Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dokumentasi dan selera

Jakarta: pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1979. (bk)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA PENDEK INDONESIA (4 JILID) Penyusun: Satyagraha Hoerip Penerbit: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. P&K, 1979. INI adalah dokumentasi praktis pertumbuhan cerpen Indonesia," menurut pengarangnya sendiri. Disusun oleh Satyagraha Hoerip, 47 tahun, penulis cerpen yang bekerja di penerbitan Sinar Harapan -- katanya sejak 1968. Terdiri dari 4 jilid, memuat karya bertahun 1949 sampai 1976. Dari cerpen Matu Mona (lahir 1910), yang dikenal sebagai pimpinan grup sandiwara Ratu Timur tahun 1930-an, sampai karya Faisal Baraas (lahir 1947), dokter yang pengarang. Semuanya 94 cerpen dari 94 orang. Panorama dunia cerpen Indonesia memang tersuguhkan dalam jilid-jilid ini. Tapi panorama tidak berarti kelengkapan. Bahkan cerpen M. Kasim dan Soeman Hs (pengarang kumpulan cerpen lucu Kawan Bergelut dan novel Mencari Pencuri Anak Perawan), yang biasanya disebut sebagai para pelopor cerpen Indonesia, tidak dimuat. Juga, agak aneh, cerpen Hamka (kumpulan Di Dalam Lembah Kebidupan, misalnya), Armijn Pane (Kisab Antara Manusia), atau SM Ardan dengan cerpen-cerpen Betawi dan Utuy Tatang Sontani. "Saya tidak menemukan cerpennya yang cocok untuk kumpulan saya," kata Satyagaraha. Itulah soalnya. Satyagraha memang mengaku, dalam menyeleksi cerpen "subyektivitas dan selera sastra pribadi"nya akhirnya yang menjadi kriteria utama -- dan bukan obyektivitas data berdasar "ciri-ciri masa". Dan itulah yang menyebabkan kekurangberhasilan kumpulan ini dalam mencerminkan 'pertumbuhan cerpen' Indonesia. Yang menguntungkan ialah: buku seperti ini bisa dipakai membanding-banding karya sejumlah nama besar - menurut pilihan si penyusun, tentu saja. Ada Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Gerson Poyk, Umar Kayam dan Satyagraha Hoerip sendiri, W.S. Rendra, Nh. Dini, Budi Darma, Danarto, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Julius Sijaranamual, antara lain. Dan memang kemudian berbagai gaya dan berbagai tema bisa ditangkap. Misalnya yang suka bercerita dengan membuat semacam reportase, seperti Mohamad Fudoli atau Kuntowijoyo. Atau yang bergaya tulisan bak transkripsi rekaman kaset seorang tukang cerita, seperti Umar Kayam (lahir 1932), misalnya, dengan, Musim Gugur Kembali di Connecticut-nya yang memikat. Atau cara Danarto (lahir 1940) yang bercerita tentang Salome anak Herodes (yang menghendaki hadiah berupa kepala Yahya Sang Pembaptis) dengan "lebih indah dari warna aslinya". Tidak Dijual Si penyusun, selain menitikberatkan seleksi pada cerpennya sendiri dan bukan posisi atau prestasi si penulis, juga mengumpulkan cerpen hanya dari majalah-majalah tertentu -- yang di kalangan sastrawan memang dianggap jaminan mutu: Kisah, Mimbar Indonesia, Sastra, Cerpen (semuanya sudah mati) dan Horison. Sayang, 4 jilid buku ini tak tersebar luas. Dengan penerbit pihak pemerintah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. P&K) kumpulan ini dicetak begitu terbatas: 2 ribu eksemplar tiap jilid, dan memang tidak untuk dijual. Tambahan lagi tata sampulnya seperti sampul buku pelajaran terbitan lama. Dan karena penerbit yang pemerintah itu pula, beberapa nama terpaksa dicabut -- meski oleh Satyagaraha sangat disesalkannya. Enam nama jadinya menambah jumlah nama-nama yang absen yang sudah disebut di muka: Pramudya Ananta Toer, Bakri Siregar, Ananta Piola, S. Rukiah, Suprijadi Tomodihardjo, Nyoman S. Pendit. Mereka memang tersangkut atau dianggap tersangkut G30S/ PKI. "Padahal, menurut saya, mempelajari perkembangan cerpen Indonesia tak bisa tidak harus pula mempelajari cerpen Pramudya," kata Satyagraha. Bahkan, judul kumpulan ini semula, Seratus Cerpen, Seratus Pengarang terpaksa pula diubah. Dengan pencabutan itu kemudian memang tak sampai 100 cerpen yang diterbitkan. Toh penyesalan tentang "tidak genapnya jumlah seratus" sebetulnya juga masih bisa ditujukan kepada penyusun buku sendiri. Ini dalam hal tambahan jumlah yang absen -- dari para pengarang jenis lain lagi, yakni yang umurnya lebih muda dan terhitung kuat. Misalnya Arswendo Atmowiloto atau Yudhistira Ardi Noegraha -- yang juga tak dimuat. "Koleksi Horison saya tak lengkap. Masih banyak tentu cerpen bagus yang belum sempat saya baca -- terutama yang baru-baru," kata penyusun. Memang cerpen, konon, tak diperhitungkan oleh para juri Hadiah Nobel untuk diberi hadiah. Tapi bukan karena itu tentunya bila selama ini baru diterbitkan sebuah kumpulan semacam ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus