Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berkoalisi Menggergaji Komisi

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lekas-lekas merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Presiden Jokowi disebut sudah lama menyetujuinya.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menkumham Yasonna Laoly (kanan) menyerahkan pandangan akhir pemerintah tentang Revisi UU KPK kepada Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Senayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBAWA draf revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi penuh coretan tinta merah, Ledia Hanifa Amaliah keluar dari pintu belakang ruangan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin malam, 16 September lalu. “Mau berkonsultasi dengan pimpinan fraksi,” ujar Ledia, anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengabarkan bahwa rapat kerja bersama pemerintah akan dimulai setelah sidang diskors hampir satu jam.

Ledia beranjak ke ruangan pimpinan Komisi I, yang membidangi pertahanan dan hubungan luar negeri. Di sana, ia menemui Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini dan Sekretaris Fraksi Sukamta, yang sedang melakukan rapat. Ledia menjelaskan kepada dua bosnya itu bahwa revisi Undang-Undang KPK akan segera disetujui di Badan Legislasi dan esoknya akan disepakati menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR. Saat dimintai konfirmasi, Jazuli membenarkan telah didatangi Ledia.

PKS menyoroti kewenangan Dewan Peng-awas KPK dan cara memilih anggotanya. Dalam draf revisi undang-undang yang akhirnya disetujui, anggota dewan peng-awas itu dipilih dan ditunjuk presiden. Tugasnya melebihi pimpinan KPK, yakni memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan kepada penyelidik dan penyidik komisi antikorupsi. “Kami khawatir KPK akan dijadikan alat politik oleh penguasa, terutama terhadap lawannya,” ujar Ledia.

Soal dewan pengawas ini juga yang membuat rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang KPK alot sejak DPR menyetujui revisi tersebut menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR pada rapat paripurna, Kamis, 5 September lalu. DPR awalnya mengusulkan anggota dewan peng-awas dipilih DPR setelah diajukan presiden. Tapi Presiden Joko Widodo tidak setuju dan menyatakan anggota dewan peng-awas dipilih dan diangkat presiden.

Seseorang yang dekat dengan Istana mengatakan Presiden Jokowi sebetulnya sudah memberikan restu merevisi Undang-Undang KPK sebelum DPR mengusulkannya untuk dibahas. Awal September lalu, Presiden memanggil sejumlah orang untuk berdiskusi mengenai revisi Undang-Undang KPK. Menurut Jokowi kepada tetamu, dewan pengawas diperlukan karena penasihat KPK yang ada saat ini tak efektif. “Presiden mencontohkan Kompolnas yang mengawasi kepolisian dan Komisi Kejaksaan untuk kejaksaan,” ujar pejabat itu.

Desmond Junaidi Mahesa. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Ihwal penanganan kasus, menurut nara-sumber itu, Jokowi ingin KPK -memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan alias SP3. Jokowi mencontohkan kasus dugaan korupsi peng-adaan tiga quay container crane di PT Pelindo II yang membelit bekas direktur utamanya, Richard Joost Lino, sejak 2015. “Presiden menganggap kasus ini terkatung-katung dan menyatakan akan me-ngawal pembahasan RUU KPK di DPR,” ujar narasumber yang sama.

Narasumber lain mengatakan Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang KPK setelah mendapat masukan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mencontohkan nasib R.J. Lino yang terkatung-katung. Juru bicara Wakil Presiden, Husain Abdullah, membenarkan kabar bahwa Kalla telah berdiskusi dengan Jokowi ihwal revisi Undang-Undang KPK. “Bukan hanya pada awal September,” katanya pada Jumat, 20 September lalu. “Soal SP3 termasuk yang dibicarakan.”

Kalla sebelumnya juga menyinggung kasus Lino dan terang-terangan mengatakan setuju Undang-Undang KPK diamendemen, terutama aturan mengenai SP3. “Lima tahun status R.J. Lino digantung, mau lepas tidak ada (mekanismenya). Itulah gunanya SP3,” ujarnya, Selasa, 10 September lalu. Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Adita Irawati, tak mengetahui pertemuan tersebut. “Saya enggak punya info karena enggak tahu jadwal beliau hari per hari. Apalagi ini sudah lewat.”

Sinyal dari Jokowi membuat politikus di Senayan bergerak ligat, terutama mereka yang berasal dari partai pendukung pemerintah. Apalagi setelah Jokowi mengirimkan surat presiden kepada DPR yang me-nyetujui pembahasan revisi undang-undang tersebut. Partai-partai khawatir Presiden akan balik badan lagi seperti pada 2015 dan 2017. “Rencana revisi ini timbul-tenggelam. Kali ini tidak mungkin tidak jadi karena semua bergerak sigap,” ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno.

Agar Presiden tak mengubah keputusan, DPR pun setuju bahwa anggota dewan peng-awas dipilih dan diangkat presiden. Tapi DPR menyisipkan frasa dalam Pasal 69-A: “untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat presiden”. Artinya, menurut sejumlah anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang KPK, selanjutnya dewan pengawas bisa dipilih DPR, meski pengangkatannya tetap oleh presiden.

PDIP aktif melobi partai lain untuk mengegolkan revisi. Menurut Hendrawan, yang ditugasi “membangun kesamaan visi” itu di antaranya Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan Wakil Ketua Komisi Hukum Herman Herry. Hendrawan menuturkan, partainya juga mentransfer dua anggota Komisi Hukum ke Badan Legislasi untuk mengawal pembahasan. Mereka adalah Risa Mariska dan Masinton Pasaribu, yang merupakan dua di antara enam peng-usul revisi Undang-Undang KPK. “Saya salah satu yang mengusulkan,” ujar Masinton. Utut Adianto menyatakan revisi adalah kesepakatan semua fraksi.

Empat politikus partai pendukung pemerintah mengatakan salah satu lobi terjadi di ruang Fraksi PDIP pada Senin, 16 September lalu, atau sehari sebelum rancangan revisi disahkan. Isi persamuhan itu membahas agar revisi segera dirampungkan tingkat panitia kerja supaya bisa segera dibawa ke rapat paripurna. Politikus yang hadir antara lain Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa. Ketika dimintai konfirmasi, Suharso menolak berkomentar.

Di kubu lain, Gerindra melobi agar dewan pengawas tak diangkat berdasarkan kemauan presiden. Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa menuturkan, partainya mengutus Ketua Badan Legislasi yang juga politikus Gerindra, Supratman Andi Agtas, untuk melobi partai lain. Desmond mengajukan komposisi agar dua anggota dewan pengawas dipilih DPR, dua ditentukan presiden, dan seorang lagi dijabat Ketua KPK.

Gerindra rupanya juga dilobi Golkar. Anggota Panitia Kerja, Firman Soebagyo, bertemu dengan Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. “Dari jam delapan pagi,” ujar politikus Golkar ini. Adapun Sufmi Dasco menampik info bahwa dia dilobi Firman.

Desmond menyebutkan partai pemerintah gencar melakukan lobi lantaran khawatir keberadaan dewan pengawas ditolak sehingga dijadikan alasan oleh Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK. Sikap Gerindra dan PKS satu pandangan dengan Demokrat.

Meski menolak kewenangan dewan pengawas yang terlampau luas, ketiga partai itu akhirnya sepakat juga merevisi Undang-Undang KPK. Enam politikus partai pendukung pemerintah menuturkan, alasan lain yang membuat semua partai di DPR setuju mengubah aturan KPK adalah penambahan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dari 5 menjadi 10 kursi, se-suai dengan jumlah fraksi di MPR.

Setelah semua satu pandangan, revisi pun diketuk. Pada saat pengambilan keputusan di Badan Legislasi untuk dibawa ke rapat paripurna, semua anggota DPR yang berada di dalam ruangan bertepuk tangan. Begitu pula dalam rapat paripurna ke-esokan harinya. Sidang berjalan mulus. PKS dan Gerindra hanya memberikan catatan minor soal dewan pengawas.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, LINDA TRIANITA, BUDIARTI UTAMI PUTRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus