh oleh sebuah bis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini