Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 2.400 kilogram natrium klorida sudah disebarkan di sepanjang lintas-an awan kumulus sekitar lima kilometer di atas Kalimantan. Usaha Tim Teknologi Modifikasi Cuaca Palangka Raya, Kalimantan Tengah, memancing hujan dalam dua pekan terakhir berbuah hasil. Selama 30 menit, pada Jumat, 20 September lalu, hujan deras mengguyur Kota Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah serta Martapura di Kalimantan Selatan.
Sehari sebelumnya, menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, hujan dengan intensitas deras berlangsung di sebagian wilayah Riau. Sudah 4.000 kilogram garam yang dipakai untuk memancing hujan buatan di kawasan itu. Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Agus Wibowo, mengatakan upaya memancing hujan buatan terus diintensifkan. “Agar kebakaran hutan dapat padam dan langit segera bersih kembali,” ujar Agus.
Kebakaran yang melalap kawasan hutan, gambut, serta lahan di Sumatera dan Kalimantan telah memicu kabut asap tebal yang merangsek hingga ke negeri jiran. Sejak Januari lalu, luas wilayah yang terbakar sudah lebih dari 328 ribu hektare. Ada hampir 16 ribu titik panas (hotspot) yang terdeteksi—sekitar 8.800 di antaranya di Kalimantan.
Pemerintah menurunkan lebih dari 29 ribu personel untuk memadamkan kebakaran ini. Namun dampaknya kadung meluas. Jerubu memenuhi angkasa. Kualitas udara memburuk. Lebih dari 2.600 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut karena menghirup asap terus-menerus. Banyak warga yang terpaksa meng-ungsi ke kota lain. Kebakaran ini adalah yang terburuk setelah api menghanguskan 2,6 juta hektare hutan dan lahan pada 2015.
Guru besar bidang perlindungan hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, mengatakan kondisi sempat te-nang setelah 2015. Kasus kebakaran menurun pada 2016-2018, tapi malah melejit lagi tahun ini. “Kejadian 2015 seharusnya bisa menjadi pelajaran penting agar tak terulang lagi,” ujar ahli kebakaran hutan itu pada Rabu, 18 September lalu.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan timnya terus mendalami penyebab kebakaran yang meluas. Dia menduga ada yang membiarkan api membesar atau tidak mampu menangani kebakaran di lahannya. Timnya sudah menyegel 51 -lahan perusahaan pemilik konsesi dan satu -lahan perseorangan. “Ini jadi persoalan ka--rena selama tiga tahun terakhir cukup bagus, kini kebakaran lagi dan langsung besar,” tutur Rasio.
Musim kemarau yang panjang berdampak besar pada kekeringan dan meningkatnya risiko kebakaran hutan dan lahan. Fenomena iklim El Nino atau memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik tahun ini turut memicu kekeringan dan penurunan curah hujan di kawasan Asia, terutama Indonesia. “Cuaca mempengaruhi, tapi ada perusahaan nakal membakar lahan,” kata Rasio saat ditemui di kantornya pada Rabu, 18 September lalu.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah memprediksi musim kemarau tahun ini berlangsung lebih panjang. Puncaknya jatuh pada Agustus lalu. Namun dampak kekeringan ekstrem masih terasa di beberapa wilayah Indonesia hingga akhir November. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan dura-si musim kemarau tahun ini merupakan yang terpanjang kedua, setelah 2015.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan telah mengantisipasi peringatan kemarau panjang BMKG dan kemungkinan terjadinya kebakaran. Wilayah yang pengawasannya paling tinggi adalah Sumatera dan Kalimantan. Sejak Februari lalu, helikopter patroli dan pemadam kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disiagakan di Riau. Toh, kebakaran tetap meluas. “Setelah Juni, kekeringan sangat tinggi, sulit mencari air,” katanya.
Hujan buatan menjadi salah satu langkah untuk mengatasi kekeringan. Dalam teknologi modifikasi cuaca ini, natrium klorida disebarkan dari pesawat terbang untuk merangsang tumbuhnya awan hujan. Sekitar 163 ton garam telah disebarkan untuk memancing hujan buatan. Hujan buatan ini juga bisa membantu mengurai asap kebakaran di udara.
BMKG sempat kesulitan menciptakan hujan buatan karena awan tak -mencukupi. Diperlukan awan minimal 80 persen agar hujan buatan berhasil. Sedangkan sejak Ju--li lalu langit Indonesia bersih dari awan. “Bi--bit-bibit awan yang akan disemai garam itu hampir tidak ada,” kata Dwikorita.
Kabut asap pekat dari kebakaran rupanya mengganggu proses pembentukan awan. Gumpalan asap yang melayang dan tertahan di angkasa menghalangi sinar matahari tembus ke bumi. Akibatnya, proses penguapan air yang menjadi cikal-bakal awan ikut terhambat.
BMKG bekerja sama dengan BNPB serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menggunakan kapur tohor aktif atau kalsium oksida untuk mengurangi asap dari kebakaran. BPPT menyiapkan sekitar 40 ton kapur tohor aktif di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, untuk disebarkan di Sumatera dan Kalimantan.
Kapur tohor aktif yang bersifat eksotermis alias dapat mengeluarkan panas itu ditaburkan dari pesawat di gumpalan asap untuk mengurai partikel dan gas. “Konsentrasi asap berkurang, awan terbentuk, dan garam bisa ditebar untuk hujan buatan,” tutur Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT Tri Handoko Seto.
Hujan buatan membantu memadamkan api di permukaan tanah. Namun kebakaran yang melalap lahan gambut lebih berbahaya. Luas lahan gambut yang terbakar saat ini mencapai hampir 90 ribu hektare—40 ribu hektare di antaranya di Riau. Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan timnya telah mengerahkan 42 helikopter pemadam. Personel pemadam kebakaran swasta, tentara, polisi, serta Manggala Agni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga turun tangan. “Tak menjamin gambut yang terbakar bisa padam,” kata Doni dalam konferensi pers di Graha BNPB pada Sabtu, 14 September lalu.
Menurut Bambang Hero Saharjo, para petani dan perusahaan pemilik konsesi kerap membuat kanal atau saluran untuk mengeringkan lahan gambut supaya bisa ditanami. Hal serupa pernah dilakukan dalam proyek satu juta hektare lahan gambut untuk sawah di Kalimantan. Padahal lahan gambut harus dijaga tetap lembap dengan mengelola tinggi muka air menggunakan sekat kanal. “Lahan gambut kering mudah terbakar dan apinya bertahan lebih lama,” ujarnya.
Dosen Teknik Lingkungan Institut Tek-nologi Bandung, Asep Sofyan, mengatakan membakar lahan merupakan cara lawas yang masih digunakan sebagian masyarakat petani untuk menetralkan tingkat keasaman gambut. Ongkos membuka lahan pun lebih murah ketimbang menyewa alat berat. Mereka juga memakai kearifan lokal dengan membangun sekat bakar untuk mencegah api menjalar. “Tidak dibakar dalam waktu bersamaan, dan membatasi jumlah lahan yang dibakar,” kata peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB itu.
Bambang mengatakan lahan gambut memerlukan sistem pengelolaan air yang serius. Tinggi muka air diatur minimal 40 sentimeter dari permukaan agar lahan gambut tetap lembap. Pemerintah pun sudah lama menyarankan pembangunan sekat kanal untuk mencegah air terus mengalir, yang akhirnya membuat lahan gambut kering. Namun perlu waktu bertahun-tahun untuk membangun kanal dan sistem pengaturan airnya.
Mengandung biomassa dengan konsentrasi tinggi, lahan gambut yang basah atau lembap masih berpotensi terbakar, tapi lebih mudah dikendalikan karena hanya di permukaan dan tidak memakan lapisan dalam yang jenuh air. Adapun kebakaran besar saat ini terjadi di dalam lapisan gambut yang kering. Api terus membakar bagian dalam gambut hingga kedalaman beberapa meter dan sulit dipadamkan. “Obatnya cuma satu, lahan gambut harus dibanjiri air. Tapi ini susah kalau kondisi lingkungannya kering,” kata Bambang.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, DEVY ERNIS, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo