Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HABIS aku dipelintir," kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein sambil memijat-mijat kening. Tangannya membalik-balik sejumlah dokumen yang disodorkan Tempo. Yunus senewen: ia tak menyangka dua dokumen rahasia yang pernah dikirimnya ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kini beredar ke mana-mana.
Kedua dokumen itu menerangkan hasil pengecekan PPATK terhadap dua hal. Yang satu, tertanggal 17 Mei 2004, pengecekan atas Motorbike International Limited. Yang lain, 28 Februari 2005, menyangkut tiga nama pendiri dan pemegang saham Motorbike: Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Sudjaswin E.L (Effendi Djaswin), dan Abdurrahman Abdul Kadir Mulahela. Kesimpulannya sama: tidak ditemukan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Tanda tangan Yunus sebagai pimpinan tertera, lengkap dengan cap institusi yang dipimpinnya sejak 2003 itu.
Yunus mengaku baru belakangan tahu kedua surat itu terus-menerus menjadi rujukan untuk proses pencairan uang milik Tommy melalui rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada Juni 2004, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, mengutip surat itu dalam suratnya ke BNP Paribas-bank yang menyimpan uang Tommy tersebut. Berikutnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin juga mengirim surat ke Paribas dengan mengutip surat Yunus. Intinya, Yusril dan Hamid sama-sama meyakinkan Paribas bahwa uang itu tak bermasalah.
Sebenarnya, pada awal 2006 lalu Yunus sudah curiga. Itulah sebabnya ia melayangkan surat ke Departemen Hukum yang menanyakan digunakan untuk apa dua dokumen yang pernah ia kirimkan itu. Jawaban dari Dirjen Administrasi Hukum Umum, Zulkarnain Yunus, pada Januari 2006 samar-samar: surat itu "sangat bermanfaat bagi kami dalam rangka melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik".
Entah apa yang dimaksud dengan "asas-asas yang baik", yang jelas surat para pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu berseliweran dari Jakarta hingga London dan pelosok Guernsey, pulau kecil di Selat Inggris. Dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Bank Negara Indonesia (BNI), hingga Motorbike dan BNP Paribas.
Menurut Yunus, hampir di setiap akhir surat, lembaganya selalu memasukkan keterangan bahwa segala informasi yang diberikan bersifat rahasia dan tidak dapat disebarkan tanpa persetujuan tertulis dari PPATK. Surat itu juga tak bisa menjadi bukti di pengadilan tanpa persetujuan lembaganya. Hal ini dilakukan karena sudah berulang kali surat PPATK dipalsukan. Di Riau dan Kalimantan Timur, nama PPATK pernah digunakan untuk memeras orang.
Selain itu, menurut Yunus, informasi dari PPATK tentang fulus Tommy tak bisa dianggap sebagai "cap bersih". Undang-Undang Tahun 2002 tentang Pencucian Uang melarang PPATK mengatakan pihak tertentu terkait-atau tidak terkait-dengan kegiatan pencucian uang. "Kami cuma bisa mengindikasikan pelanggaran pidana," kata Yunus. Sisanya, silakan selesaikan di pengadilan.
Lalu apa alasan Yunus memberikan keterangan tentang Motorbike dan Tommy Soeharto itu? Meski klien utama PPATK adalah Kepolisian RI dan Jaksa Agung, Yunus mengaku tak kuasa menolak ketika lembaga pemerintah meminta bantuan. "Sebagai sesama instansi pemerintah, jika ada permintaan informasi, ya kita jawab," katanya. "Tapi tak ada dalam data kami bukan berarti pasti bersih. Bisa saja ada di data kejaksaan atau kepolisian." Yunus memastikan akan segera meminta keterangan dari Departemen Hukum tentang hal ini. Ia juga akan mengirim surat ralat ke semua lembaga yang pernah mendapatkan "surat sakti" tentang fulus Tommy tersebut. Selebihnya, "Itu urusan Presiden," katanya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo