Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memetak-metak petak baru

Para pedagang diusir dari kawasan pertokoan petak baru, karena untuk jalur hijau. kini di sana akan dibuat kios-kios. para pedagang protes. diduga ada upeti rp 300 juta. (kt)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jakarta tanah makin sempit dan sulit. Dalam keadaan seperti itulah sejak awal Mei silam meletup kasus yang sekarang dikenal sebagai kasus Petak Baru. Peristiwanya bermula pada sebidang tanah kosong 450 m2 di kawasan pertokoan Petak Baru, dibilangan pusat perdagangan Pasar Pagi. Tanah ini menurut tatakota Jakarta, sebenarnya ditetapkan sebagai jalur hijau, tapi sejak lama dibiarkan gersang. Sebelum dipagari oleh PT Insinho areal tersebut dimanfaatkan untuk parkir kolt. taksi gelap dan penjual makanan kaki-lima. Mereka yang bermata jeli dan punya naluri dagang, tidak tahan melihat tanah itu tergoler begitu saja. Menurut rencana Insinho akan membangun kios-kios di tanah itu dan dijual kepada pedagang yang berminat. Meskipun tahu bahwa itu jalur hijau, tak urung PT Insinho mengajukan usul pada Pemda DKI yang buntutnya menimbulkan heboh. Para pedagang di sekitar tanah kosong itu protes, sebab pembangunan kios di jalan itu berarti DKI justru mengeluarkan izin membangun pertokoan, padahal pada 1971 - karena alasan jalur hijau -- mereka tergusur dari tempat yang sama. Mereka terpaksa pindah ke kios-kios Los Mini dan Kongsi Besar yang terletak berdampingan dengan Petak Baru dan Pasar Pagi. Sebagian besar pedagang yang bercokol di sana adalah nonpri. Tatkala PT Insinho menjanjikan bahwa 40% dari 200 kios yang dibangunnya di Petak Baru akan dijatahkan untuk pedagang pribumi, maka Pemda DKI agaknya jadi tertarik. Izin pembangunan pun dikeluarkan pada 18 Maret 1981 Putar-putar Terus Tindak awal yang dilakukan pihak pemborong adalah memagari tanah kosong bekas lapangan parkir itu dengan seng. Pemagaran ini menimbulkan akibat berantai. Pada mulanya lalu-lintas di situ jadi semrawut. Pelbagai truk yang biasa bongkar muat di sepanjang jalan Petak Baru, jadi terhalang karena tempat itu terpaksa dijadikan tempat parkir mobil dan kendaraan bermotor lainnya. Pedagang kakilima ikut tergeser ke luar pagar. Ini pun menimbulkan kemacetan baru. Menyaksikan panorama ini, seorang pedagang tekstil mengeluh. "Truk yang mau bongkar muat terpaksa putar-putar terus. Tidak ada tempat parkir,"ujarnya kesal. Kemacetan itu juga yang memperkuat alasan para pedagang memprotes Pemda DKI. Menurut para pedagang itu, mereka tidak takut bersaing. "Tapi kalau jalanan macet, siapa yang mau datang? " ujar seorang pedagang tekstil yang lain. Dalam sebuah surat edaran tertanggal 1 Mei 1981, 65 pedagang pri dan nonpri menyatakan keberatan mereka terhadap pembangunan pertokoan Petak Baru. Mereka minta pada gubernur agar pembangunan ditinjau atau ditangguhkan. Beberapa alasan dikemukakan, antara lain: tanah di jalur hijau itu bisa dimanfaatkan untuk parkir, pembeli enggan datang karena lalu-lintas semrawut, bongkar muat barang terganggu. Ditanyakan juga dalam surat edaran itu, mengapa harus membangun pertokoan baru, sedangkan kios Pasar Pagi dibiarkan kosong? Lagi pula bukankah sejak mula Pemda DKI menetapkan lapangan itu sebagai jalur hijau, dan berdasarkan ketetapan itu pula, Pemda pada 1971 menggusur pedagang ke Los Mini dan Kongsi Besar. Tidak lupa disinggung pula soal harga kios yang akan dibangun itu pada mulanya Rp 10 juta, dalam waktu singkat naik menjadi Rp 25 juta. Bagaimanapun juga, menurut surat edaran tadi, sebagai pedagang lemah, harga itu terlalu tinggi buat mereka. Menanggapi keadaan yang cukup ramai ini, Ir. G.J. Kaunang dari Dinas Pengawasan Pembangunan. Kota menyatakan "proses pembangunannya dihentikan dulu " Selanjutnya, " majalahnya ditarik ke atas." Artinya jadi urusan Gubernur. Asmawi Manaf, Wagub DKI Bidang Perekonomian, menanggapi dengan hati-hati: "Pihak eksekutif akan erkonsultasi dengan pihak legislatif. Saya tidak akan memutuskan sendiri." Namun ditambahkannya, izin pembangunan yang diberikan pada Insinho adalah izin prinsip. Artinya, tidak mutlak. Kepastian izin itu ditarik atau tidak, menunggu hasil penelitian Pemda DKI. Sementara itu Ketua Komisi D DPRD DKI, Parulian Silalahi, ikut menyesalkan izin Petak Baru diberikan tanpa konsultasi dulu dengan pihak legislatif. Bagi Parulian, kasus ini berkaitan erat dengan keserasian lingkungan. "Justru di sinilah letak kesalahan penataan Kota Jakarta sejak dulu," ungkapnya "kurang memperhatikan keserasian lingkungan. Ia bukan saja tak melihat manfaat pembangunan Petak Baru yang temporer itu (direncanakan hanya untuh 5 tahun), tapi juga meragukan kesanggupan pedagang untuk membayar harganya. Tentang upeti Rp 300 juta yang menurut kabar disodorkan Insinho kepadu oknum-oknum Pemda DKI, ia tidak bersedia memberi komentar. Karya sebuah sumber TEMPO menyebutkan, beberapa anggota DPRD juga menerima upeti. Tentu saja Asmawi membantah soal itu "Kalau memang ada upeti Rp 300 juta, tunjukkan dengan bukti-bukti yang lengkap," sambut Kepala Humas Pemda DKI, Ramona Ginting. Dir-Ut Insinho juga membantah adanya upeti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus