Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Weibinanto Halimdjati. Dia pengamat ekonomi keuangan andal. Pikirannya bernas dan tajam.Koran, televisi, dan radio berebut mengutip ucapannya. Gara-gara analisisnya yang terlalu tajam, dia pernah berurusan dengan gugatan sebuah perusahaan besar Indonesia. Dan perseteruan itu ia menangi karena apa yang dia katakan benar adanya.
Jika penasaran siapa dia, inilah nama aslinya: Lin Che Wei.
Che Wei tentu saja keturunan Cina. Seperti jamaknya jutaan keturunan Cina di sini, ia memiliki nama Indonesia, nama alias, nama yang dijejal-jejalkan di kolom isian huruf-huruf KTP atau paspor agar berbau pribumi. Tapi Che Wei mungkin satu dari sedikit kekecualian. Dia tak pernah mau memakai nama Indonesia-nya. "Buat apa? Itu bukan nama saya. Nama Indonesia bikin repot," kata Che Wei, yang di seluruh dokumen resminya tercantum nama Indonesia.
Tak mau repot memang bukan alasan sesungguhnya. Bagi Che Wei, nama adalah sebuah identitas. Untuk sebuah identitas, ia rela bertarung. "Lin Che Wei artinya orang yang teguh hati," ujarnya pada suatu ketika. Keteguhan inilah yang membawa dia melacak asal-usul keturunannya. Dia merasa, menjadi Cina di Indonesia adalah menjadi orang yang kehilangan identitas, kehilangan akar. Maka, ia melacak jejak leluhurnya hingga ke Penang, Malaysia, dan Hokian, Cina. Pelacakan yang tak sia-sia, karena garis keturunannya nun jauh di generasi di atasnya tersebar di sana.
Lalu, inilah kisah lain, tentang seorang bernama Liem Han Liang. Dia lahir di sebuah desa di Kertosono, Jawa Timur. Kelahirannya di masa ketika republik ini masih dipenuhi amarah anti-PKI, tahun 1966. Sehari setelah Han Liang lahir, bapaknya menyuruh pembantu mereka mengurus akta kelahiran ke kantor catatan sipil. Di kantor yang selalu sepi ini, si pembantu ditanya siapa nama si jabang bayi. "Suyanto," kata si pembantu mengikuti perintah tuannya. "Hanya Suyanto?" tanya petugas sambil membuka-buka lembar isian dengan malas.
Sang pembantu tak ingin urusan jadi panjang. Dia berpikir lebih baik menenteramkan bapak petugas dengan memberi nama tambahan. Otaknya berpikir cepat. Lalu dia menjawab pendek, "Bagong."
"Apa? Bagong?!" kata si petugas setengah menjerit. "Kenapa Bagong?"
"Anu, karena mata si bayi terlalu sipit, beri dia nama Bagong Suyanto agar kelak matanya membesar seperti Bagong di wayang." Lalu terjadilah. Hanya dalam satu coretan, Liem Han Liang menjelma menjadi Bagong Suyanto. Tentu saja keluarga besar Liem heboh. Tapi "takdir" telah disuratkan, dalam arti harfiah, di secarik kertas yang akan menentukan hidupnya kelak.
Bagong memang bukan Che Wei. Sementara Che Wei berkeras memakai nama aslinya, Bagong memilih menerima takdirnya dengan santai. "Justru itu nama yang unik. Tiap aku menulis di koran, di jurnal ilmiah, atau ada yang mengundang sebagai pembicara seminar, orang yang belum kenal pasti tak hanya tertarik pada makalahku, tapi juga namaku," kata dosen di Universitas Airlangga, Jawa Timur, ini sembari tersenyum.
Che Wei, Han Liang, dan jutaan orang Cina lainnya di negeri ini memang harus menerima takdir yang absurd itu bahkan sejak berabad-abad lalu. Di zaman Belanda, penguasa memaksa orang-orang Cina, bersama orang Arab dan India, masuk dalam kotak rasial dengan sebutan "kelompok Timur Asing". Dengan cara ini, Belanda bisa memeras kaum Cina sekaligus melumpuhkan posisi tawar politik mereka.
Zaman berganti, di masa Sukarno, kaum keturunan Cina sempat menikmati posisi tawar di panggung politik. Setidaknya tiga orangMr. Oei Tjoe Tat, H. Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, Ir. David Chengdiangkat menjadi menteri di zaman Kabinet 100 Menteri. Inilah masa ketika Sukarno menempatkan keturunan Cina sejajar dengan suku-suku lain dengan menyebut mereka "suku peranakan Tionghoa", persis seperti kita sekarang menyebut "suku Minang", "suku Batak", "suku Ambon".
Tapi sejarah yang indah sering berputar terlalu cepat. Setelah pemberontakan PKI tahun 1965 dan jatuhnya Sukarno, rezim Soeharto dengan sistematis membakar jembatan hubungan Cina-pribumi. Kaum peranakan Cina ia paksa menyingkir menjadi kaum paria. Satu-satunya tempat bagi kaum Cina adalah berkebun di lahan ekonomi. Ia ciptakan feodalisme dagang dengan melindungi sedikit dari mereka sebagai kroni, seraya mengeluarkan berbagai peraturan yang memasung kaum Cina. Mereka bahkan dilarang berbicara dalam bahasanya sendiri, juga tak boleh memakai nama aslinya. Inilah masa-masa pembantaian kebudayaancultural genocideyang mendapatkan momentumnya karena peristiwa G30S/PKI.
Pemberontakan PKI itu adalah titik balik yang sangat menyakitkan bagi kaum keturunan Cina. Jauh sebelum 1965, tak banyak persoalan bagi mereka. Budi Lim, salah satu arsitek Indonesia terbaik saat ini, berkisah betapa indahnya masa-masa itu. Tahun 1956, dia yang masih bocah dua tahun tinggal bersama keluarganya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, yang sekarang bernama Jalan Otista.
Bila Imlek tiba, ayah Budi akan memanggil temannya, seorang saudagar kain dari Minang. Ketika mobil penuh tumpukan kain tiba, ayah Budi memanggil ibu-ibu di kampung mereka. "Ayo, ambil sesukanya, buat bahan baju," kata Budi mengenang ucapan ayahnya. Sebaliknya, saat Lebaran tiba, tetangga akan datang membawa ketupat, gulai, opor. "Saya selalu menunggu-nunggu bunga pala hijau yang dibuat manisan," ia mengenang.
Lalu, datanglah prahara 1965. Sejak itu, kawan-kawan sekampungnya yang sering bersama mengejar layangan di sawah menjauh. Jika bertemu, mereka berteriak, "Cina lu..!" Sepertinya menjadi Cina adalah kesalahan, aib. Sejak itu pula, ayahnya membangun tembok yang mengepung rumah mereka. Tembok yang makin lama makin tinggi, mempertegas bahwa keluarga Budi adalah Cina, dan Cina tak boleh menyeberang ke wilayah pribumi.
Tembok itu bahkan bisa berujud lembaran kertas yang bernama surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia, SBKRI. Semua keturunan Cina harus memiliki surat sakti berbentuk paspor ini. Dan memperolehnya jelas tidak mudah, bahkan sering menyakitkan. "Waktu saya mengurus SBKRI, di kedutaan petugas meminta saya menyanyikan lagu Indonesia Raya," kisah Teddy, konsultan IT yang sudah 15 tahun terakhir tinggal di Singapura.
Ujian ini dapat ia lewati, tapi petugas rupanya belum puas. Mulailah dia mencari-cari persoalan. "Coba, siapa pengarangnya," kata si petugas. Dengan mudah Teddy menjawab, W.R. Supratman. Masih belum puas, kali ini petugas bertanya hal yang bahkan pribumi pun belum tentu bisa menjawab, "Nah, di mana W.R. Supratman meninggal?" Teddy akhirnya mendapat paspor SBKRI dengan rasa sakit yang masih membekas hingga kini.
Tembok SBKRI telah dicabut tahun 1996. Lalu, setelah rezim Soeharto runtuh, tembok-tembok penyekat lain, larangan berbahasa dan menggunakan huruf Mandarin di tempat umum, larangan menggelar barongsai dan merayakan Imlek secara terbuka, semua hilang. Tapi, mana mungkin meruntuhkan tembok yang bahkan wujudnya pun sebetulnya tak pernah jelas?
Ketidakjelasan itu bahkan masih membekas enam tahun setelah Soeharto jatuh. Jajak pendapat TEMPO yang digelar awal bulan ini menunjukkan 72 persen dari 500 responden keturunan Cina merasa masih menjadi sapi perahan saat berurusan dengan birokrasi. "Tulis besar-besar, Pak, tak ada gunanya reformasi kalau begini," kata Adong Wijaya, warga Taman Lopang Indah, Kelurahan Unyur, Kabupaten Serang, yang gagal mendapatkan SBKRI untuk anaknya.
Adong sebetulnya tak perlu meminta masalah ini ditulis dengan huruf besar. Tanpa huruf kapital pun, jelas terasa bahwa masih ada masalah serius mengenai persoalan Cina. SBKRI hanya satu contoh, hanya sebuah puncak gunung es, sementara di bawahnya begitu banyak persoalan mendasar yang belum selesai.
Lihat, misalnya, apa yang ditemukan Frans H. Winarta, pengacara kondang dan anggota Komisi Hukum Nasional. Sampai sekarang setidaknya masih ada 60 undang-undang dan peraturan yang bau diskriminasi rasialnya terhadap keturunan Cina sangat kental. Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-Undang Kewarganegaraan dan Ketetapan MPRS No. 32/1966 mengenai larangan penerbitan koran Tionghoa dan penggunaan aksara Tionghoa untuk toko-toko (lihat kolom Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa Sejak Reformasi).
Dasar gunung es itu bisa terentang sangat luas, dari sekat-sekat yang diberikan oleh negara, kesenjangan ekonomi, hingga prasangka sosial yang pekat antar-tetangga. Pada gilirannya, semua sekat itu makin memperkental stereotipe keturunan Cina sebagai kelompok binatang ekonomi yang hanya memikirkan keuntungan dan selalu apolitis.
Tentang ini, Che Wei memberi contoh. Dalam beberapa kali kesempatan, dia bertanya pada para pengusaha keturunan Cina tentang siapa presiden pilihan mereka dalam pemilu nanti. Kesan yang dia dapat, mereka tak terlalu peduli apakah yang bakal terpilih Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono. "Bagi mereka, siapa pun presidennya, yang penting bisa membuat bisnis lancar," kata Che Wei.
Itulah sebuah pilihan sikap apolitis. Pilihan yang menurut Che Wei lahir dari pengkondisian dan trauma bertahun-tahun bahwa keturunan Cina harus dijauhkan dari dunia politik, militer, dan pemerintahan. Trauma yang lahir dari tergerusnya Baperki (lihat, Saatnya Keluar dari Kepompong), pemberontakan PKI 1965, lalu kerusuhan Mei 1998. Trauma ini pula mungkin yang menjelaskan mengapa warga keturunan itu, meski dalam polling TEMPO mengaku terlibat aktif dalam pemilu, sebagian besar menolak berdirinya sebuah partai khusus untuk etnis Cina.
Untunglah selalu ada orang seperti Lieus Sungkharisma, Ester Jusuf, Budi Lim, Eko Prawotosekadar menyebut beberapayang berani keluar dari kepompong trauma. Beruntung juga masih ada orang seperti Lim Goan Lay, atau lebih dikenal dengan Halim H.D., seniman nyentrik dari Surakarta yang percaya bahwa mencairkan sekat tak cukup hanya dengan melepas barongsai ke jalanan atau merayakan Imlek secara besar-besaran. "Itu hanya Mandarinisasi, tak menyentuh esensi masalah sebenarnya," kata Halim.
Halim merindukan, suatu ketika kelak orang-orang keturunan Cina tak cuma pintar berdagang, tapi juga piawai di ranah budaya dan sosial. Atau, dalam bahasa Che Wei, harus ada peranan yang lebih seimbang dari masyarakat pribumi dan minoritas etnis Cina di bidang ekonomi, politik, militer, dan birokrasi. Hanya dengan keseimbangan, sekat-sekat itu akan runtuh dengan sendirinya.
Halim benar, asimilasi bukan mandarinisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo