Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memilih Tidak, Kompor Gas Oke

Tak ikut pemilu, mereka di luar sistem. Mendukung Bantuan Langsung Tunai.

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN voorrijder, Inspektur Jenderal Polisi Alex Bambang Riatmodjo tiba di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah itu disambut Ustad Abubakar Baasyir dan Direktur Pondok, Wahyudin, Rabu pagi pekan lalu.

Ketika itu, di seantero negeri, penduduk berduyun-duyun ke tempat pemu­ngutan suara. Obrolan ringan mengalir, Baasyir mendominasi pembicaraan. Ustad meminta polisi tegas memberantas praktek maksiat di Jawa Tengah. Para perwira berseragam cokelat itu tersenyum dan menganggukkan kepala.

Lalu sampailah ke pokok soal. Inspektur Jenderal Alex mengutarakan niatnya mengajak Baasyir ikut bersamanya, meninjau tempat pemungutan suara 28 Cemani, Sukoharjo. Lokasi­nya hanya sepelemparan batu dari pondok. Tapi Baasyir menggeleng. ”Sudah lama saya tak ikut-ikutan urusan pemilu, Pak,” katanya.

Kata Baasyir, selama hidup hanya dua kali ia ikut pemilu. Pada 1955, ia dan keluarganya memilih Masyumi. Pada 1971, ia mencoblos Partai Persatuan Pembangunan. Sistem pemilu langsung seperti sekarang dianggapnya berkiblat ke Amerika. ”Dalam syariat Islam, tak ada tuntunan pemimpin dipilih langsung oleh rakyat,” katanya.

Harusnya, kata Baasyir, pemimpin dipilih para cerdik pandai. ”Kalau langsung seperti ini, suara orang terpelajar dengan preman derajatnya sama,” katanya. Baasyir juga mengaku mewanti-wanti santri dan warga sekitar tak ikut pemilu. Pesan itu disampaikan ke santrinya, jauh sebelum mereka libur. Lagi pula, Baasyir mengaku tak diundang KPPS. Tapi ia membebaskan istrinya memilih.

Sekelompok masyarakat di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Garut Selatan, Jawa Barat, juga menolak ikut mencontreng. Mereka merasa bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan Negara Islam Indonesia, yang diproklamasikan pada 12 Sjawal 1368 atawa 7 Agustus 1949 oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo.

Mei lalu, secara terbuka kelompok ini berkirim surat ke pejabat Desa Purbayani, meminta tak dimasukkan daftar pemilih pemilu presiden. ”Kami warga Negara Islam Indonesia,” kata Wowo Wahyudin, Ketua Nii Wilayah Garut Selatan. ”Kami sudah punya imam, jadi buat apa memilih lagi?”

Aksi ini bukan yang pertama kali. Dalam setiap pemilihan, entah pemilihan kepala desa, bupati, atawa gubernur, NII Garut selalu menolak ikut. Di Desa Purbayani dan sekitarnya, anak buah Wowo hanya 27 orang. Namun, di Kabupaten Garut, jumlah mereka sekitar 2.000. Garut dan Tasikmalaya dikenal sebagai basis NII dengan empat kecamatan: Pameungpeuk, Bungbulang, Caringin, dan Pakenjeng.

Pada 17 Januari 2008, gerakan mereka sempat terbuka. Pemimpin utama atau imam besar mereka, Sensen Komara Bakar Misbah anak Bakar Misbah, eks Bupati NII Jawa Barat mengibarkan bendera merah putih bergambar bulan bintang di depan rumahnya di Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Garut.

Akibatnya, Sensen ditangkap. Tapi dilepas lagi, karena dianggap jiwanya ”terganggu”. Sebaliknya, dua menteri Sensen, Endi dan Deden, divonis Pengadilan Negeri Garut 3 tahun 6 bulan penjara, pada 15 Oktober 2008.

Meski menyimpang, kata Kepala Desa Purbayani, Haryanto, kegiatan mereka tak meresahkan warga. Sejak peristiwa Sensen, tak lagi ada pengibaran bendera NII. Mereka ikut kerja bakti atau kegiatan gotong-royong. Tak ada pencekalan pada mereka.

Anehnya, mereka tetap mengurus kartu tanda penduduk, menerima Bantuan Langsung Tunai, pembagian be­ras untuk orang miskin, bahkan kompor gas gratis. ”Mereka juga tak malu menagih kalau tak kebagian,” kata Encun, Kepala Dusun Mekarkati, Purbayani.

Pada hari pemilu, tak satu pun dari mereka hirau akan hiruk-pikuk pemungutan suara di TPS 09, SD Negeri Purbayani III, yang hanya seratusan meter dari rumah ketua mereka. Di situ pasangan SBY-Boediono meraup kemenangan dengan 95 suara, sedangkan Mega-Prabowo mendapat 18 suara, dan JK-Wiranto kebagian 7 suara.

Widiarsi Agustina, Sigit Zulmunir (Garut), dan Ahmad Rafiq (Sukoharjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus