RATUSAN penduduk Kampung, Babakan Bandung, Lio dan Rengas
Condong di Kabupaten Karawang sudah tak bisa lagi menggunakan
sumur mereka. Dasar sumur, walau dalamnya sampai 15 meter,
tampak kering. Mengharapkan air dari Sungai Citarum, mereka juga
tidak bisa. Soalnya air sungai itu acap kali berganti warna
kuning, putih, hijau, atau bercampur solar dan minyak disel.
Tak ayal lagi penduduk itu menuding pabrik kertas PT Pindo Deli
Pulp dan Paper Mills (PT PDPPM) sebagai biang keladi musibah
itu. Pabrik itu terletak di Desa Adiarsa, tak jauh dari
kampungkampung itu. Perusahaan PMDN itu berproduksi sejak 1978
dan menghasilkan 2.170 ton kertas tulis dan cetak setiap tahun.
Sebetulnya berkapasitas produksi sampai 7.020 ton setahun,
pabrik itu mempergunakan berbagai jenis kraft ulp dan berbagai
bahan kimia sebagai bahan baku -- hampir seluruhnya diimpor dari
luar negeri.
Buat pembuangan air, bekas solar dan minyak disel, pabrik itu
membuat saluran sepanjang beberapa ratus meter. Saluran ini
bertemu dengan saluran lain yang bermuara di Sungai Citarum.
"Sejak pabrik kertas membuang kotorannya ke Citarum, kami tidak
dapat mencuci beras atau mandi seenaknya," ujar Jumsir, penduduk
yang sudah 40 tahun tinggal di tepi sungai itu. "Badan akan
terasa gatal-gatal dan lengket. Bila terminum, airnya terasa
pahit dan tenggorokan kering."
Puluhan anak kampung sekitar tepi Citarum itu bahkan menderita
penyakit kulit seperti kudis. "Kalaupun ada yang mencuci dan
mandi di Citarum karena terpaksa," tutur Sabih, penduduk
lainnya. "Sumber air minum tak ada lagi, sedangkan kami tak
mampu membeli air leding."
Kenapa sumur jadi kering? Penduduk di sana menunjuk kepada 24
sumur artetis yang dibuat pabrik itu untuk keperluannya.
"Sebenarnya sumur artetis itu tidak mengganggu sumur penduduk,
karena lebih dalam," tutur Ir. Saleh Umar, Ketua Bappeda
Karawang. Tapi sumur artetis itu, dengan kedalaman lebih 130
meter, cukup hebat menyedot air.
Manajer PT PDPPM, Drs. Singgih, dalam suatu keterangan pers
pernah menyanggupi akan membuat dua sumur pompa serta kran air
di luar pabrik. "Itu demi kepentingan masyarakat, " katanya.
Suatu pengakuan bertanggungjawab atas musibah itu? "Buktinya,
sejak ada sumur artetis itu di pabrik, sumur kami jadi kering,"
ujar Sabih. Sebelum ada pabrik itu, sumur penduduk konon tak
pernah kering, sekalipun di musim kemarau.
Perihal musibah itu sudah beberapa kali dilaporkan penduduk
kepada Kepala Desa Adiarsa. "Tapi laporan kami tidak
ditanggapi," ujar Ayo, Ketua RT Kampung Babakan Bendungan. "Kami
tidak menuntut ganti rugi. Yang kami 'tuntut ialah kembalinya
sumber air."
Tapi keluhan penduduk rupanya terdengar juga di Pemda Kabupaten
Karawang. Akhir Juni, sebuah tim Komisi Kelestarian Lingkungan
Hidup -- beranggotakan unsur DPRD, Ketua Bappeda, DPU, Kepala
Dinas Perindustrian serta camat dan lurah setempat -- dibentuk
Bupati Karawang, Opon Sopandji. Tim tadi bertugas memeriksa
pabrik kertas itu. "Kalau ternyata pabrik itu tidak memenuhi
syarat, akan saya tutup," kata bupati itu.
Setelah diperiksa. diketahui hahwa pabrik itu belum punya bak
penampungan untuk mengolah air buangan sebelum dialirkan ke
Citarum. Saleh Umar, Ketua Bappeda yang jadi anggota tim itu
mengungkapkan hal ini. Padahal sudah ada peraturan bahwa setiap
pabrik diwajibkan mengolah air buangan sebelum dialirkan ke
Sungai Citarum. Bahkan air buangan itu harus melalui penelitian
laboratorium, tapi PT PDP PM belum pernah melakukannya.
Memang Serius
Tim peneliti itu sekian jauh hanya memberikan saran kepada
pabrik "untuk segera membuat bangunan pengolah air buangan,
selambat-lambatnya akhir tahun," tutur Saleh Umar. Pihak pabrik
sudah berjanji akan mematuhinya.
Selain dipergunakan masyarakat sepanjang tepiannya untuk
keperluan sehari-hari, air Sungai Citarum juga diperuntukkan
irigasi dan saluran pembuang berbagai industri. Melalui bendung
Curug, aliran Citarum dibelokkan ke arah timur sampai daerah
Kabupaten Subang, juga untuk irigasi. Sedang aliran sebelah
barat khusus untuk suplai air minum ke Pejompongan di Jakarta.
Di sebelah utara bendung Curug, terdapat bendung Walahar, yang
merupakan saluran irigasi terakhir. Dar bendung ini aliran
dibelokkan ke arah tengah untuk saluran irigasi daerah Kabupaten
Karawang. Setelah melewati bendung Walahar inilah, Citarum
berfungsi penuh sebagai saluran pembuang, meski dengan syarat.
Pencemaran Citarum memang serius, tapi tim peneliti menarik
kesimpulan bahwa air buangan pabrik kertas Pindo Deli belum
membahayakan lingkungan. Namun kesimpulannya itu tanpa
mengadakan penelitian laboratorium terhadap air buangan pabrik
itu. "Untuk memeriksa air buangan itu di laboratorium, tentunya
memakan waktu lama dan biaya tidak sedikit," tutur Saleh Umar.
Selain itu baik tim peneliti maupun Bappeda, tak punya data
tentang batas kadar toksisitas yang diperkenankan dalam air
buangan. Sampai pekan lalu tim Komisi Kelestarian Lingkungan
Hidup belum juga mengadakan penelitian di lingkungan masyarakat
setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini