Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUN jauh di Afrika bagian barat, di sebuah negeri bernama Nigeria, hampir 15 tahun lalu, ada seorang diktator yang jalan hidupnya mirip Soeharto, sang penguasa Orde Baru di Indonesia. Namanya Abacha; lengkapnya Jenderal Sani Abacha.
Selama lima tahun jenderal ini memerintah Nigeria dengan tangan besi seraya mengeruk habis pundi-pundi negara. Pada Juni 1998, tanpa diduga, dia tewas dihajar serangan jantung. Sejak itu, nasib keluarganya babak-belur. Pengganti Abacha, Jenderal Abdulsalam Abubakar, mengambil keputusan penting: korupsi harus dihentikan.
Perburuan harta Abacha pun dimulai. Langkah pertama sang presiden baru adalah mengumumkan penyidikan atas harta sang diktator. Keberuntungan menghampiri ketika polisi menggeledah barang bawaan istri Abacha, Maryam, yang berusaha kabur ke luar negeri. Sang mantan ibu negara dipergoki membawa 38 koper penuh fulus bermata uang asing. Putra Abacha, Mohammed, juga tertangkap tangan berusaha melarikan uang tunai senilai US$ 100 juta.
Hanya dalam beberapa bulan, Kejaksaan Agung Nigeria telah berhasil menyita harta dan uang tunai milik Abacha senilai US$ 750 juta alias Rp 6,75 triliun. Angka itu belum seberapa. Enrico Manfrini, seorang pengacara yang bekerja untuk pemerintah Nigeria, menduga Abacha melarikan sedikitnya US$ 3,5 miliar (setara dengan Rp 31,5 triliun) ke luar negeri selama lima tahun memerintah.
Abacha naik ke tampuk kekuasaan setelah secara sepihak membatalkan pemilihan umum 1993. Dia menikmati kekuasaan tanpa batas, tanpa kontrol setitik pun baik dari parlemen, kelompok warga sipil, maupun media massa. Saking berkuasanya, konon, dia sering memerintahkan bank sentral Nigeria untuk mengirim uang yang baru dicetak langsung ke rumahnya.
Pada Oktober 1999, setelah berhasil mengosongkan brankas Abacha di halaman sendiri, pemerintah Nigeria mengalihkan perhatian ke luar negeri. Jenderal Olesagun Obasanjo, presiden baru yang terpilih lewat pemilihan umum demokratis, meminta negara-negara tetangganya membekukan rekening bank yang diduga terkait dengan uang haram Abacha.
Amerika Serikat, Swiss, Inggris, dan Luxemburg segera merespons permintaan itu. Semula tidak mudah. Pasalnya, meski sebagian besar rekening Abacha tercatat atas nama tiga putranya: Mohammed, Ibrahim, dan Abba Sani Abacha, mereka biasanya menggunakan jasa pengacara atau pengusaha setempat untuk membuka rekening bersama. Dengan cara begitu, hubungan antara pemilik rekening dan kasus korupsi di negara asalnya jadi tak mudah dideteksi.
Dana triliunan rupiah Abacha tersimpan di bank-bank bonafide, mulai Deutsche Bank di Jerman, Credit Suisse di Swiss, HSBC dan Barclays di Inggris, Goldman Sachs, Merrill Lynch, Citibank di Amerika Serikat, sampai BNP Paribas, bank Prancis yang menahan duit Tommy Soeharto pada Oktober 2002. Mereka bersedia mengembalikan duit Abacha dengan satu syarat: pemerintah Nigeria bisa membuktikan kaitan antara penyidikan korupsi Abacha dan uang di rekening yang dibekukan itu.
Pembuktian ini yang jadi soal pelik. Penyidikan di dalam negeri harus dilakukan bersamaan dengan usaha pelacakan rekening di luar negeri. Untuk itu, kerja sama antara aparat hukum Nigeria dan negara tetangganya mutlak diperlukan. Titik balik menuju kemenangan pemerintah Nigeria terjadi ketika pascaserangan teroris 11 September 2001 di New York, bank-bank Amerika dan Eropa ditekan politisi untuk memperketat prosedur pembukaan rekening.
Langkah ini dilakukan untuk menghindari pencucian uang yang terkait terorisme. ”Bank harus menghindari hubungan yang tidak jelas dan informasi kabur soal nasabahnya dalam situasi apa pun,” kata Hans-Peter Bauer, Direktur Manajemen Risiko di UBS, bank terbesar di Swiss. Tekanan ini dan perhatian publik yang besar atas skandal Abacha membuat bank lebih terbuka menyediakan informasi soal duit haram yang mereka simpan.
Setelah berjuang selama enam tahun, akhirnya pada September 2005 pemerintah Swiss mengembalikan US$ 458 juta (senilai dengan Rp 4,1 triliun) uang hasil korupsi Abacha. Uang itu akan dibelanjakan untuk pengentasan rakyat miskin, pendidikan, dan kesehatan di Nigeria.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo