Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memotong alat vital

Karena dituduh main serong, seorang pedagang anyaman bambu dari karawang, memotong alat vitalnya, hingga putus. (ina)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Kampung Sukaruji di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat, geger. Bukan lantaran Gunung Galunggung meletus lagi, tetapi suatu subuh pertengahan bulan lalu terdengar jeritan dari rumah Eman Sulaeman. "Wah, jangan-jangan ada perampok," ujar seorang penduduk. Ternyata, Eman tidak dirampok: ia berguling-guling di lantai, mengerang kesakitan, sembari memegangi selangkangannya. Darah mengucur membasahi sarungnya. Nuriah, istrinya, pucat pasi kebingungan. Dari mana sumber darah itu? "Saya benar-benar terkejut. Darah itu mengucur dari kemaluan Eman yang terpotong," kata Daiji, tetangganya. Penduduk berdatangan dan segera menolong. Ada yang membalut luka, ada yang mencari kendaraan. Nuriah pun mengambil inisiatif membungkus potongan "anu" sang suami dengan sapu tangan. Eman bersama potongan itu dibawa ke RS Tasikmalaya. "Siapa tahu, barangkali masih bisa disambung," kata Nuriah berharap-harap cemas. Sampai pekan lalu, Eman masih terbaring di rumah sakit. Celaka: potongan alat vitalnya tak bisa disambung lagi. "Potongan itu tidak rata, pisau yang dipakai tidak steril," ujar seorang perawat. Kasus Eman menjadi bahan gunjingan para pasien RS Tasikmalaya. Alkisah, "kecelakaan" itu terjadi gara-gara Eman tak tahan menghadapi fitnah. Pedagang anyaman bambu yang memasarkan barangnya d Karawang ini menumpang di Desa Sambang, Kecamatan Rengasdengklok. Ceritanya: sebulan sekali ia mengunjungi istri dan dua anaknya di Sukaruji, sambil menyetor uang belanja. Sudah lima tahun hal itu berlangsung, Eman berhasil membangun sebuah rumah tembok. "Kecelakaan" itu pun datang, 16 Februari lalu. Waktu itu Eman pulang menengok istri dan anaknya. Selain menyetor uang buat menghidupi keluarganya, ia pun bermaksud menyetor "nafkah batin". Tetapi Nuriah mogok. Ia menolak bahkan menuduh suaminya ada main dengan perempuan lain di rumah tumpangannya di Desa Sambang. Didesak-desak, istrinya tak mengaku dari mana berita buruk itu dan siapa penyebar fitnahnya. "Saya tinggal di Karawang berdagang. Kalau mau menyeleweng, kenapa harus jauh ke Karawang?" protes Eman, jebolan pesantren Awipari, Tasikmalaya, ini. Maka, kemudian mendadak muncul agasan aneh di benak Eman. Usai sembahyang subuh esoknya, ia bermaksud menjerang air. "Ketika itu, saya melihat pisau tergeletak di meja dapur," tuturnya. Dan entah setan mana yang merasuki lelaki ini, "tanpa saya sadari, pisau itu saya genggam," centa Eman. Tidak sekadar digenggam, tetapi langsung digunakan buat mengiris "barang"-nya. Eman berusaha menahan sakit, tetapi karena tak tahan ia menjerit. Dan "kecelakaan" itu pun terjadilah. "Saya menyesal telah menuruti bisikan setan. Niat saya hanya ingin membuktikan bahwa fitnah itu tidak benar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus