Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu seperti kilat yang mengirim Darmawan pulang ke Limbang Jaya. Tak peduli gelapnya malam dan jauhnya jarak Jambi-Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dia nekat ngebut dengan sepeda motor demi segera bertemu dengan anaknya.
Begitu tiba, Darmawan menghambur masuk rumah. Diiringi tangis istrinya, Yuhana, dan ketiga anaknya, lelaki 45 tahun itu bersimpuh di depan jasad Angga Prima, 12 tahun.
Wajahnya mengeras kala membuka kain kafan penutup jasad. Tak ada kata-kata, tak juga air mata. Sabtu pagi dua pekan lalu itu, kepedihan dan kemarahan menguar dari rumah Darmawan di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir.
Angga anak ketiga Darmawan. Anak baru gede itu tewas ditembak ketika ratusan anggota Brigade Mobil Kepolisian RI melakukan sweeping di desa mereka, sekitar 40 kilometer sebelah barat Palembang, 27 Juli lalu. Desa itu hanya lima kilometer dari area perkebunan tebu dan pabrik gula milik PT Perkebunan Nusantara VII unit Cinta Manis.
Hari itu, selepas salat asar, Angga pamit kepada ibunya akan pergi ke warung Internet dekat Masjid Darussalam bersama tiga kawannya, bermain PlayStation. Ketika itu, ratusan polisi berseragam hitam-hitam lengkap dengan senjata dan rompi antipeluru bergerak menyapu penjuru desa hingga gang sempit. Tiba-tiba saja… dor, dor, dor! Angga tumbang. Peluru menembus belakang kepala sebelah kanan hingga ke matanya.
Sejumlah saksi mata yang ditemui Tempo menuturkan suasana mencekam saat itu. Letusan senjata disambut jerit dan tangis, juga suara minta ampun dari sekujur desa. Warga berlarian keluar.
Saat keriuhan terjadi, Mat Amin sedang bersiap wudu di rumahnya, sekitar seratus meter dari Masjid Darussalam. Kepala Desa Limbang Jaya itu memilih keluar dari rumah ketika melihat aparat berseragam sudah penuh di jalanan. Ia sempat bertanya kepada anggota Brimob yang bergerak dengan senjata di tangan, tapi dihardik. "Sudah! Jangan banyak tanya!"
Tiba-tiba terdengar beduk masjid dipukul bertalu-talu. "Itu penanda kami jika keamanan desa terancam," kata Mat Amin. Warga kompak keluar dari rumah, membawa batu, kayu, balok, dan bata, dan melemparkannya ke arah polisi.
Letusan senjata semakin gencar. "Banyak warga bersimpati karena saudara korban juga hendak ditembak ketika berusaha menolong adiknya yang berlumuran darah," kata Sayuti, saksi mata.
Para saksi mata memperkirakan tembakÂan awal bersumber dari senjata yang ditenteng empat anggota Brimob. Mereka turun dari truk yang diparkir di depan masjid. Ada 16 iring-iringan kendaraan polisi. Enam di antaranya diparkir di jalan utama perkampungan, sisanya di pertigaan masuk desa.
Iring-iringan kendaraan polisi berisi sekitar 300 personel Brimob terasa janggal. Namun polisi beralasan mereka baru saja pulang patroli dan olah tempat kejadian perkara di tetangga Desa Limbang Jaya. Olah perkara itu terkait dengan pencurian 127 ton pupuk milik PTPN Cinta Manis oleh penduduk pada 17 Juli lalu.
Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Ajun Komisaris Besar Djarod Padakova, ketika akan melintasi Desa Limbang Jaya itulah ada yang memprovokasi sehingga terjadi kericuhan. "Kami malah diserang dengan batu dan parang," kata Djarod. "Apa boleh buat, kami harus membubarkan warga dengan mengeluarkan tembakan peringatan."
Kepala Bagian Penerangan Umum Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan polisi sudah berusaha membubarkan warga dengan berbagai cara persuasif, dari gas air mata, tembakan kosong, hingga tembakan peringatan. Tembakan ke arah warga terpaksa dilakukan karena warga menyerang dengan senjata tajam dan batu. Agus menolak menyebutkan pemakaian peluru tajam.
Sebelum magrib, kericuhan bisa dihentikan setelah aparat desa dan polisi beremÂbuk. Namun korban telah jatuh. Selain Angga bin Darmawan yang tewas tertembak, ada empat warga lain yang tertembak, yaitu Farida, 35 tahun, Rusman (37), Sudirman (47), dan Jesica (15).
INSIDEN berdarah di Ogan Ilir itu sebetulnya merupakan rentetan kemelut antara warga dan PTPN Cinta Manis dalam dua bulan terakhir. Ini dipicu oleh konflik menahun antara warga dan pengelola kebun tebu di wilayah itu.
Menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim, sejak pembangunan Cinta Manis, pada 1982, sengketa belum selesai hingga sekarang. Saat itu, para petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan perkebunan tebu. "Kebun karet dan kebun nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi layak," kata Ifdhal. "Ini diwarnai pula oleh tekanan, intimidasi, dan sikap represif aparat keamanan."
Menurut Ifdhal, seperti konflik agraria lain, proses peralihan tanah rakyat menjadi milik PTPN di era Soeharto relatif sama. Banyak warga tak puas atas kompensasi yang diterima. Dan sekarang, sengketa agraria ini menjadi persoalan pelik. Aparat keamanan terlibat di dalamnya.
Pada 4 Desember 2009, misalnya, kata Ifdhal, terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berakhir dengan peristiwa penembakan terhadap warga Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir, oleh anggota Brimob. Kekerasan itu terus meningkat. Ribuan warga dari 20 desa di sekitar kebun, yang merasa tanahnya disita, memblokaÂde jalan. Mereka juga membawa gugatan hingga ke Jakarta.
Konflik memuncak ketika terjadi perusakan dan pembakaran beberapa bangunan di kompleks pabrik PTPN Cinta Manis, 17 Juli lalu. Selain perumahan karyawan, gudang pupuk dibakar. Kisruh ini cukup mengganggu produksi dan pasokan gula Sumatera, karena Cinta Manis memegang 40 persen di antaranya.
Sejak itu, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad, aparat mulai berjaga di sejumlah desa yang ditinggali para petani penggugat. Mereka tinggal di empat desa, yaitu Betung, Sri Kembang, Sri Tanjung, dan Sri Bandung.
Keempat desa itu menjadi sasaran penggeledahan aparat, sebelum terjadi insiden di Limbang Jaya. "Polisi menahan 12 dari 20 orang yang ada di sana," kata Idham. Tiga di antaranya dibebaskan setelah diintimidasi dan diminta meneken surat tak terlibat urusan lahan.
Wakil Ketua Komnas HAM Nur Kholis menilai perlakuan polisi di Cinta Manis sudah terlalu jauh. Tim investigasi Komnas HAM menemukan sejumlah indikasi kejanggalan. Misalnya pengerahan pasukan Brimob secara berlebihan untuk mencari pelaku pencurian pupuk. "Penyelidikan bisa dilakukan dengan reserse," kata Kholis.
Polisi juga bergerak sendiri dalam jumlah besar tanpa didampingi aparatur pemerintah setempat. Mereka masuk lokasi pedesaan dengan 16 kendaraan bersenjata dan 300 anggota Brimob gabungan. "Semestinya ada unsur pemerintah, seperti bupati, sekda, atau asisten," kata Kholis.
Sejumlah temuan lain juga merujuk pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Soal siapa yang bertanggung jawab, Nur Kholis tak bisa menyebutkan pasti karena masih mengumpulkan keterangan. Fakta itu, antara lain, ditemukannya proyektil dan pemakaian peluru tajam pada tubuh korban. "Salah satu korban, yaitu Rusman, terpaksa diamputasi tangan kirinya karena tulangnya remuk," kata Kholis. Komnas juga menemukan indikasi pembiaran. Aparat dituding menghalangi warga yang akan menolong korban.
Markas Besar Kepolisian berjanji menindak tegas aparatnya yang bersalah. Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo membentuk tim investigasi, yang diketuai Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Tim yang terdiri atas Badan Reserse Kriminal, Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, serta Markas Komando Brimob ini sedang memeriksa 120 orang, termasuk enam perwira.
Polisi mengakui penemuan selongsong peluru. Meski begitu, soal benar-tidaknya pemakaian peluru tajam, menurut juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anang Iskandar, masih diuji di laboratorium. "Selongsong peluru tajam dan peluru kosong sama, jadi kami perlu uji laboratorium," katanya.
DI trotoar jalan di depan Istana Presiden, Senin pekan lalu, Darmawan dan Yuhana, istrinya, duduk terpekur. Wajahnya terlihat letih ketika ikut berdemonstrasi bersama sejumlah aktivis.
Kedua orang tua Angga itu datang ke Jakarta untuk ikut memprotes kasus kekerasan terhadap anaknya. "Saya ke Jakarta hanya ingin menuntut keadilan bagi Angga," kata Darmawan. "Saya tak tahu ke mana lagi."
Pandai besi itu mengaku masih syok terhadap cara tewas anaknya. Ia menyayangkan tindakan represif Brimob dalam menangani konflik. "Apalagi kami tidak ada urusannya dengan sengketa lahan," ujarnya.
Widiarsi Agustina, Parliza Hendrawan, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo