Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH Salahuddin Wahid di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, kedatangan tamu istimewa, Kamis siang pekan lalu. Sejak pagi, sejumlah santri sibuk membersihkan ruang utama yang kotor dan sedikit acak-acakan. Setelah ruangan rapi, Gus Sholah—panggilan Salahuddin—menerima tamunya, Martin van Bruinessen, pengamat politik Islam dari Utrecht University, Belanda.
Mereka terlibat diskusi. Kepada Bruinessen, Gus Sholah menyatakan kerisauannya terhadap kondisi Nahdlatul Ulama, organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan Kiai Haji Hasyim Asy'ari, kakeknya, pada 1927. Dia mengatakan politik uang, campur tangan partai, dan cara-cara yang tak terpuji kental mewarnai Muktamar NU yang berlangsung 1-6 Agustus lalu. Gus Sholah geram dan menyatakan banyak orang NU mengalami kemerosotan akhlak. "Jangan-jangan ada yang salah dalam pendidikan di pesantren," ujarnya.
Gus Sholah menyatakan ihwal ini setelah pada Kamis diniharinya Muktamar NU memilih KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama secara aklamasi—sesudah pesaing utamanya yang sebenarnya memenuhi syarat sebagai calon ketua umum, As'ad Said Ali, menyatakan mundur. Muktamar juga memilih KH Ma'ruf Amin menjadi Rais Am PBNU. Forum formatur yang terdiri atas sembilan kiai yang bernama ahlul halli wal aqdi atau AHWA (yang berhak melepas dan mengikat) semula memilih ulama dan budayawan KH Ahmad Mustofa Bisri sebagai Rais Am PBNU.
Namun Gus Mus—panggilan akrab Mustofa Bisri—menolak pengangkatan itu. Dia mengatakan ingin mengayomi dua kubu yang bertarung sangat keras dalam muktamar: kubu Gus Sholah-Hasyim Muzadi berhadapan dengan Said Aqil Siroj dan kiai pengusung sistem AHWA. Sistem formatur itu ditentang keras oleh Gus Sholah-Hasyim Muzadi. Dua orang ini akhirnya memutuskan memboikot muktamar. Keduanya meminta pendukung mereka tidak hadir dalam sidang pleno.
Di hadapan pendukungnya yang berkumpul di Pondok Pesantren Tebuireng, sebelum pemilihan Rais Am dan Ketua Umum PBNU digelar di Alun-alun Jombang, yang berjarak sekitar 5 kilometer, Hasyim menuding pesaingnya melakukan politik uang dengan dukungan partai. "Ada yang masuk angin dan ada yang sengaja ingin masuk angin," ujarnya.
Dalam pertemuan sebelumnya, di tempat yang sama, Hasyim mempertanyakan kekalahan kubunya dalam sidang komisi organisasi Syuriah NU yang berlangsung di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Selasa malam pekan lalu. Pemungutan suara ini menjadi penjajakan kekuatan dua kubu. Pendukung sistem AHWA mendapat 252 suara, penentang memperoleh 235 suara, dan 9 suara abstain. Hasyim mengklaim, sebelum pemungutan suara, dukungan untuknya telah bulat minimal 401 suara.
Seorang Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang NU Wilayah Sumatera mengatakan politik uang telah bekerja menjelang peserta berangkat dari daerah masing-masing. Ia mengaku ditawari uang dan fasilitas agar mau mendukung Said Aqil Siroj. Selain itu, ia diminta menandatangani blangko berisi pernyataan mendukung sistem AHWA. Tawarannya semula duit Rp 10 juta, tapi karena dia menolak, naik jadi Rp 15 juta. Namun pengurus NU ini berkukuh menampik suap itu. Ia menyatakan tawaran itu diberikan oleh sejumlah orang. "Seorang di antaranya saya tahu persis adalah Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa," katanya.
Rupanya, si penyuap tak gampang menyerah. Sesampai di Jombang, pengurus NU itu kembali ditawari uang agar mengalihkan dukungannya dari Gus Sholah ke Said Aqil Siroj. Sehari setelah Presiden Joko Widodo membuka muktamar, pengurus NU tersebut didekati di penginapannya di kawasan Tambakberas, Jombang. "Karena saya tetap menolak, dia berusaha mendekati pengurus lain," ujarnya.
Andi Jamaro dari tim pemenangan Hasyim Muzadi mengatakan laporan tentang politik uang banyak masuk ke kubunya. Modusnya, sebelum berangkat, pengurus daerah NU diiming-imingi uang dan fasilitas. Menurut dia, ada yang tergiur oleh iming-iming itu, ada juga yang tidak. "Tapi politik uang itu kayak kentut, ada baunya tapi susah dibuktikan," kata Andi. Hasyim Muzadi menyatakan menolak hasil muktamar Jombang. Ia menggalang pengurus wilayah dalam Forum Lintas PWNU untuk menggugat ke pengadilan tata usaha negara. "Muktamar cacat hukum," ujarnya.
Said Aqil Siroj membantah tudingan tersebut. Menurut dia, isu politik uang sengaja dilempar ke arena muktamar untuk merusak citra para kiai NU. Ia juga menyebutkan kiai NU datang ke muktamar sebagai bentuk pengabdian kepada NU. Apalagi, kata dia, NU sangat keras menolak korupsi. "Kalau pemilihan pemimpin NU dikotori permainan uang, NU juga yang akan rusak," ujarnya. Said juga menampik kabar tentang adanya intervensi partai dalam muktamar.
Selain permainan uang, dugaan intervensi Partai Kebangkitan Bangsa dalam Muktamar NU di Jombang menjadi sorotan tajam. Gus Sholah menuding, hampir 80 persen—yang jumlahnya mencapai ratusan orang—panitia muktamar berlatar belakang PKB. Mereka, menurut Gus Sholah, mengendalikan muktamar sedemikian kuatnya.
Dari penelusuran daftar kepanitiaan, sejumlah pengurus teras PKB Jawa Timur dan Jombang memang masuk kepanitiaan muktamar. Gus Sholah menuding PBNU membiarkan muktamar diacak-acak partai politik. Sepanjang sejarah pelaksanaan Muktamar NU, Gus Sholah menilai muktamar kali ini yang paling kacau. Ia menganggap NU mulai kehilangan roh jihad dengan masuknya pragmatisme. "Ini Muktamar NU atau PKB," kata Gus Sholah.
Seorang pengurus wilayah NU dari kawasan timur Indonesia mengatakan tahu persis sejumlah pengurus PKB di daerahnya disusupkan ke arena muktamar. Ada yang memegang kartu peserta, sementara sebagian lagi masuk ke arena muktamar sebagai peninjau. Bahkan ada sejumlah kabupaten yang belum memiliki kepengurusan NU di tingkat cabang bisa mengirimkan delegasi ke muktamar. Setelah ditelisik, ternyata mereka yang menjadi delegasi ini adalah anggota dewan pengurus cabang PKB tingkat kabupaten. "Mengapa mereka lolos verifikasi sebagai peserta? Siapa yang menghadirkan mereka ke Jombang?" ujarnya.
Ketua PWNU Kepulauan Riau Tarmudzi Tohor mengatakan, dalam sejumlah sidang komisi hingga sidang pleno, pengurus PKB menyusup sebagai peserta ataupun peninjau. Bahkan ada peninjau yang berlatar belakang PKB ingin memaksakan pendapatnya. "Dalam sidang apa pun, kok, selalu ada orang partai? Pasti ada sesuatu," ujar Tarmudzi.
Mantan Sekretaris Jenderal PKB yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, menganggap tudingan bahwa PKB campur tangan dalam muktamar sebagai hal yang tak bernalar. Menurut dia, PKB tidak mungkin mencampuri NU karena partai berlambang bola dunia itu lahir dari NU. "PKB menjaga orang tua yang melahirkannya, PKB tidak mau jadi anak durhaka," katanya. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding mengungkapkan ihwal yang sama dalam berbagai kesempatan. "Intervensi gimana? PKB itu anak kandung NU," ujarnya.
Tentang "menjaga" NU, Imam Nahrawi mengatakan PKB dekat dengan Said Aqil Siroj, sama dekatnya dengan Gus Sholah dan As'ad Said Ali. Yang membuat PKB nyaman dengan Said Aqil, menurut Imam, Said Aqil tidak pernah meninggalkan PKB sebagai motor politik NU. Ia juga mengatakan Said Aqil pula yang mendorong warga NU mencoblos PKB dalam pemilu legislatif 2014. Said Aqil juga kerap datang ke acara yang diselenggarakan PKB. "Kalau Gus Sholah declare hal yang sama seperti Said Aqil, ceritanya akan lain," ujar Imam.
Ia juga menyebutkan Muktamar NU di Jombang membutuhkan dana sekitar Rp 9 miliar. Sebagian pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jawa Timur. Anggaran muktamar itu, kata Imam, adalah buah dari kerja keras anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur asal PKB. Imam pun mengingatkan, muktamar di Lirboyo, Kediri, pada 1999 menyatakan PKB merupakan anak kandung NU. "Pernyataan itu tidak pernah dicabut," ujarnya.
Sejumlah pengurus NU di Jawa Timur yang ditemui Tempo mengatakan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf juga berkepentingan mendukung Said Aqil Siroj. Menurut mereka, Saifullah dijanjikan akan didukung penuh PBNU untuk menjadi Gubernur Jawa Timur pada 2017. Sokongan juga datang dari PKB untuk merekomendasi Saifullah menggantikan Soekarwo, yang harus pensiun karena telah menjabat selama dua periode. "Itulah yang menjelaskan peran Saifullah sungguh besar dalam muktamar," ujar seorang pengurus NU di Jawa Timur. Dalam muktamar di Jombang, Saifullah adalah ketua panitia.
Namun Saifullah menampik tudingan itu. Sebagai ketua panitia muktamar, dia menyerang balik Gus Sholah yang melakukan tindakan yang tidak patut, yakni membawa banyak peserta muktamar menginap di Pondok Tebuireng. Padahal sebagian peserta itu mendapat jatah penginapan di Pondok Pesantren Denanyar, Pondok Pesantren Tambakberas, dan Pondok Pesantren Rejoso, Peterongan.
Pondok Tebuireng, bersama tiga pondok tersebut, menjadi tuan rumah bersama Muktamar NU. Selain sebagai tempat menginap peserta, pondok digunakan untuk menyelenggarakan sidang-sidang komisi. Sedangkan sidang pleno berlangsung di Alun-alun Jombang. "Mereka diangkut ke Tebuireng, sampai-sampai Denanyar sepi," katanya.
Saifullah juga membantah kabar bahwa dia dijanjikan mendapat dukungan dari PBNU dan PKB dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur mendatang. Di Jawa Timur, PKB menjadi partai pemenang dengan merebut 20 dari 100 kursi DPRD. Artinya, PKB bisa mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi. "Pilkada Jawa Timur masih jauh, enggaklah."
Sunudyantoro, Ishomuddin, Hari Tri Wasono (Jombang), Yandhrie Arvian (Jakarta), Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo