Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN terakhir ini Sudirman Ritonga rindu melihat sinar matahari pagi. Dari beranda rumah panggungnya—sebenarnya lebih menyerupai teratak—kabut asap tebal menyergap saban fajar menyingsing. Baru sebentar berdiri di sana, warga transmigran asal Medan itu selalu merasa matanya buram sekaligus perih.
Rumah Sudirman di Desa Sri Mersing, Kabupaten Siak, Riau, itu berhadap-hadapan langsung dengan lahan gambut yang terbakar. Yang memisahkan gubuknya dengan kobaran api hanya parit dan tanah lendut sejauh 30 meter. Menurut pria 39 tahun itu, api dan asap makin menjadi apabila angin berembus kencang di tengah hari. “Bukan hanya jerubu, bunga api bisa loncat dan membakar rumah kami,” ujar Sudirman pada Rabu, 18 September lalu.
Kebakaran gambut di seberang rumah Sudirman diduga berasal dari area milik PT Teguhkarsa Wanalestari di Desa Buantan Besar, yang masih bertetangga dengan Desa Sri Mersing, di Kecamatan Bunga Raya. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedikitnya 8 hektare lahan yang dikuasai -perusahaan itu dilalap api sejak 19 Agustus lalu.
Mulanya, Sudirman bertahan di rumah itu bersama ibu, istri, dan kelima anaknya ketika titik api masih berada di tengah lahan. Begitu api merambat sampai ke lahan di dekat tempat tinggalnya pada akhir Agustus lalu, ia berubah pikiran. Anak bungsunya, yang masih berumur dua tahun, mulai menunjukkan gejala sakit. Si upik gampang menangis dan batuk terse-ngal-sengal. Sudirman akhirnya membo-yong keluarganya mengungsi ke sebuah rumah di kawasan yang mereka sebut Dam Tiga.
Dam Tiga berjarak satu kilometer saja dari rumah Sudirman. Disebut demikian karena di dekat rumah itu ada bendungan irigasi yang mengairi kebun sawit dan persawahan milik masyarakat. Kondisi pe-ngungsian itu tak lebih steril ketimbang rumah milik Sudirman—sama-sama dibangun dari kayu dan tak punya penutup ventilasi. Hanya, tempat itu tiga kali luasnya dibanding gubuk Sudirman. Rumah itu dianggap “layak” menjadi tempat berlindung dari asap karena, kata Sudirman, “Angin tak pernah membawa jerubu ke sana.”
Sudirman mengantar keluarganya ke pengungsian itu dengan berjalan kaki setiap pagi. Tapi ia tak ikut mengungsi. Ia pulang ke rumah untuk berjaga-jaga dan kembali ke pengungsian di dekat lubuk itu untuk mengantarkan rantang makan siang. Bukan tanpa sebab Sudirman memilih tetap bertahan di rumah. Ia mendapat cerita dari kawannya yang mengosongkan rumah saat kabut asap melingkupi Riau pada 2017. Ketika sang teman kembali dari pengungsian, rumahnya ternyata ikut dilalap api. Sudirman tak mau itu menimpanya.
Tinggal di rumah yang dikepung asap, Sudirman mendekam di sudut dapur. Papan kayu yang menjadi dinding rumah rada melindunginya dari asap. Namun tetap saja udara beracun itu masuk ke paru-parunya. “Tenggorokan saya cepat kering dan terasa gatal,” kata Sudirman. Sesekali ia limbung karena terlalu lama menghi-rup asap.
Nestapa juga dialami Ucu Sukarto, 35 tahun. Rumahnya di Desa Tuah Indrapura hanya berjarak 30 menit berkendara dari tempat tinggal Sudirman. Putrinya yang berusia tujuh tahun divonis menderita asma empat tahun lalu, pada kebakaran 2015.
Waktu itu, asap yang mengepul lebih tebal dan warnanya kuning. Ucu menunjuk sebuah tiang yang berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. Empat tahun lalu, tiang itu tak tampak sama sekali dari teras rumahnya. Di tengah kepungan asap, anak Ucu bermain di luar rumah. Ucu membiarkannya karena si anak akan menangis histeris jika dilarang. “Saluran pernapasan dia akhirnya terinfeksi dan dokter memvonis terkena asma,” ujar Ucu.
Sedikitnya sebulan sekali anak Ucu menjalani terapi uap di pusat kesehatan masyarakat dengan biaya Rp 50 ribu sekali berobat. Kini, penyakit itu tak benar-benar lenyap dari tubuh anak Ucu. Sedikit saja menghirup asap, si anak langsung batuk. Jika itu terjadi, Ucu harus membawa anaknya untuk menjalani terapi.
Berkaca pada pengalaman empat tahun lalu, Ucu lebih ketat memberi anaknya izin bermain di tengah kabut asap. Ia meminjamkan telepon selulernya untuk dimainkan si kecil di dalam rumah. Ucu tahu menatap layar telepon dalam waktu lama juga membahayakan mata anaknya. “Daripada dia main di tengah kepulan asap,” kata Ucu.
Warga Palangka Raya, Kalimantan Tengah, juga harus hidup di tengah jerubu. Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus membuat fasilitas khusus bagi korban kabut asap yang diberi nama “Rumah Oksigen”. Diresmikan pada 14 Agustus 2019, ruangan itu berisi 13 ranjang yang disekat menjadi tiga bagian—salah satunya ruang khusus bayi.
TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Pasien yang datang ke Rumah Oksigen mula-mula akan diperiksa tekanan darah dan berat badannya. Setelah para pasien diminta berbaring di ranjang, perawat akan memasangkan slang oksigen ke lubang hidung mereka. “Pasien hanya boleh menikmati oksigen murni selama 15 menit karena lebih dari itu akan membahayakan,” ujar Ady, salah seorang petugas. Rumah sakit menggratiskan biaya pela-yanan di Rumah Oksigen.
Hernila, 33 tahun, menjadi salah satu pelanggan Rumah Oksigen. Sejak kebakaran hutan dan lahan mulai mengepung Palangka Raya, ia sudah belasan kali berkunjung ke fasilitas tersebut. Pegawai perkebunan kelapa sawit itu mengatakan pelayanan oksigen murni yang disediakan rumah sakit sangat bermanfaat bagi anaknya yang menderita asma.
Menurut Hernila, kabut asap yang membekap Palangka Raya membuat penyakit anaknya gampang kambuh. Sejumlah dokter tempat Hernila berkonsultasi menyebutkan asap membawa partikel berbahaya yang memicu asma kumat. “Pernapasan anak saya lumayan stabil ketika dirawat di Rumah Oksigen,” Hernila berujar.
Ia sudah berancang-ancang mengungsikan anaknya yang berumur sepuluh tahun itu ke Medan karena mendengar kabar bahwa musim hujan baru akan tiba pada pertengahan Oktober. Ia iba bila anaknya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani terapi.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Riau, Adrianison, mengatakan kabut asap saat ini belum separah 2015. Tapi kualitas udara sudah sampai pada level berbahaya, dengan Indeks Standar Pencemaran Udara di atas 300. Ini berarti potensi penyakit jantung dan paru yang menghinggapi warga meningkat. Untuk mereka yang berpenyakit jantung, potensi kematian naik berlipat. “Penduduk tak dianjurkan beraktivitas lama di luar ruangan,” ujarnya.
Menurut Adrianison, yang berpraktik di tiga rumah sakit, bulan ini terjadi peningkatan jumlah pasien dibanding sebelum Pekanbaru ditudungi jerubu. Menurut Dinas Kesehatan Riau, pada September ini saja jumlah mereka yang memeriksakan diri karena mengalami infeksi saluran pernapasan dan asma hampir mencapai 25 ribu orang. "Pemicunya asap,” kata Adrianison.
RAYMUNDUS RIKANG (RIAU), KARANA W.W. (PALANGKARAYA), STEFANUS PRAMONO (JAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo