Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eddy Sampak dan 18 tuduhan

Mahkamah militer di bandung menyidangkan terdakwa eddy sampak, ojeng, bani. mereka dituduh menembaki seluruh penumpang kolt dan merampas uang gaji kodim cianjur. (hk)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI 18 macam kejahatan yang dituduhkan kepada para tertuduh, menurut oditur, 11 di antaranya dilakukan Sersan Mayor (AD) Eddy Maulana Sampak bin Santaka. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dan perampasan yang disertai kekerasan, pengrusakan, sampai kejahatan senjata api. Untuk semua itu tentu saja hukuman mati mengancam Bintara Urusan Hanra Rayon Militer Karangtengah (Kodim Cianjur -- Jawa Barat) tadi. Sidang mulai berlangsung sejak pertengahan Mei ini di Mahkamah Militer Priangan -- Bogor di Bandung. Pemeriksaan terhadap para tertuduh, Eddy Sampak (40 tahun), Ojeng (40 tahun) dan Bani (42 tahun) serta para saksi dilakukan secara maraton oleh mahkamah yang dipimpin Letkol Edi Purnomo sehingga dinyatakan selesai minggu lalu. Dan minggu ini, Oditur Mulyoredjo membacakan tuntutannya. Pengunjung selalu memenuhi ruang sidang. Di antaranya ada yang ikut terlibat dalam penangkapan terdakwa, Agustus 1979, di sekitar Kali Cigintung (Cianjur). Terdakwa Eddy Sampak memang dituduh melakukan kejahatan yang menggeramkan penduduk Cianjur: 20 Agustus 1979, sekitar pukul 13.30, ia menembaki seluruh penumpang kolt dan merampas uang gaji personil Kodim Cianjur yang dibawa Serma Sutaryat, kemudian membakar habis kendaraan umum tersebut. Oditur memperinci perbuatan para tertuduh sebagai berikut: Sejak 6 Agustus, Eddy Sampak sudah mempersiapkan sepucuk senapan Carl Gustaf, yang sebelumnya dicurinya dari lemari senjata Koramil Karangtengah. Ia lalu membuat tas tripleks yang dibungkus dengan plastik cokelat untuk menyimpan senjata tersebut. Eddy Sampak lalu menghubungi Ojeng, Mais dan Enjang. Ojeng bersedia bekerjasama dengan Eddy untuk merampok gaji personil Kodim -- sementara Mais dan Enjang menolak. Eddy dan Ojeng lalu bersama-sama menyelidiki kapan Serma Sutaryat mengambil uang dari Sukabumi. Dengan sepeda motor, pagi 20 Agustus, Eddy dan kawannya mengikuti perjalanan Sutaryat ke Kodim Sukabumi. Ojeng menunggu di sekitar pertokoan sambil membawa ransel berisi pakaian dan senapan yang terbungkus rapi, sementara Eddy mengikuti Sutaryat sampai ke markas Kodim. Eddy minta agar Sutaryat memberikan gajinya di situ juga -- permintaan tersebut dipenuhi Sutaryat. Eddy mengintai perjalanan pulang Sutaryat yang dikawal Kopral Sumpena. Kedua orang ini ternyata menggunakan kendaraan umum -- meski membawa uang Rp 21 juta lebih. Di tengah jalan Eddy dan Ojeng mencegat dan kemudian ikut kendaraan tersebut. Mereka mengambil tempat duduk paling belakang. Di sekitar perbatasan Sukabumi-Cianjur, di persimpangan jalan Desa Gekbrong, Eddy memerintahkan agar kolt tersebut membelok kiri. Alasannya ia hendak mengambil kambing di suatu tempat. Tapi begitu kendaraan telah jauh dari persimpangan, sekitar 1 km dari jalan raya, Eddy melaksanakan niatnya. Mula-mula ia menembak pengemudi. Kemudian memberondong ke-12 penumpang lainnya. Diperas Setelah merebut tas berisi uang dari tangan Sutaryat, lalu membakar kendaraan berikut penumpangnya, mereka kabur. Sutaryat mati saat itu juga, bersama tiga penumpang lainnya. Sugandi, kernet, meninggal di rumah sakit. Selebihnya luka-luka. Eddy Sampak dan Ojeng tertangkap sekitar seminggu sesudah peristiwa (TEMPO, 8 September 1979). Sedangkan Bani, yang disebut "mertua tak resmi saya" oleh Eddy Sampak, turut pula ditangkap yang berwajib. Ia dituduh menyimpan uang hasil perampokan dan menyembunyikan Eddy Sampak. Sulit bagi para tertuduh menghindari dakwaan oditur. Yang menarik ialah alasan perampokan yang dikemukakan Eddy Sampak. Ia merasa sebelumnya telah diperas kanan kiri ketika berusaha menduduki jabatan kepala desa di Desa Nagrak. Ada yang mengutipnya Rp 150 ribu. Ada pula yang sampai Rp 300 ribu dan Rp 500 ribu. Semuanya itu, katanya, diberikan karena janji ia dapat dilantik sebagai kepala desa. Meski sudah mengeluarkan biaya hampir Rp 3 juta dan malahan sudah menyiapkan baju seragam kepala desa segala, kata Eddy Sampak, ternyata orang lain yang diangkat jadi lurah di Nagrak. Padahal untuk usahanya itu Eddy berutang dari beberapa kenalannya dan rentenir. Sehingga pernah, katanya, serang rentenir mencomot begitu saja sebuah televisi yang tengah ditonton keluarganya. Bagaimana tak sakit hati?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus