DI Jakarta tanah makin sempit dan sulit. Dalam keadaan seperti
itulah sejak awal Mei silam meletup kasus yang sekarang dikenal
sebagai kasus Petak Baru.
Peristiwanya bermula pada sebidang tanah kosong 450 m2 di
kawasan pertokoan Petak Baru, dibilangan pusat perdagangan Pasar
Pagi. Tanah ini menurut tatakota Jakarta, sebenarnya ditetapkan
sebagai jalur hijau, tapi sejak lama dibiarkan gersang.
Sebelum dipagari oleh PT Insinho areal tersebut dimanfaatkan
untuk parkir kolt. taksi gelap dan penjual makanan kaki-lima.
Mereka yang bermata jeli dan punya naluri dagang, tidak tahan
melihat tanah itu tergoler begitu saja. Menurut rencana Insinho
akan membangun kios-kios di tanah itu dan dijual kepada pedagang
yang berminat.
Meskipun tahu bahwa itu jalur hijau, tak urung PT Insinho
mengajukan usul pada Pemda DKI yang buntutnya menimbulkan heboh.
Para pedagang di sekitar tanah kosong itu protes, sebab
pembangunan kios di jalan itu berarti DKI justru mengeluarkan
izin membangun pertokoan, padahal pada 1971 - karena alasan
jalur hijau -- mereka tergusur dari tempat yang sama.
Mereka terpaksa pindah ke kios-kios Los Mini dan Kongsi Besar
yang terletak berdampingan dengan Petak Baru dan Pasar Pagi.
Sebagian besar pedagang yang bercokol di sana adalah nonpri.
Tatkala PT Insinho menjanjikan bahwa 40% dari 200 kios yang
dibangunnya di Petak Baru akan dijatahkan untuk pedagang
pribumi, maka Pemda DKI agaknya jadi tertarik. Izin pembangunan
pun dikeluarkan pada 18 Maret 1981
Putar-putar Terus
Tindak awal yang dilakukan pihak pemborong adalah memagari tanah
kosong bekas lapangan parkir itu dengan seng. Pemagaran ini
menimbulkan akibat berantai. Pada mulanya lalu-lintas di situ
jadi semrawut. Pelbagai truk yang biasa bongkar muat di
sepanjang jalan Petak Baru, jadi terhalang karena tempat itu
terpaksa dijadikan tempat parkir mobil dan kendaraan bermotor
lainnya. Pedagang kakilima ikut tergeser ke luar pagar.
Ini pun menimbulkan kemacetan baru. Menyaksikan panorama ini,
seorang pedagang tekstil mengeluh. "Truk yang mau bongkar muat
terpaksa putar-putar terus. Tidak ada tempat parkir,"ujarnya
kesal. Kemacetan itu juga yang memperkuat alasan para pedagang
memprotes Pemda DKI. Menurut para pedagang itu, mereka tidak
takut bersaing. "Tapi kalau jalanan macet, siapa yang mau
datang? " ujar seorang pedagang tekstil yang lain.
Dalam sebuah surat edaran tertanggal 1 Mei 1981, 65 pedagang pri
dan nonpri menyatakan keberatan mereka terhadap pembangunan
pertokoan Petak Baru. Mereka minta pada gubernur agar
pembangunan ditinjau atau ditangguhkan. Beberapa alasan
dikemukakan, antara lain: tanah di jalur hijau itu bisa
dimanfaatkan untuk parkir, pembeli enggan datang karena
lalu-lintas semrawut, bongkar muat barang terganggu.
Ditanyakan juga dalam surat edaran itu, mengapa harus membangun
pertokoan baru, sedangkan kios Pasar Pagi dibiarkan kosong? Lagi
pula bukankah sejak mula Pemda DKI menetapkan lapangan itu
sebagai jalur hijau, dan berdasarkan ketetapan itu pula, Pemda
pada 1971 menggusur pedagang ke Los Mini dan Kongsi Besar.
Tidak lupa disinggung pula soal harga kios yang akan dibangun
itu pada mulanya Rp 10 juta, dalam waktu singkat naik menjadi Rp
25 juta. Bagaimanapun juga, menurut surat edaran tadi, sebagai
pedagang lemah, harga itu terlalu tinggi buat mereka.
Menanggapi keadaan yang cukup ramai ini, Ir. G.J. Kaunang dari
Dinas Pengawasan Pembangunan. Kota menyatakan "proses
pembangunannya dihentikan dulu " Selanjutnya, " majalahnya
ditarik ke atas." Artinya jadi urusan Gubernur.
Asmawi Manaf, Wagub DKI Bidang Perekonomian, menanggapi dengan
hati-hati: "Pihak eksekutif akan erkonsultasi dengan pihak
legislatif. Saya tidak akan memutuskan sendiri." Namun
ditambahkannya, izin pembangunan yang diberikan pada Insinho
adalah izin prinsip. Artinya, tidak mutlak. Kepastian izin itu
ditarik atau tidak, menunggu hasil penelitian Pemda DKI.
Sementara itu Ketua Komisi D DPRD DKI, Parulian Silalahi, ikut
menyesalkan izin Petak Baru diberikan tanpa konsultasi dulu
dengan pihak legislatif. Bagi Parulian, kasus ini berkaitan
erat dengan keserasian lingkungan. "Justru di sinilah letak
kesalahan penataan Kota Jakarta sejak dulu," ungkapnya "kurang
memperhatikan keserasian lingkungan. Ia bukan saja tak melihat
manfaat pembangunan Petak Baru yang temporer itu (direncanakan
hanya untuh 5 tahun), tapi juga meragukan kesanggupan pedagang
untuk membayar harganya.
Tentang upeti Rp 300 juta yang menurut kabar disodorkan Insinho
kepadu oknum-oknum Pemda DKI, ia tidak bersedia memberi
komentar. Karya sebuah sumber TEMPO menyebutkan, beberapa
anggota DPRD juga menerima upeti. Tentu saja Asmawi membantah
soal itu "Kalau memang ada upeti Rp 300 juta, tunjukkan dengan
bukti-bukti yang lengkap," sambut Kepala Humas Pemda DKI,
Ramona Ginting. Dir-Ut Insinho juga membantah adanya upeti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini