Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 28 September nanti, Tri Rismaharini harus menyerahkan kursi Wali Kota Surabaya kepada pelaksana tugas yang ditunjuk Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Masa tugasnya sejak 2010 akan berakhir pada hari itu.
Pencalonannya untuk periode kedua tak mulus. Bukan karena ia gagal memimpin ibu kota Jawa Timur itu. Sebaliknya, keberhasilan dia membangun Surabaya membuat popularitasnya tak tertandingi. Partai-partai di luar PDI Perjuangan tak mengajukan calon karena peluang menangnya kecil. Akibatnya, pemilihan terancam gagal karena hanya diikuti satu pasangan, yakni Risma dan Whisnu Sakti Buana.
PDIP dan Partai Demokrat, yang memiliki problem serupa di Pacitan, Jawa Timur, sempat merintis kerja sama. Mereka bertekad mengajukan calon di kedua daerah agar pemilihan tetap bisa dilakukan. Pada hari terakhir, kerja sama itu berantakan.
Kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu, Risma mengatakan tak akan melakukan langkah politik apa pun, meski Komisi Pemilihan Umum kembali memperpanjang waktu pendaftaran. "Saya yakin, Tuhan akan memberikan solusi," katanya. "Tidak tahu bagaimana caranya."
Apa sebenarnya yang terjadi dalam pemilihan Wali Kota Surabaya?
Sabtu sebelum akhir pendaftaran, Pak Zulkifli Hasan (Ketua Umum Partai Amanat Nasional) menelepon. Dia bilang ingin membantu saya dengan mengusung calon. "Kalau kami mengusung calon lawan, jangan dianggap memusuhi ya, Bu," kata Pak Zulkifli. (Zulkifli membenarkan pernyataan Risma.)
Anda pernah berbicara dengan Soekarwo tentang pemilihan wali kota?
Sewaktu menjemput Pak Jokowi—yang akan menghadiri Muktamar Nahdlatul Ulama—di Bandara Juanda pada Sabtu, kebetulan saya berdiri di samping Pak Gubernur. Saat itu dia bilang, nanti yang maju di Surabaya Abror dan Haries. Saya agak kaget karena Haries bukan orang partai. Saya sempat berpikir, kok Haries, ya? Saya juga sempat tanya bagaimana Pacitan. Pak Gubernur bilang, "Beres." Ya sudah, saya tak bertanya lagi.
Setelah itu?
Ketika bertemu dengan Bu Mega, yang juga hadir ke Surabaya, saya bilang, Gubernur menyampaikan bahwa di Surabaya bakal dibantu Abror dan Haries. Saya lalu bilang, mungkin Pacitan perlu juga diperhatikan. Mbak Puan sempat nyeletuk: jadi kita bantu Pacitan, ya? Baguslah....
Apa reaksi Mega?
Ketika mau naik pesawat kembali ke Jakarta, saya dengar Bu Mega berpesan kepada Giyanto (anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur dari Pacitan): selesaikan Pacitan, ya, jangan sampai berantakan.
Nyatanya, pencalonan di Pacitan berantakan....
Sehari setelah penutupan pendaftaran, saya kontak Giyanto, bertanya apa yang terjadi di sana. Dia menjelaskan, wakil bupati dari Golkar tiba-tiba lari. Padahal Ketua PDIP Jawa Timur Kusnadi sudah menunggu pendaftaran. Mereka berangkat bersama-sama, tapi ditungguin di tengah jalan tidak ada. Awalnya saya dengar yang lari orang PDIP. Saya lega, ternyata bukan.
Apakah Soekarwo berkepentingan menjegal Anda?
Ndak tahu saya, he-he-he....
Dia punya kepentingan apa di Surabaya?
Dia tidak bisa masuk Surabaya, misalnya dalam pembangunan jalan tol tengah kota. Beberapa waktu lalu dia juga memaksakan jalan tol lingkar luar barat Surabaya. Saya tak mau pakai tol, soalnya kalau pakai tol nanti masyarakat mati.
Setelah menghilang, apakah benar Haries menghadap Soekarwo?
Saya tidak tahu.
Mengapa Anda menolak pembangunan jalan tol?
Kalau warga bisa gratis, kenapa harus bayar? Kendaraan yang bisa masuk jalan tol cuma mobil. Sedangkan becak, sepeda motor, dan angkutan umum tidak bisa. Masak, kalau mau lewat, masyarakat harus muter-muter? Di Undang-Undang Jalan, tol itu pilihan terakhir. Tol itu paling tidak adil karena harus bayar.
Apakah pelaksana tugas wali kota kelak bisa mengambil kebijakan, termasuk urusan tol?
Bisa, yang saya lakukan kan kebijakan extraordinary.
Mungkinkah orang-orang PDIP ikut menggagalkan?
Tidak, soalnya Bu Mega sempat berpesan kepada Giyanto untuk menyelesaikan urusan Pacitan.
Dalam masa perpanjangan pendaftaran sepekan ini, apa yang bakal Anda lakukan?
Saya ya kerja, tenan. Pukul 6 pagi sudah ada acara.
Setelah tidak menjabat wali kota, Anda berpotensi kehilangan panggung untuk tampil di publik....
Tidaklah, memangnya saya nyari panggung? Bu Mega tahu saya orangnya seperti apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo