Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABRAHAM Samad bertamu ke kantor Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo dengan misi khusus. Bersama Zulkarnain, wakilnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu hendak menyampaikan kabar penting: lembaganya mulai menyidik perkara korupsi pengadaan simulator kemudi di Korps Lalu Lintas. Waktu menunjukkan pukul 14.00 pada Senin pekan lalu.
Abraham mengatakan ingin Timur mendapat informasi pertama langsung darinya. "Ini semacam kulonuwun, sebagai sesama lembaga penegak hukum," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Pengadaan simulator kemudi mobil dan sepeda motor untuk ujian surat izin mengemudi senilai Rp 196,87 miliar dilakukan dengan anggaran 2011.
Korupsi simulator bukan perkara biasa: KPK telah menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka. Gubernur Akademi Kepolisian itu dianggap menyalahgunakan wewenang hingga merugikan keuangan negara ketika menjadi Kepala Korps Lalu Lintas. Ia perwira tinggi aktif kepolisian pertama yang menyandang status tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi. Surat perintah penyidikan yang diteken 27 Juli dipertunjukkan Abraham kepada Jenderal Timur.
Timur, yang ditemani Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman, tak banyak berkomentar. Menurut Sutarman, Timur hanya minta satu-dua hari untuk mendiskusikan kasus itu secara internal. "Saya juga minta waktu bertemu pimpinan KPK untuk presentasi, esok harinya," ujarnya. Abraham setuju.
Dua tamu pamit dari Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo setelah satu setengah jam pertemuan. Mereka balik ke kantor.
Di jalan lain, 30 petugas KPK dengan tujuh mobil meluncur menuju markas Korps Lalu Lintas di Jalan M.T. Haryono Kaveling 37-38, Jakarta Selatan. Tak satu pun petugas mengenakan rompi bertulisan KPK. Setiba di tujuan, mereka tak segera turun. Mobil bahkan diparkir di luar kompleks. Seorang pemimpin operasi menghubungi Abraham, yang telah tiba di kantornya. "Dia minta persetujuan agar bisa memulai penggeledahan," tutur Abraham.
Abraham berembuk dengan pemimpin KPK yang lain. Setelah rapat singkat, lima petinggi komisi antikorupsi itu—Abraham, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu, dan Zulkarnain—memberi lampu hijau. "Langsung saya telepon balik dan bilang silakan maju," kata Abraham.
Anggota satuan tugas KPK itu bergegas masuk ke perkantoran Korps Lalu Lintas. Sebagian besar pegawai sudah meninggalkan kantor. Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Pudji Hartanto, menurut sumber Tempo, menerima tamunya dengan baik. Begitu juga Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo. Semua petugas lalu mengenakan rompi bertulisan KPK, yang selalu dipakai pada saat penggeledahan.
Merasa perlu memberi tahu, menurut Abraham, Bambang Widjojanto menghubungi Sutarman. Beberapa kali dikontak, sang Jenderal tidak kunjung menyahut. Baru kemudian, setelah dikirimi pesan pendek bahwa penggeledahan sedang dilakukan, Sutarman, mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, menelepon balik dan mengatakan akan datang ke kantor KPK.
Pada pukul 17.30, Sutarman, ditemani Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Nur Ali, tiba di ruang rapat pemimpin KPK. Sutarman mempertanyakan penggeledahan itu. Dia juga memohon kasus korupsi simulator tidak diusut KPK. "Biar kami saja menanganinya," kata dia, ditirukan seorang saksi mata.
Menurut sumber yang sama, Abraham memberi jawaban mengambang: keputusan soal itu mesti dibahas dengan satuan tugas penyidik. Setelah Sutarman pulang, lima pemimpin KPK kembali menggelar rapat selama 20 menit. Saat itu juga diputuskan permohonan Sutarman ditolak. Kepada Tempo, Sutarman membenarkan permohonan itu.
Di kantor Korps Lalu Lintas, petugas KPK terus menelusuri berbagai dokumen. Ruang Bagian Perencanaan dan Administrasi menjadi target pertama. Sejumlah dokumen pengadaan barang dan beberapa perangkat komputer disita. Penggeledahan dilakukan hingga malam datang.
Abraham baru tiba di tempat tinggalnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, menjelang tengah malam. Pada waktu hampir sama, Bambang Widjojanto pulang ke rumahnya di Depok, Jawa Barat, dan Busyro ke Pondok Gede, Jakarta Timur. Tiba-tiba, pesan masuk ke mereka: Direktur Penindakan KPK Warih Sadono melaporkan kabar genting. "Anak-anak di lapangan mendapat tekanan," kata Abraham menirukan Warih.
Abraham langsung balik lagi ke kantor. Setengah jam kemudian, tiba Busyro dan Bambang Widjojanto. Rapat segera digelar. Mereka memutuskan berangkat ke kantor Korps Lalu Lintas. Johan Budi S.P., juru bicara lembaga itu, yang juga baru tiba di rumahnya, diminta segera bergabung.
Sumber Tempo mengatakan hambatan datang pada pukul 22.00, ketika Komisaris Jenderal Sutarman datang bersama sejumlah perwira. Di antaranya Kepala Polda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Anas Yusuf, Kepala Polda Riau Brigjen Suaedi Husein, serta Komisaris Besar Ahmad Wiyagus dan Komisaris Besar Erwanto Kurniadi. Petinggi Korps Lalu Lintas yang semula ramah berubah jadi garang. Petugas KPK diminta menghentikan penggeledahan, yang sebenarnya hampir selesai. Sebanyak 29 boks dokumen telah dikumpulkan di satu ruangan.
Sutarman meminta petugas KPK meninggalkan tempat, tapi tidak dipenuhi. Para perwira polisi sesekali menggertak petugas, yang sebagian besar juga berasal dari kepolisian. Mereka juga menganggap penggeledahan itu ilegal karena tanpa izin Kepala Polri. Portal pintu kompleks segera dikunci. Gembok besar dipasang dari dalam.
Sutarman membenarkan keberatannya. Menurut dia, petugas KPK berbohong pada saat masuk. "Ada yang bilang penggeledahan seizin Kapolri," katanya. "Padahal tidak pernah ada." Ahmad Wiyagus mengakui ikut mempersoalkan penggeledahan. Namun dia membantah bertindak kasar.
Abraham, Bambang, dan Busyro tiba tepat tengah malam. Saat itu, negosiasi petugas KPK dengan perwira Polri menemui jalan buntu. Sebagian besar petugas yang kelelahan menghentikan penggeledahan dan duduk di salah satu ruangan. Melihat pemimpinnya datang, para petugas itu kembali bersemangat. Waktu sahur telah tiba, mereka makan bersama. Nasi dan ayam McDonald’s, juga teh kotak, jadi menu dinihari itu.
Negosiasi mentok karena polisi melarang petugas KPK mengangkut barang bukti. Muncul gagasan jalan tengah, bukti disimpan di kantor itu, lalu digembok, sementara Markas Besar Polri dan KPK masing-masing membawa satu kunci. Tapi gagasan ini ditolak petugas. Perundingan harus dilempar ke puncak: Abraham memutuskan kembali menemui Kepala Polri.
Selasa siang, Abraham dan Bambang ditemani Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK Handoyo Sudrajat kembali menemui Jenderal Timur Pradopo. Anas, Suaedi, dan perwira lain hadir lagi dalam pertemuan ini. Mereka berdebat tentang kewenangan menyidik dan menggeledah perkara ini. Abraham mengambil inisiatif, mengajak Timur berbicara empat mata. Setelah itu, Timur memutuskan, satu kontainer berisi dokumen hasil penggeledahan boleh diangkut ke kantor KPK.
Menjelang malam, kontainer tiba di gedung KPK. Kotak itu dijaga petugas dari KPK dan Badan Reserse Kriminal.
Malam panjang di markas Korps Lalu Lintas itu memantik perseteruan. Rabu malam pekan lalu, setelah rapat di Direktorat Tindak Pidana Korupsi, juru bicara Markas Besar Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, mengumumkan empat tersangka perkara yang sama. Mereka adalah Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Kepala Pengadaan Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan, Bendahara Proyek Komisaris Legimo, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang, dan Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, Budi Susanto. Jumat malam pekan lalu, Didik, Teddy, dan Legimo ditahan penyidik kepolisian.
Abraham menilai, polisi kebablasan. Sebab, KPK sudah lebih dulu menyidik kasus ini. Didik, Sukotjo, dan Budi juga telah ditetapkan sebagai tersangka, bersamaan dengan Djoko Susilo. Bambang Widjojanto mengatakan KPK menyelidiki kasus ini sejak 20 Januari 2012. Bagian Pengaduan Masyarakat awalnya menyelidikinya secara tertutup, dan dilanjutkan Direktorat Penyelidikan. Lalu, pada 27 Juli, KPK meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan.
Usaha kepolisian mengambil alih perkara ini bahkan dilakukan dari awal. Sukotjo, yang kini menghuni penjara Kebon Waru, Bandung, menyatakan telah enam kali sejak Januari lalu diperiksa KPK–satu di antaranya resmi dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi. Kepada petugas KPK, ia menceritakan kembali aneka kejanggalan proyek simulator, termasuk suap ke sejumlah pejabat. Perkara ini pertama kali ditulis majalah Tempo empat bulan lalu (lihat "Cerita Tempo April Lalu").
Sumber Tempo menuturkan, petugas KPK juga telah mendatangi sejumlah kantor kepolisian di Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka mengecek penggunaan simulator untuk ujian memperoleh surat izin mengemudi. Ternyata sebagian besar alat simulator mobil dan sepeda motor tidak berfungsi.
Setelah didatangi KPK, Sukotjo mengatakan tiga kali didatangi petugas dari Badan Reserse Kriminal. Yang pertama sepekan setelah terbit tulisan di Tempo. Jauh sebelumnya, petugas dari Inspektorat Pengawasan Umum juga datang. Penyelidikan "urusan dalam" ini berakhir pada 19 Desember 2011. Hasilnya: tidak ada pelanggaran pidana korupsi pada proyek simulator.
Sutarman mengatakan Direktorat Tindak Pidana Korupsi memulai penyelidikan setelah Tempo menulis "Simsalabim Simulator SIM". Dia berkukuh instansinya lebih dulu memulai penyelidikan dibanding KPK. Sutarman berdalih, hasil investigasi Inspektorat Pengawasan Umum berbeda dengan Badan Reserse Kriminal. "Fokus mereka hanya soal suap," katanya. "Kami soal pengadaan." Sumber Tempo di KPK menduga banyak jenderal polisi terlibat dalam perkara ini. "Itu sebabnya mereka ngotot mengambil alih kasus," ujarnya.
Inspektur Jenderal Djoko Susilo ketika ditemui Selasa pekan lalu menolak berkomentar tentang penetapan dirinya sebagai tersangka. Namun Gubernur Akademi Kepolisian ini masih berharap kasus yang membelitnya digarap kepolisian. "Kasus ini sudah ditangani Bareskrim," katanya kepada Rofiuddin dari Tempo. "Silakan tanya ke sana."
Abraham Samad memastikan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak akan mundur dari perkara ini. Sutarman menyebutkan tekad yang sama. Tapi keduanya sama-sama mengatakan akan terus berkoordinasi agar kasus "Cicak versus Buaya" tak terulang.
Setri Yasra, Rusman Paraqbueq, Anggrita Cahyaningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo