Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERTATIH-TATIH, KH Idris Marzuki menyibak tirai lalu keluar dari bilik tempat pemungutan suara, Rabu pekan lalu. Sambil mencelupkan ujung kelingkingnya ke tinta penanda telah mencontreng, sesepuh pondok di kaki Gunung Klotok itu memandang puluhan santri yang menunggunya.
”Silakan tentukan sendiri pilihan kalian, saya memilih Pak JK,” kata Mbah Idris, sapaan KH Idris. Para santri diam menunduk dan tak memandang wajah Kiai. ”Ideologi saya dan Pak JK sama,” Mbah Idris menambahkan.
Setelah Mbah Idris pergi, para santri berbondong-bondong menuju ke 11 TPS yang bertebaran di kompleks pondok. Hasilnya: JK-Wiranto menang mutlak menguasai 90,2 persen suara. Adapun SBY-Boediono hanya mendulang 3,28 persen dan Mega-Prabowo 0,2 persen.
Dua hari sebelum pencontrengan, para santri tiap malam meriung di bilik-bilik pondok. Mereka memandangi kertas karton seukuran folio berisi keputusan ulama dalam bahtsul masail—pertemuan terbatas pengasuh pondok pesantren dan tokoh Nahdlatul Ulama—Jawa Timur di Surabaya pada 22 Mei 2009. Intinya, mereka bulat mendukung Jusuf Kalla-Wiranto sebagai presiden dan wakil presiden.
Di bagian bawah selebaran itu terdapat tanda tangan 20 kiai pengasuh pondok pesantren dan tokoh NU Jawa Timur. Di antaranya KH Anwar Mansyur (Lirboyo, Kediri), KH Zainudin Jazuli (Ploso, Kediri), KH Miftahul Akhyar (Surabaya), KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), KH Muchid Muzadi (Jember), dan KH Achmad Subadar (Besuk, Pasuruan). ”Kami turut apa kata kiai,” kata Imam Hanifah, santri asal Purworejo.
Namun kemenangan JK-Win sama sekali tak merembes ke luar pondok. Di 10 TPS Kelurahan Lirboyo yang berjarak hanya sepelemparan batu, SBY meraup 1.987 suara, Mega-Pro 895 suara, dan JK-Win hanya 239 suara. Padahal selama ini apa yang menjadi titah ulama Lirboyo, termasuk dalam perkara politik, senantiasa diamini masyarakat sekitar.
”Pondok dan kiai sekarang jauh dari kami,” kata Imam Subawi, warga yang tinggal di sekitar Pondok Lirboyo. ”Santri dilarang beli makanan di luar pondok, harus beli ke pengurus.” Bukan hanya soal makanan. ”Kami juga sulit bertemu kiai untuk sekadar bertanya,” kata Imam. ”Padahal tiap hari pejabat dengan mudahnya keluar-masuk rumah kiai.”
Mustofa, ketua takmir Mushola Al-Ikhlas, Kelurahan Sukorame, yang berjarak 300 meter dari Lirboyo, membandingkan ulama Lirboyo sekarang dengan figur KH Maksum Djauhari, pengasuh Lirboyo yang sudah almarhum. ”Saat Gus Maksum masih hidup, masyarakat merasa terlindungi,” kata dia. Tukang becak yang dirundung masalah bisa datang pukul berapa pun. ”Gus Maksum juga tidak melarang santri membeli makanan ke warung warga sekitar pondok.”
JK-Win juga hanya berpendar di Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Di TPS 17 di lingkungan pondok, pasangan nomor tiga itu merebut 300 suara, dua kandidat lainnya nol besar. Dari 18 TPS yang tersebar di pondok, 13 TPS mutlak milik JK-Win. SBY-Boediono hanya mendapat lima suara di lima TPS. Sedangkan Mega-Pro sama sekali tak ada yang memilih. Total suara JK-Win dari pondok asuhan KH Achmad Fawaid As'ad itu 5.295 suara.
Sejam sebelum pencontrengan, santri dikumpulkan di Masjid Ibrahimy. ”Kiai minta kami memilih Pak JK,” kata Andi, salah seorang santri. KH Fawaid tak menampik adanya penggalangan santri. ”Santri itu seperti anak saya, belajar bersama saya,” kata dia. ”Mereka harus diarahkan, termasuk urusan capres-cawapres ini.”
Tapi, di luar pondok lain lagi. Di TPS 01 yang berjarak sekitar 500 meter dari pesantren, SBY-Boediono meraup 119 suara, menang tipis dari JK-Win yang mendulang 107 suara. Mega-Prabowo lumayan, mendapat 3 suara. Di TPS 33 dan 34 Dusun Gelidik, SBY-Boediono mendulang 263 suara, sedangkan JK-Win 128. Di empat desa sekitar pondok, Desa Banyuputih, Sumberanyar, Sumberwaru, dan Wonorejo, SBY-Boediono unggul dengan 10.002 suara, sedangkan JK-Win 3.613 suara hampir sama perolehan suara Mega-Pro, 3.647 suara. ”Bukan karena kiai sudah tak didengar masyarakat, tapi mungkin karena faktor DPT dan ancaman,” kata KH Fawaid. Di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Pajarakan, Probolinggo, Kalla bahkan hanya menang di sejumlah TPS di lingkungan pondok berusia 170 tahun itu. Di lingkungan sekeliling, SBY yang berjaya.
Empat hari sebelum pencontrengan, istri JK, Mufidah Kalla, berkunjung ke Genggong. Di hadapan calon ibu negara, pengasuh Pondok Genggong KH Hasan Mutawakkil Alallah menyeru para santri dan masyarakat Probolinggo memilih JK-Win. Seruan yang mendebarkan hati karena sang kiai adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Tokoh masyarakat Pajarakan, Mohammad Sulthon, menilai kekalahan JK-Win di Genggong bermakna: dawuh (ucapan) kiai sudah tak dipatuhi masyarakat sekitar, bahkan santrinya sendiri. ”Kini masyarakat lebih sreg mengikuti kata hatinya sendiri,” kata Sulthon.
Namun KH Mutawakkil Alallah seperti tak terbebani dengan kekalahan kandidat pujaannya. Baginya, kekalahan JK-Win yang disokong kiai justru menjadi penanda arus balik tata pergaulan politik kiai. Ulama NU kembali solid setelah sempat terpecah-belah dalam berbagai peristiwa politik, baik tingkat daerah maupun pusat. ”Meski suaranya kecil, semua ulama NU di Jawa Timur mendukung Pak JK sebagai satu-satunya kader NU dalam pemilihan presiden,” kata dia. ”Jadi, Pak JK kalah dengan mulia dan terhormat.”
Dwidjo U. Maksum, Hari Tri Wasono (Kediri), Ika Ningtyas (Situbondo), Mahbub Djunaidy (Probolinggo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo