Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melacak Api dengan Titik Panas

Titik panas hasil pengindraan jauh satelit masih menjadi andalan dalam mendeteksi lokasi kebakaran hutan dan lahan. Pesawat nirawak dapat membantu.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas BMKG memantau sebaran asap akibat karhutla yang menyelimuti Aceh, di Stasiun Meteorologi Malikussaleh, Aceh. ANTARA/Rahmad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto masih mengandalkan pesawat nirawak alias drone untuk melacak lokasi pasti kebakaran hutan dan lahan. Deteksi dini lokasi kebakaran akan mempercepat penanggulangan dengan mengerahkan tim darat dan peralatan pemadam kebakaran ke tempat yang paling dekat dengan sumber api. “Menggunakan drone akan mempermudah proses mitigasi lokasi kebakaran hutan,” kata Hadi setelah meninjau kebakaran hutan di Kerumutan, Pela-lawan, Riau, Ahad, 15 September lalu.

Dalam kesempatan lain, Hadi mengungkapkan, kendala dalam penanggu-langan kebakaran hutan dan lahan ini adalah informasi titik panas terbaru sebagai acuan dalam melacak kebakaran. Informasi titik panas diperoleh dari pengolahan data citra satelit Terra, Aqua, dan Suomi-National Polar-Orbiting Operational Environmental (SNPP), yang masing-masing dua kali dalam sehari semalam melintas di wilayah Indonesia. “Laporan titik panas terkini itu enam jam. Saat laporan, apinya masih kecil, tapi ketika terpantau satelit sudah besar,” ujarnya kepada Antara di Blitar, Jawa Timur, Rabu, 18 September lalu.

Kepala Pusat Pemanfaatan Pengindraan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rokhis Khomarudin mengatakan lembaganya telah memantau kebakaran hutan dan lahan sejak 1997. Awalnya, pemantauan itu dilakukan lewat citra dari satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) milik Amerika Serikat. Kini, Lapan menggunakan hasil pencitraan dari instrumen ilmiah yang bernama Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis), yang ada pada satelit Terra dan Aqua.

Rokhis menjelaskan, Modis dapat meng-ukur dan menganalisis suhu permukaan daratan. Dari data Modis itu, ada spek-trum gelombang elektronik, yang dalam istilah pengindraan jauh disebut kanal 4 mikrometer, yang digunakan untuk mendeteksi potensi kebakaran. “Jika suhu kanal 4 lebih besar daripada 360 derajat Kelvin pada siang hari dan 330 derajat Kelvin pada malam hari, itu dinyatakan titik panas,” kata Rokhis saat ditemui di Bandung, Selasa, 17 September lalu.

Data dari Modis, kata Rokhis, akan dikirimkan dari satelit Terra, Aqua, dan SNPP ke stasiun bumi Parepare-Pekayon dan Rumpin-Pekayon. Pada siang hari, satelit Terra melintasi wilayah Indonesia pada pukul 07.00-12.00, sementara satelit Aqua dan SNPP pada pukul 10.00-15.00. Adapun pada malam hari, satelit Terra melintasi Nusantara pada pukul 19.00-00.00, sedangkan satelit Aqua dan SNPP pada pukul 22.00-03.00. “Jadi ada waktu pengiriman dari satelit ke stasiun bumi selama 30 menit,” ujar Rokhis.

Dari stasiun bumi, data satelit dikirimkan melalui virtual private network ke Pusat Pengolahan dan Pengelolaan Data, Bank Data Pengindraan Jauh Nasional, Lapan, untuk diolah hingga menjadi informasi titik panas. Informasi titik panas yang dihasilkan kemudian dipublikasikan di laman http://modiscatalog.lapan.go.id. Informasi titik panas itu juga diakses Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan via ftp server.

Rokhis menegaskan, titik panas hanyalah indikator, bukan titik terjadinya kebakaran di lapangan. Ia mencontohkan, jika Lapan merilis ada 100 titik panas, jumlah titik api di lapangan belum tentu sama karena kadang satelit mengidentifikasi beberapa titik panas tapi sebenarnya hanya satu kejadian kebakaran. “Pengalaman saya ketika mengamati kejadian kebakaran kilang minyak di Cilacap, satu kejadian tapi titik panasnya dari citra satelit ada 12,” ucapnya.

Titik panas juga memiliki tiga selang atau tingkat kepercayaan. Selang 0-30 persen berarti potensi kebakarannya rendah, yang ditandai titik hijau. Adapun 50-80 persen berpotensi sedang, ditandai titik kuning. “Kalau 80-100 persen, potensi kebakarannya tinggi,” ujar Rokhis. Selain itu, menurut buku Panduan Teknis Informasi Hotspot Kebakaran Hutan/Lahan yang diterbitkan Lapan, ada ciri-ciri titik panas yang benar-benar menunjukkan terjadinya kebakaran. Ciri-ciri itu adalah titik panas bergerombol, titik panas disertai asap, dan titik panas muncul berulang.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan pihaknya mengambil titik panas dengan tingkat kepercayaan di atas 79 persen karena kemungkinan besar terdapat api. Menurut dia, jika terdeteksi ada satu atau tiga titik panas, surat peringatan akan diki-rimkan ke pemilik lahan. ”Mereka diminta melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran,” ujar Rasio, Rabu, 18 September lalu. Pihaknya langsung menurunkan tim bila terdeteksi lima titik panas bergerombol.

Kepala Subbagian Evaluasi, Pelaporan, Data, dan Informasi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Eko Novi Setiawan mengatakan, untuk menentukan apakah lahan yang terbakar milik perusahaan atau masyarakat, pihaknya memakai forensik titik panas. “Titik panas itu di-overlay dengan peta dasar kami, kemudian didetailkan dengan tools kami yang punya pantauan hari per hari,” tuturnya.

Eko menjelaskan, pihaknya dapat melacak jejak kebakaran yang terjadi sebelumnya bila satelitnya memang melintas dua kali dalam sehari. “Tapi riwayat hotspot bisa dilihat mundur satu-dua hari hingga lima tahun yang lalu,” ujarnya. Eko menganalogikan jejak titik panas itu dengan jejak digital di dunia maya. “Misalnya, tahun ini ada lahan perusahaan yang tidak ada apinya, tapi terlihat jejak detailnya empat bulan lalu pernah kebakaran.”

Memastikan titik panas adalah titik api di lapangan juga bukan perkara mudah. Rasio berpengalaman melacak kebakaran berdasarkan koordinat titik panas di wilayah konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang berada di area terpencil. Ia mengatakan ada perusahaan sawit yang memiliki lahan 10 ribu hektare yang baru dibuka setengahnya, sementara sisanya alang-alang dan hutan. “Ada juga yang harus menyeberangi sungai pakai speedboat dua jam,” ujarnya.

Teknologi pengindraan jarak jauh yang digunakan Lapan, kata Rokhis, belum bisa memantau kebakaran hutan dan lahan secara langsung seperti kamera pengawas (CCTV) karena posisi satelit selalu bergerak. Ada satelit yang diam atau geostasio-ner, yaitu Himawari milik Jepang. Namun kemampuannya menayangkan gambar atau video secara langsung hanya selama 10 menit dengan resolusi citra tergolong rendah. “Jadi hanya bisa melihat kondisi dan pergerakan awan,” ujar Rokhis.

Rokhis mengatakan ada alat yang memungkinkan untuk memantau langsung dari angkasa, yakni balon atmosfer, tapi teknologinya saat ini belum ajek. Alternatif lain adalah menggunakan pesawat nirawak alias drone. Menurut data scientist dari Kemitraan atau The Partnership for Governance Reform, Irendra Radjawali, drone memiliki kelebihan dan kekurangan. Data yang dihasilkan drone, kata dia, lebih tepat ketimbang satelit karena drone bisa terbang lebih rendah. “Drone juga lebih dinamis karena dapat diterbangkan kapan saja sehingga datanya lebih kaya,” ujarnya.

Irendra mengatakan kelemahan drone adalah daya jangkaunya terbatas. Drone harus terbang sehingga sangat bergantung pada baterai. Menurut dia, drone tidak bisa sendirian, seperti halnya satelit. “Ini seperti zoom in dan zoom out. Gambaran besarnya didapat dengan satelit, sedangkan untuk zoom in lokasi tertentu, itu jatah drone,” ujar doktor lulusan Leibniz Center for Tropical Marine Ecology, Jerman, ini.

Data yang dirilis Badan Nasional Penang-gulangan Bencana pada Jumat, 20 September lalu, pukul 16.00, menyebutkan total titik panas di Indonesia, yang dikutip dari laman modis-catalog.lapan.go.id, berjumlah 3.443. Titik panas menyebar di sejumlah provinsi, yakni Riau sebanyak 303, Sumatera Selatan 710, Jambi 897, Kalimantan Barat 430, Kalimantan Tengah 499, dan Kalimantan Selatan 34.

DODY HIDAYAT, DEVY ERNIS, GABRIEL WAHYU TITIYOGA, STEFANUS TEGUJ EDI PRAMONO,ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus