Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ujian Pertama SBY

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Harymurti
  • Wartawan Tempo

    Sebuah pemilihan umum pada dasarnya adalah gelanggang kompetisi aspirasi politik rakyat. Pihak yang berlaga biasanya mewakili kepentingan dua kutub: kesinambungan versus perubahan. Bila mayoritas rakyat sedang kecewa pada keadaan dan bersikap pesimistis, pihak yang mewakili perubahan yang akan menang. Sebaliknya, jika masyarakat secara umum merasa sedang berada dalam jalur yang benar, alias dalam mood optimistis, sosok yang membawa panji kesinambungan yang akan unggul.

    Kenyataan bahwa pasangan Susilo Bambang YudhoyonoBoediono meraih sekitar 60 persen suara dalam pemilih­an presiden langsung pekan lalu menunjukkan dukungan pada upaya me”lanjutkan” program pemerintah yang sedang berlangsung. Hal ini sebenarnya sudah diperkirakan banyak pengamat. Maklum, berbagai hasil jajak pendapat yang kredibel memang menunjukkan tingkat popularitas SBY yang tinggi. Selain itu, rakyat Indonesia sedang optimistis. Bahkan, seperti dimuat majalah Newsweek pada awal tahun ini, Indonesia dan Cina adalah dua negeri yang rakyatnya paling optimistis di dunia dalam menghadapi krisis global yang bergulir sejak akhir tahun lalu.

    Optimisme ini tentu ada penyebabnya. Selain Indonesia kini adalah satu dari tiga emerging markets yang pertumbuhannya di atas empat persen sementara negaranegara tetangga mengalami pertumbuhan minus banyak perbaikan telah berlangsung dalam berbagai penjuru kehidupan berbangsa dan bernegara. Memang masih jauh dari yang dicitacitakan, tapi pergerakan ke arah itu sudah terasa. Kehidupan demokrasi makin dewasa, otonomi pemerintah daerah mulai menggeliat, pers masih mampu memperta­hankan kemerdekaannya, dan upaya mengikis korupsi mulai terasa gigitannya. Bahwa Presiden SBY tak terlihat mengintervensi KPK dalam penyelidikan dan penahanan besannya adalah suatu hal yang membangun optimisme pada para pendukung gerakan reformasi negeri ini.

    Tapi bukan tanpa catatan miring. Bahkan semilir angin kecemasan kini mulai mengembus di kalangan reformis. Niat Presiden SBY mencalonkan Sri Mulyani Indrawati menjadi calon Gubernur Bank Indonesia adalah pemicu utamanya. Nama sang Menteri Keuangan terlontar dari mulut SBY saat menjawab pertanyaan wartawan tentang calon yang disiapkan untuk menggantikan posisi Boediono, yang mundur dari jabatan di bank sentral karena maju sebagai calon wakil presiden. Belakangan Presiden dika­barkan mengklarifikasi usulan yang diungkapkan saat berkunjung ke kantor majalah Tempo itu sebagai bagian dari upaya melempar ”trial balloon”.

    Klarifikasi ini bukan tanpa dasar sama sekali. Pencalonan Gubernur Bank Indonesia oleh Presiden memerlukan persetujuan DPR dan di masa lalu para wakil rakyat pernah menolak mentahmentah calon pemerintah. Penolakan tanpa alasan jelas terhadap Agus Martowardoyo itu sempat mengejutkan SBY hingga ia merasa harus meminta banyak masukan publik dan menyorongkan nama Boediono sebagai calon yang baru hanya setelah mendapat dukungan luas masyarakat. Pencalonan yang kemudian terbukti berjalan mulus di Senayan.

    Adakah nama Sri Mulyani kini dilontarkan untuk mengecek dukungan masyarakat seperti saat pencalonan Boediono dulu? Jawabannya mungkin hanya SBY yang tahu. Namun di kalangan reformis reaksi yang muncul adalah kecurigaan. Yaitu kekhawatiran bahwa SBY me­ng­ajukan nama pelaksana Menteri Koordinator Perekonomiannya itu sebagai calon Gubernur BI karena bujukan para donor besar kampanye pasangan SBYBoediono. Soalnya, telah menjadi rahasia umum bahwa kegiatan bisnis sebagian penyandang dana besar itu pernah dan bahkan mungkin masih terganggu oleh upaya Sri Mulyani membangun sistem tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

    Upaya keras Sri Mulyani menegakkan aturan memang terkesan tak pilih bulu sehingga cukup banyak pengusaha besar, termasuk yang mengaku dekat dengan Istana, sempat bentrok dengan aparat Departemen Keuangan, ter­utama Direktorat Pajak dan Bea Cukai. Bahkan belasan petinggi sebuah perusahaan milik seorang pengusaha raksasa yang menurut majalah Forbes paling kaya di Indonesia kini menjadi tersangka penggelap pajak terbesar dalam sejarah republik ini. Sebagian pengusaha lain mengeluhkan upaya pembersihan Bea Cukai di pelabuhan yang katanya kini menyebabkan barang impor mereka sulit masuk. Upaya sebagian dari mereka mengatasi hal ini dengan memberikan uang pelicin gagal karena petugas penerimanya malah ditangkap dalam razia oleh KPK atas permintaan Sri Mulyani.

    Upaya membenahi birokrasi negara ini memang amat merugikan bagi para konglomerat hitam. Soalnya, keuntungan terbesar mereka selama ini, seperti pernah dinyatakan Profesor Sadli, umumnya diraih dengan cara tak membayar pajak melalui cara patgulipat. Bayangkan, hasil penelusuran Tempo terhadap dokumen sitaan sebuah perusahaan raksasa menunjukkan anggaran maksimum yang diperkenankan direksi untuk menyuap hanya satu persen dari ”penghematan” yang didapat. Jadi, untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak Rp 100 miliar, dana untuk menyogok tak boleh lebih dari Rp 1 miliar. Uniknya, mata anggaran haram ini diberi nama ”dana bantuan sosial”.

    Kegiatan yang amat merugikan kocek negara tapi amat menggemukkan kantong konglomerat hitam itu memang terganggu oleh gerakan reformasi yang dimotori Sri Mulyani. Itu sebabnya dikabarkan muncul gerakan di ka­langan pengusaha besar untuk melakukan perlawanan. Untungnya, tak semua pengusaha bersedia, sebagian memilih untuk menjadi warga yang baik dengan mengikuti program sunset policy yang ditawarkan pemerintah. Enam per­usahaan besar yang dipanggil Dirjen Pajak Darmin Nasution pun memilih membayar kekurangan pajak triliunan rupiah, ketimbang melakukan perlawanan. ”Soalnya, saya melihat Pak Darmin dapat dipercaya dan uangnya pasti masuk kas negara,” kata seorang pengusaha. Wajar jika perolehan pajak pemerintah dan jumlah wajib pajaknya pun langsung melompat.

    Kini Darmin Nasution, yang masuk usia pensiun, telah terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Belum lagi penggantinya dipilih, muncul berita Sri Mulyani pun akan dicalonkan menjadi Gubernur Bank Indonesia. Adapun Dirjen Bea Cukai Anwar Supriadi, yang terkenal bersih dan berani menjalankan tugas tanpa pandang bulu kendati berhadapan dengan pengusaha yang memiliki backing penguasa, juga memasuki usia pensiun. Lantas apa yang akan terjadi pada upaya reformasi Departemen Keuangan yang dimotori Sri Mulyani dan dua dirjennya itu?

    Untuk menghilangkan kecemasan tersebut, banyak yang berharap Presiden SBY memang serius ketika menyatakan bahwa pencalonan Sri Mulyani sebagai Gubernur BI ha­nyalah pelontaran trial balloon. Sebab ini berarti memberikan kesempatan pada masyarakat yang peduli pada reformasi birokrasi untuk memberikan masukan kepada Presiden. Biarkanlah Sri Mulyani menyelesaikan program reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dan calon­kan sosok berkaliber yang lain untuk menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia.

    Bila masukan ini diterima, kekhawatiran masyarakat bahwa ”pembersihan” Departemen Keuangan dari kelompok reformis adalah sematamata atas usulan para donor yang menyalurkan ”bantuan sosial” mereka saat kampanye pemilu bisa terbantahkan. Apalagi bila sosok pengganti Darmin Nasution dan Anwar Supriadi juga ditentukan Presiden dengan mempertimbangkan serius usulan yang diberikan kedua tokoh reformis yang diganti itu.

    Presiden SBY sepatutnya tak melupakan slogan yang kerap dilontarkannya dengan bersemangat ketika berkampanye. Bukankah tema ”lanjutkan” telah diterima oleh sekitar 60 persen pemilih dan merupakan mandat yang kuat agar ia meneruskan upaya reformasi yang telah digulirkan pemerintahannya. Janganlah menganggap harus membalas budi para penyalur ”bantuan sosial” di masa kampanye. Ujian pertama Presiden SBY di awal pemerintahan barunya adalah membuktikan bahwa ia akan tetap tegas mendukung pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik, yang tak sungkan untuk menindak pengusaha nakal termasuk yang pernah menjadi penyandang dana besar di masa kampanyenya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus