Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pohon-pohon di warsawa

Reportase a.m rosenthal, redaktur pelaksanaan the new york time magazine, tentang polandia. (sel)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA musim semi yang lalu A.M. Rosenthal, dari The New York Times Magazine, mengunjungi Warsawa, ibu kota Polandia, ia hampir tak bisa mempercayai matanya. "Begitu banyak pohon yang rimbun," tulisnya. Dulu, waktu bekerja di Warsawa, tak pernah ia melihat "sebatang pohon pun". Begitulah boleh dikatakan. Rosenthal bukan nama yang sepele. Tokoh ini redaktur pelaksana TNYTM, dan pada 1958-1959 menjadi koresponden maialah itu di Warsawa. Untuk berbaai tulisannya tentang Polandia, ia pernah menerima Hadiah Pulitzer. Dan kini, setelah 24 tahun, ia kembali antara lain untuk menghadiri pemakaman Grzegorz Przemyk, pemuda remaja yang ditangkap polisi dan dipukuli hingga mati. Peristiwa itu sendiri mengobarkan kemarahan rakyat Polandia, dan gemanya membubung di angkasa dunia. Rosenthal bertutur antara lain: *** Warsawa yang pernah kukenal, 14 tahun sesudah perang, berwarna kelabu, keras, dan suram, dengan jalan-jalan penuh puing. Ketika terbang kembali ke kota ini, aku merasakan bukan hanya kembali ke sebuah tempat, tapi pulang ke sebuah kesedihan. Karena itu pemandangan pepohonan yang rimbun di musim semi, dan begitu banyak pohon yang baru, mengejutkan diriku oleh keindahannya yang tak terkenang. Pada saat-saat permulaan itu aku berpikir: boleh juga mungkin keadaan sudah lebih baik, atau paling tidak akan menjadi lebih baik. Belakangan, aku tertawa sendiri: baru saja kembali ke Warsawa sudah berangan-angan seperti orang Polandia, percaya akan hal-hal ajaib. Sekarang aku sampai di Powazki, tanah permakaman. Dari lapangan udara langsung menuju ke tempat ini karena Grzegorz Przemyk akan segera dikebumikan. Dialah orang yang terdini di antara para martir Polandia. Kemudian terjadi sesuatu. Selama jam-jam berikutnya, terjadi sesuatu dalam diriku. Lebih dari ketika selama satu setengah tahun aku tinggal di Polandia sebagai koresponden, lebih lagi dari waktu apa pun sesudah itu, aku rasakan diriku sebagai bagian dari Polandia. Dan gumpalan kecil dalam hatiku mencair, setidak-tidaknya mulai mencair. Kukatakan, semua ini kurasakan ketika di Powazki. Pemuda itu, Grzegorz Przemyk, 19 tahun, dipukul hingga mati oleh polisi beberapa hari sebelumnya. Betul-betul dipukul hingga mati. Waktu itu ia berfoya-foya bersama teman-temannya, merayakan berakhirnya serangkaian ujian sekolah menengah. Ia bergembira ria di Kota Lama, bagian dari Warsawa yang bagai sebutir permata, dan yang paling dulu dibangun kembali oleh orang Polandia seusai perang. Di sinilah kaum remaja Polandia berjalan-jalan, dan bercumbu rayu, dan minum, dan sesekali melahirkan protes. Grzegorz ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dan dipukuli - apakah karena para anggota polisi kebetulan hanya merasakan kejengkelan khusus terhadap anak muda yang riang gembira, ataukah karena mereka tahu ia putra seorang wanita yang aktif dalam gerakan Solidaritas, atau karena dua-dua alasan itu. Kemungkinan kedua-duanya. Ia dipukul, dipukul. Kemudian dibawa ke sebuah pusat pertolongan pertama, dan disitu ia mati. Gerakan Solidaritas telah dilarang. Hari-hari penuh semangat telah dipadamkan oleh keadaan darurat perang. Polisi berada di mana-mana. Setiap orang merasa demikian lesu. Tapi kejadian ini benar-benar keterlaluan, dan seketika Grzegorz Przemyk menjadi martir Polandia. Pada hari pemakamannya, kaum muda Warsawa keluar dalam jumlah ribuan. Mereka mengawal peti mati itu, mulai dari gereja hingga tanah permakaman yang beberapa kilometer. Aku berada di jalan ketika mereka mendekat ribuan demi ribuan, remaja sekolah menengah. Sepanjang tepi jalan penuh orang, puluhan ribu jumlahnya. Mereka juga membisu - hanya suara berdesar terdengar sewaktu mereka meneruskan ikatan bunga, dari tangan melewati kepala, kepada anak-anak muda itu, untuk ditempatkan di kubur. Pada saat iring-iringan lewat, orang sepanjang jalan mengangkat tangan mereka, membentuk isyarat yang paling dibenci pemerintahan militer - V, kemenangan. Waktu aku di Polandia dulu, negeri itu juga terkekang - seperti halnya sekarang. Orang juga dipukul. Juga ada kematian. Tapi tidak ada iringiringan penentangan. Pemberontakan 1956 telah ditumpas hingga menjadi ketaklukan dan Polandia kembali gelap. Tak pernah aku menyaksikan kebencian dan penghinaan seperti ini, berbaris secara terbuka melaiui jalan-jalan Warsawa. Aku merasa agak sukar menyadari keadaanku. Setiap langkah seorang pemuda, setiap bunga, setiap isyarat V, merupakan tindak pembangkangan terhadap Pemerintah. Begitu juga sikap anggun, kemeja dan celana rapi yang dikenakan para pemuda, gaun para pemudi yang tampak baru diseterika, derap langkah yang teratur. Mereka mengontrol diri sendiri. Beribu-ribu jumlahnya, berdiri dalam upacara pemakaman itu. Mereka menyanyikan lagu-lagu pujian Katolik Polandia . Himne yang biasanya diakhiri dengan "Tanah Air dan Kemerdekaan, berkatilah, oh, Tuhan," mereka ubah katakatanya menjadi kecaman: "Tanah Air dan Kemerdekaan. kembalikanlah kepada kami, oh, Tuhan." Mereka mengacungkan tangan membentuk V. Kemudian menurunkannya. Sejenak kemudian kembali mengacungkan tangan, dan menyanyikan lagu nasional - lagu kebangsaan Polandia yang khas, yang tak berbicara tentang kemenangan-kemenangan Polandia tetapi tentang pendudukan oleh musuh, dan yang merupakan pekikan para pejuang pembebasan. Mereka bernyanyi mengenangkan seorang jenderal yang pernah berjuang demi Polandia, dan yangtak dikenal melainkan dalam hati orang Polandia. Mereka mengumandangkan namanya seakan-akan ia hidup saat ini, menjunjung pengharapan mereka di ujung pedangnya sejak dari Italia hingga ke Polandia: "Maju, maju, Dabrowski!" Tentu saja aku merasakan duka dalam hati ketika berdiri di tengah kerumunan itu. Tapi aku juga menyadari, dan terkejut karena kesadaran itu, bahwa ada batas tertentu dalam diriku - kesan menjarakkan - yang memisahkan aku dari mereka yang berdukacita. Cepat aku kenali perasaan itu - karena aku pun menyadari penjauhan tertentu seperti itu waktu aku masih tinggal di sini dulu. Dan aku tahu sebabnya. Ketika aku seorang reporter dulu, aku merasa prihatin akan riwayat penderitaan Polandia. Aku merasa akrab dengan sikap antikomunis rakyat yang juga melibatkan diriku. Ada keakraban dengan pemerintah Polandia. Aku bahkan merasakan simpati tertentu kepada orang komunis Polandia, yang berupaya sekuat-kuatnya melindungi sisa kedaulatan negeri mereka terhadap penaklukan total oleh Uni Soviet . Tetapi aku bukanlah orang yang romantis mengenai Polandia. Ada suatu gumpalan beku dalam hatiku, yang mencegah diriku bersikap cengeng. Dan itu ialah kesadaran tentang adanya sekelumit sikap anti-Semit dalam sejarah Polandia. Aku tidak pernah bisa melupakan itu, sekalipun secara langsung aku sendiri tak pernah menderita karenanya. Aku tahu, sikap anti-Semit itu bagian dari iklim Polandia sebelum Perang Dunia ll. Sikap itu telah ada selama dan sesudah perang, dan telah ada sewaktu aku tinggal di Polandia. Sikap itu bahkan masih hidup pada tahun 1968, ketika orang komunis Polandia mengusir ribuan orang Yahudi dari negeri itu - hampir semua Yahudi yang sempat selamat dari pembantaian Perang Dunia II. Aku hampir tak pernah menulis mengenai itu. Tetapi di permakaman itu aku merenung ketika mendengarkan nyanyian itu: mungkinkah orang Polandia akan hadir dalam jumlah sebanyak ini, andai pemuda yang dimartirkan itu keturunan Yahudi? Aku merenung, pernahkah ada pernyataan dan keprihatinan umum sehebat itu, kapan saja, di mana saja di Polandia, bagi korban peristiwa Holocaustyang begitu mengerikannya: pembantaian banyak orang Yahudi oleh kaum Nazi di Polandia. Aku merasa agak malu karena renungan seperti itu, pada saat seperti itu. Kemudian aku menyadari bahwa, tidak, renungan itu bukan tak pantas begitu juga kenangan yang kembali hidup. Yang tidak pantas justru rasa keterpisahan yang terus berkelanjutan. Mereka yang berdiri di bibir kubur dan sekitarnya adalah anak-anak muda, lebih muda, kebanyakannya, daripada anak-anakku sendiri. Apa hubungan mereka dengan perasaan yang menyebabkan gumpalan ini, dalam hatiku ini? Anak-anak ini, dan orang-orang dewasa itu, yang mungkin orangtua mereka, yang tak ubahnya kakak dan adikku sendiri, apa yang aku ketahui tentang pikiran dan hati mereka? SAAT itu aku tahu bahwa, meski aku tak pernah akan bisa atau pun harus melupakannya, perasaan itu justru tak menghargai kenangan akan pengorbanan sekian banyak orang Yahudi - begitu aku bisa menjauhkan diri dari duka kematian seorang pemuda yang terbunuh. Dan para remaja yang berkumpul sekitar liang itu, tiba-tiba mereka bagai anak-anakku sendiri. Aku bebaskan mereka dari beban sejarah - dan dengan begitu juga diriku sendiri, dari beban kesalahan besar mendakwa mereka yang tak berdosa. Beberapa hari kemudian aku berada di ruang kantor mewah seorang yang pernah kukenal semasa aku bekerja sebagai reporter, Meiczyslav Rakowski. Kini kedudukannya dalam pemerintah sangat tinggi, wakil perdana menteri. Kendati pernah terpandang sebagai cendekiawan dan seorang "liberal" - menurut ukuran komunis - kini ia sangat tidak disukai di kalangan cendekiawan, bahkan lebih dibenci dari kebanyakan tokoh lain yang melibatkan diri dengan rezim militer itu. Aku bercerita kepadanya tentang upacara pemakaman itu, dan ia terpaksa mengakui bahwa pembunuhan Grzegorz Przemyk merupakan suatu malapetaka bagi Pemerintah. Aku berkata, "Anak-anak di luar sana. Mereka membencimu. Dalam pendapatku, Anda telah memenangi kebencian setiap remaja di Warsawa. Pengharapan apa lagi yang bisa Anda miliki?" Rakowski tak marah. Kedudukannya terlalu tinggi, otaknya terlalu cerdas, untuk disia-siakan dengan kemarahan. Tapi ia juga tak mengingkari kenyataan. Memang betul, katanya, tapi suatu hari kelak kaum muda itu akan mengerti dan kembali, barangkali. Baru di pelabuhan Zurich, dengan jarak Warsawa hanya dua jam menjelang, aku mulai mengerti, atau lebih tepat mencoba mulai merenungkan, mengapa sebetulnya aku kembali ke Polandia. Negara lain yang pernah aku diami, ketika aku seorang reporter, menjadi bagian dari jiwaku. Aku kembali ke berbagai negeri itu berulang kali: India, Jepang, berbagai negeri lain di Asia, dengan senang hati. Tapi kukira Polandia sudah aku hapuskan pada hari aku menyeberangi perbatasan karena diusir. Sudah pasti bukan ketakutan yang mencegahku selama ini untuk kembali ke sini. Sudah sejak bebeapa tahun aku tahu, jika pada suatu waktu orang Polandia mengizinkan aku kembali, pemerintahnya akan memperlakukan diriku dengan sopan. Aku tak pernah mengusahakan visa. Juga bukan kemarahan. Sebelum maupun sesudah masaku di Warsawa itu, aku berkenalan dengan berbagai pemerintahan yang lebih buruk, bahkan lebih kejam daripada pemerintah Polandia, dan berkenalan dengan rakyat di bawah penindasan yang membuat kehidupan di Polandia itu tampak cukup halus. Aku tidak kembali karena, menjelang saat aku meninggalkan Polandia, aku telah kenyang untuk seluruh hidupku dengan segala kekelabuan, kejemuan, kelambanan, kemalasan berpikir dan berucap, kepongahan yang dianggap kelincahan berbicara, klise usang yang dianggap kejenakaan, kelangkaan menyeluruh akan rangsangan mental, yang merupakan inti suatu masyarakat komunis serta apa yang dibebankannya atas mereka yang dikuasai. Aku telah kenyang, sekenyang-kenyang perut. Ketika akhirnya aku mengurus juga suatu visa, setelah 24 tahun, semuanya cukup lancar. Di New York aku meyakinkan diriku, kepergian itu hanya sebagai selingan pekerjaan di kantor. Di lapangan udara Zurich itu aku tahu bahwa semua itu omong kosong. Pelabuhan itu bisa saja sebuah pelabuhan udara di sembarang negeri bebas. Tetapi ini Zurich. Apa saja tersedia tanpa batas, begitu bebas, begitu santai. Di tempat penjajaan koran dan di kedai buku, disajikan bacaan dalam setiap bahasa, dan cerita klasik dan cerita sampah dan opini dan fakta. Bacalah apa saja yang Anda suka, apa saja! Terlebih lagi papan elektronik jadwal penerbangan dan pengeras suara itu - semuanya mewakili kebebasan untuk memilih. Pergilah, Bitte, pergilah ke mana saja hatimu suka. Aku merenungkan, oh, engkau wanita Swiss yang mengumandangkan berbagai tujuan penerbangan, tak kau ketahui bahwa dalam jarak hanya dua jam perjalanan, ada orang yang akan mengeluarkan air mata bila sempat mendengarkanmu. Dan bahwa jika engkau mengumumkan Warsawa sebagai tujuan penerbangan, ada orang-orang yang naik ke pesawat itu sadar bahwa mereka mungkin tak pernah lagi akan menyaksikan lapangan udaramu ini atau mendengarkan suaramu yang merdu menyenandungkan tujuan santai milik kemerdekaan . Dan siapakah engkau, hai wanita Italia yang jelita, berjalan menuju ke mana saja bersama anak-anakmu yang manis, siapa engkau hingga demikian bahagia? Dan engkau, pria berbahasa Jerman (Swiss, Jerman, Austria, apalah bedanya), siapakah engkau hingga berhak mengambil bagian dalam kesantaian milik kemerdekaan di tempat penjajaan majalah? Mengapa justru engkau, wanita Italia dan pria berbahasa Jerman, dan mengapa bukan orang Polandia, tetangga sebelah.? Dan engkau, wartawan Amerika, yang bisa datang dan pergi sesuka hatimu dan menulis sesuka hatimu, dan belum pernah mengalami sehari penuh kekurangan, atau merasakan ketakutan murni terhadap polisi, siapa engkau, dan mengapa engkau bebas di sini, sementara orang lain yang serupa engkau berada di sana, terbelenggu, tersumbat? Maka kemudian aku tahu mengapa aku kembali ke Polandia. Untuk mengunjungi orang yang serupa dengan diriku ini, tak lebih buruk dan tak lebih baik tetapi yang musibahnya tidak aku alami - bukan karena keunggulanku, melainkan hanya berkat suatu kebetulan yang diberkahi dari tempat lahirku. *** Aku tak pernah kenal Polandia selama masa rontaan kemerdekaannya. Saat aku tiba pada tahun 1958, "musim semi pada bulan Oktober" - kilauan kebebasan yang singkat dan gemilang pada tahun 1956 itu - sudah ditumpas oleh jagoannya yang pertama, Wladyslaw Gomulka. Dan aku diusir sebelum terjadi rontaan pada tahun 1960-an. Aku diusir akhir 1959 berdasarkan perintah pribadi Gomulka, karena apa yang oleh Kementerian Luar Negeri Polandia secara sopan digambarkan sebagai "terlalu mendalam membeberkan situasi intern Polandia". Dan kini aku memutuskan untuk kembali ke Warsawa sesaat sebelum kunjungan Paus. Sejak dulu aku meyakini, saat yang paling tepat untuk mengenal suatu negeri ialah bila tak sedang berlangsung suatu peristiwa yang sempat menutupi kenyataan kehidupan sehari-hari dan politik - jangan ada pemilihan umum, jangan ada malapetaka, jangan ada perayaan nasional, atau luapan kegembiraan yang aku yakin akan dibangkitkan oleh kunjungan Paus itu. Pengalamanku selama di Polandia membuat aku meyakini dua hal. Pertama, kebencian orang Polandia terhadap pemerintah mereka demikian hebat, hingga hampir tak ada taranya di mana pun. Kedua, mereka sebenarnya tak punya peluang untuk menggantikan pemerintahan itu atau mengubahnya secara berarti. Aku mulai memahami apa yang sudah diketahui semua orang Polandia, tetapi agaknya sewaktuwaktu dilupakan - bahwa satu-satunya realitas Polandia ialah Tentara Merah dari Uni Soviet. Rusia itu bisa saja mengizinkan para pemimpin Komunis Polandia membuka keran dari waktu ke waktu, membiarkan hasrat kemerdekaan sekadar menetes. Tapi pada saat timbul gejala bahaya yang sesungguhnya, Rusia akan menutup kembali keran itu sekencang-kencangnya - melalui disiplin partai yang dikenakan dari Moskow atas pimpinan Komunis Polandia, ditunjang oleh ancaman pencekikan ekonomis. Jika ancaman dan tekanan itu tak membawa hasil, senantiasa masih tersedia Tentara Merah yang sejumlah divisinya sudah berada di negeri itu berdasarkan Pakta Warsawa, sedang sisanya selalu hadir di perbatasan. Aku tidak percaya bahwa, kapan pun, Uni Soviet akan mengizinkan suatu Polandia yang bebas - atau menyetujui suatu kendali yang lebih longgar bagi negeri ini, seperti yang dikenakan pada sejumlah bangsa terbelenggu lain (mengapa semakin langka pemakaian istilah "bangsa terbelenggu", ungkapan yang sungguh tepat itu?) karena itu berarti ancaman kebebasan tepat di tapal batas Soviet sendiri. Dan kebebasan yang sesungguhnya, bukan sekadar kekangan yang lebih kendur, tak terbayangkan - kalau memang Uni Soviet, yang masyarakatnya sendiri didasarkan atas ketiadaan kebebasan itu, ingin selamat. Orang-orang di Kremlin belum pernah menunjukkan gelagat ingin bunuh diri. Maka, selama berhari-hari pada bulan Agustus 1980, ketika Solidaritas lahir di galangan kapal Gdansk dan tiba-tiba menjelma menjadi suatu gerakan nasional - bukan hanya milik buruh sebagai pembentuknya, tapi juga milik semua orang Polandia yang mendambakan kemerdekaan - aku di New York mengikutinya dengan perasaan agak heran. Bukan karena adanya ledakan yang baru. Tapi karena orang Polandia dan para simpatisan mereka di luar negeri itu yakin, bagaimanapun revolusi Polandia yang baru ini akan berhasil - sementara yang lain, pada tahun 50-an, 60-an, dan 70-an, telah gagal - dan bahwa Rusia akan mungkin menyetujui suatu konsep yang bersifat anti-Soviet sedemikian tuntas seperti halnya serikat buruh merdeka dan kebebasan berpendapat itu. Kemudian, ketika sasaran Solidaritas semakin meninggi (sepertinya tak terelakkan bahwa kemerdekaan selalu melahirkan kehausan akan lebih banyak kemerdekaan) dan mengajukan tuntutan agar rakyat diberi hak suara dalam pemerintahannya sendiri, agar diadakan pemilihan umum yang bebas, agar Partai Komunis membagi kekuasaannya dengan berbagai unsur lain di dalam masyarakat, dan agar partai itu sendiri direorganisasikan hingga memungkinkan adanya kebebasan pilihan dan pembagian kekuasaan, aku sama sekali tidak menyangsikan bahwa saat akhir pemberontakan sudah dekat. Seperti mungkin juga orang Rusia sendiri, aku heran. Bagiku seperti begitu gamblang untuk memahami, para penguasa Soviet itu cukup mengerti bahwa kalau memang orang Polandia boleh memiliki kebebasan memilih, mengapa orang Rusia tidak? Kemudian akhir riwayat itu memang tiba. Tentu saja. Dan Rusia menyapu bersih semua omong kosong tentang kebebasan-di-bawah-Sosialisme itu. * * * Ketika aku seorang reporter di luar negeri, langkahku yang pertama setelah tiba di sebuah kota yang baru, dan setelah menyimpan barang bawaan, ialah mengembarai kota itu berjalan kaki - mengorek sana mengorek sini, tak bertujuan khusus, mengosongkan pikiran sebanyak mungkin hingga bisa terisi kembali dengan kenikmatan penemuan baru. Begitulah, dalam perjalanan menuju hotel seusai upacara pemakaman Grzegorz Przemyk, aku memutuskan mengusahakan cara itu. Tentu saja aku tak mungkin melakukan itu sepenuhnya. Aku bukan wadah kosong. Hati dan jiwaku pernah terisi oleh Polandia. Kalau dari semua negeri asing India merupakan yang paling kuat di hatiku, maka Polandia paling kuat di perutku. India adalah pihak lain. Polandia adalah diriku. Begitulah, ketika aku kembali ke Polandia, ternyata kesan dan renungan selama aku mengembarai Warsawa, dan sempat menjelajah ke luar kota, terpusatkan pada apa yang paling menarik perhatian. Aku kira itu mungkin bisa disaring menjadi sejumlah kecil pertanyaan . Apakah keadaan orang Polandia, dalam kehidupan sehari-hari, lebih baik di tahun 1983 daripada di tahun 1959? Danbagaimana mungkin orang Polandia yakin akan mampu mengubah masyarakat melawan penindasan Rusia? Apa yang hidup dalam pemikiran mereka: menganggap diri bertempat tinggal di bulan, suatu ungkapan yang gemar diucapkan sahabat-sahabatku orang Polandia, dulu? * * * Tidak, kehidupan tidak menjadi lebih baik. Kalau pun ada perubahan, malahan memburuk. Dan itu mengejutkan aku. Aku meninggalkan negeri itu pada saat kehidupan orang Polandia merupakan suatu kelelahan yang menjemukan, serba kekurangan dan ketiadaan pada saat kehidupan itu berupa antrean hendak beli ini dan antrean hendak beli itu, hanya untuk akhirnya diberitahu bahwa tidak ada ini atau idak ada itu di saat apa pun berupa rongsokan, sudah lima kali bekas, selalu penuh sesak dan tidak menyenangkan dan orang terpaksa mendorong dan menggunakan sikunya untuk memperoleh sesuatu di saat wajah orang tampak lesu karena terpaksa bekerja di dua tempat di saat menyuap dan menipu dan mengambil jalan pintas dianggap suatu keharusan moral, karena bagaimana mungkin bisa hidup jika kehidupan itu sendiri suatu penghinaan sehari-hari. Sesak, pengap, tak menyenangkan, langka kesenangan, melimpah kekurangan. Suatu penghinaan. Kita semua, baik orang asing maupun orang Polandia di Warsawa, tahu bahwa yang menghambat Polandia, ketika negeri lain bergerak maju, sebagian tentunya sistem itu sendiri - sistem yang telah melenyapkan kreativitas dan inisiatif, dan menjadikan ketidakjujuran dan penipuan bukan lagi masalah moralitas melainkan penyelamatan diri. Tapi banyak dari problem itu bersumber dari Perang Dunia II. Tak bisa disangkal bahwa negeri lain yang juga menderita akibat pemusnahan oleh Jerman kini berkembang. Tapi hanya sedikit orang, yang pernah melihat akibat penghancuran yang mengerikan atas Kota Warsawa dan berbagai kota Polandia lain, serta seramnya kebiadaban kaum Nazi yang masih terasakan dari tumpukan puing di mana-mana, yang akan sampai hati mencela Polandia karena kelambanan pembangunannya. Yang jelas, aku tidak. Dan orang Polandia tak hanya menderita akibat kebiadaban Jerman. Tapi juga oleh penghisapan Soviet: perampasan provinsi bagian timur, dilanjutkan dengan pencurian peralatan mesin dan bahan baku dari sekeliling negeri itu. Sediakan sedikit waktu lagi baei Polandia. begitu kita saling berkata dulu. Nah, waktu sudah diberikan. Tapi waktu itu tak membawa perbaikan, melainkan kemerosotan. Waktu itu hanya membawa pendalaman rasa benci rakyat terhadap pemerintahan komunis, terhadap rezim canggung yang silih berganti, terhadap penghamburan sia-sia bermilyar dolar yang dipinjamkan bank Barat, dan terhadap kebangkrutan Polandia yang oleh bank-bank itu tak diakui karena mereka terlalu takut. Sistem itu - bukan bangsa, dan itu sama sekali berbeda - telah gagal. Sama sekali gagal. Bahkan lebih suram keadaannya daripada di mana pun di Eropa Timur. Sistem itu hanya bertahan demi kekhawatiran bank-bank Barat. Dan ia dipertahankan oleh kesadaran abadi bangsa Polandia - gereja dan rakyat dan interaksi antara keduanya - bahwa penekanall sekuat tenaga terhadap pemerintah tak hanya mungkin menjatuhkan para komunis Polandia, tapi juga mengundang masuk bala tentara Rusia. Berbagai bank itu bisa saja menyulap dan menangguhkan pembayaran bunga (modal pokoknya dianggap sudah lenyap) menghindari suatu pernyataan bangkrut resmi Polandia, yang mungkin bisa lebih membahayakan struktur rapuh pinjaman internasional kepada negera miskin. Tapi tak ada yang bisa menutupi kebangkrutan sebenarnya - kegagalan mutlak sistem Komunisme Polandia - untuk mewujudkan apa pun yang menyerupai kehidupan pantas bagi rakyatnya sendiri. Makanan memang cukup untuk sekadar mempertaharlkan hidup. Juga sejumlah sandang, dan perumahan yang sesak dan merusakkan jiwa orang. Ini memang dihasilkan sistem itu. Tapi di mana pun, di setiap kota Polandia, kegagalan sistem itu untuk mewujudkan sesuatu yang lebih layak - sebutkan apa saja, sekalipun itu barang setara dengan yang mungkin hanya akan memuaskan orang Eropa Barat yang paling miskin atau orang Amerika yang paling miskin - bisa disaksikan setiap hari. Seperempat abad lalu orang harus antre untuk membeli barang, dan di akhir antrean itu imbalannya hanya nie ma - tak ada lagi. Dan hari pertama ketika aku kembali, berjalan kaki keliling Warsawa, melihat dan mendengar orang bercerita, aku menjadi sadar bahwa antrean itu lebih sering terjadi, dan lebih panjang bahwa upaya seorang Polandia hampir tak menghasilkan apa pun, kecuali untuk sekadar mempertahankan hidup, sementara hidup itu sendiri suatu penghinaan. "Kekurangan" untuk hampir semua jenis barang. Bahkan istilah itu sendiri suatu kebohongan. Yang benar, "kekurangan" itu patokan, sementara kecukupan adalah khayalan. Tak terlihat orang telanjang. Tak ada orang kelaparan. Tak ada orang tergolek di jalanan. Tapi wajah orang bersinar kelabu dan lesu. Orang bekerja mencari nafkah, orang bekerja agar bisa hidup. Antre, menunggu, antre, menunggu, mengejar, melihat, tukar-menukar, bikin perjanjian, menyuap, antre. Bila saja tampak suatu antrean, orang segera bergabung, baru kemudian bertanya apa yang sebenarnya dijual di ujung sana - sepotong kain, sejumlah kursi kayu, beberapa ekor ikan, buku. Bergabunglah - tak pernah bisa ditentukan kapan ada kesempatan lain. Kalaulah akibat itu orang terlambat masuk kerja, yah, siapa sih yang tidak? Itu sebuah toko, dan sepertinya ada sesuatu yang diperagakan di balik jendelanya. Berlarilah mendekat. Perhatikan lebih saksama, dan ternyata barangnya itu-itu juga - satu macam. Toko itu kebetulan baru menerima salah satu kiriman berkala - berupa barang yang meluap, sejenis benda yang dari waktu ke waktu dimuntahkan sistem itu dan disebarkan melalui seluruh toko. Kali ini barangnya berupa deterjen maka terdapat deterjen di balik jendela, deterjen di lantai bawah, di lantai pertama, di tiap lantai. Tapi tak terlalu jelek juga belilah sebanyak kemampuanmu. Beberapa pekan lalu tak ada persediaan sabun jenis apa pun, jadi sebaiknya mengadakan simpanan sedikit-dikit. Itu suasana di toko serba ada yang terbesar di Warsawa. Cobalah memasuki toko itu - tak usah lama-lama. Sebetulnya tak ada barang apa pun yang pantas dibeli semuanya begitu menyedihkan dan menjemukan. Semula, aku kira yang diperagakan itu sejumlah besar meja. Kemudian aku menyadari, itu sebetulnya meja peragaan toko yang kosong barang. Tapi orang Polandia sendiri menjelajahi toko itu dengan saksama. Kalau di salah satu meja ada ditawarkan sejumlah kaus kaki atau baju katun atau kosmetika murahan atau kemeja pria, suatu antrean cepat terbentuk. Tak jelas bagiku apakah pelayan toko itu termasuk yang paling malas di dunia atau yang paling capek di dunia. Antrean itu seperti tak pernah bergerak maju. Lebih sering orang-orang itu hanya berputar-putar di toko sambil mengamati koleksi barang yang tak bermutu sesekali berhenti sesaat, mempelajari setumpuk rongsokan plastik berupa patung-patung jelek bikinan salah satu negeri 5Osialis, kemudian meneruskan lagi menjelajahi toko. Hari ini Sabtu pagi. Aku pergi ke pinggiran kota bersama John Kifner, koresponden Times di Warsawa. Sedang berlangsung "pasar bebas" di sebuah lapangan terbuka, dan peristiwa itu menarik ribuan demi ribuan orang setiap Sabtu dari pukul 9 hingga 12. Semula aku merasakan kegairahan melihat kerumunan dan kesibukan. Aku kemukakan kepada Kifner, sebenarnya tak ada yang lebih baik daripada dagang bebas kecil-kecilan untuk menggairahkan kehidupan. Ia tak banyak bicara,hanya mengantarkan aku berkeliling. AKU hampir saja mengeluarkan air mata di pasar ini. Tersebar di seluruh bentangan lapangan, bertumpuk-tumpuk di tanah atau di bawah tenda, adalah rongsokan, tumpukan demi tumpukan rongsokan. Orang hilir mudik, berjongkok memeriksa setumpukan obeng berkarat, paku bekas, sepatu lecet, buku bekas yang rapi terbungkus plastik, sebuah payung, mainan sedikit cacat, memeriksa apa pun dalam kehausan akan sesuatu yangmungkin bisa membuat kehidupan itu dirasakan sedikit lebih nyaman. Berkelok-kelok melalui padang rumput itu terlihat seuntaian panjang orang yang berdiri sambil menggenggam satu-satunya benda yang hendak mereka jual. Seorang gadis menyodorkan, selama sekian jam, selembar selendang yang kumal. Seorang laki-laki menjajakan sehelai kemeja. Selusinan wanita berdiri masing-masing mengepit sebuah mantel bekas. Sepasang sepatu diangkat laki-laki yang satu, setube tapal gigi dipegang oleh yang lain. Itulah: kesaksian di udara terbuka atas ketidakmampuan pemerintah Polandia menghasilkan cukup banyak sepatu, celana, buku, obeng, suku cadang radio, kemeja, sehingga rakyatnya perlu menempuh perjalanan berkilometer untuk mengoreksi tumpukan barang rongsokan yang di Amerika Serikat pasti sudah masuk tong sampah. Empat dasawarsa setelah perang. Empat dasawarsa penuh pengorbanan dan banting tulang. Dan semuanya di situ, terhampar di lapangan rumput itu. Suatu penghinaan. Tak ada orang mati kelaparan, memang. Di salah satu kota, terlihat olehku sebakul buah persik kecil dijajakan, tepat di simpang utama kota itu. Dijajakan. Sebakul buah persik. Dan di Cracow darahku mendidih. Kali ini bukan karena "kekurangan" dan kelangkaan. Tapi karena pemandangan dari sesuatu yang cukup bermutu di balik jendela toko di pusat kota itu: selembar celana jin Amerika yang bagus dan kuat. "Boleh juga," aku menyapa Kifner. "Mungkin mereka baru dapat kiriman celana jin. Aku heran barang itu belum sempat dilalap". Kifner menunjuk pada tulisan di atas pintu toko itu - Pewex. Itu adalah toko dolar. Orang hanya bisa berbelanja di sini bila ada persediaan dolar. Ketika aku dulu di Polandia, toko semacam itu juga sudah ada, tapi jumlahnya tak banyak dan kehadirannya tak menyolok tentang itu pemerintah cukup hanya tenggang rasa. Sekarang pemerintah Polandia, karena kehausannya akan dolar, mendirikan toko seperti itu di tiap tempat - toko yang menjual barang kosmetik atau obat-obatan atau pakaian, barang biasa sekali, yang hanya bisa dibeli dengan dolar. Tak banyak ragam persediaan di toko dolar itu, dan pasti tak ada barang yang akan dipandang dua kali oleh seorang Barat. Bagaimanapun, itu berarti bahwa pemerintah secara terbuka menyatakan kepada rakyatnya: zlotys, itu mata uang Polandia, yang mereka hasilkan dengan kerja banting tulang mereka, tak punya harga. Selama aku bekerja sebagai reporter di Polandia, sering aku coba membayangkan diriku dan sahabatsahabatku hidup seperti orang Polandia - di New York. Begitulah, sembari duduk di alun-alun di tengah Kota Cracow, aku membayangkan diriku pulang berjalan kaki seusai kerja, mengenakan satu-satunya pakaian yang kumal, melalui sebuah jalan di West Side, New York, badan berkeringat dan letih, kembali ke apartemen dua kamar dan keluargaku . Aku melewati sebuah antrean untuk beli roti, sebuah antrean lain untuk beli ikan, dan kali ini memutuskan bergabung dalam antrean beli sosis di Columbus Avenue. Satu jam kemudian ternyata hasilnya nie ma - dan bukan sosis, sebagai imbalan jerih payahku. Kemudian di Broadway, sebuah oko menjajakan celana jin. Aku cepat berlari mendekat, agar paling tidak bisa membeli selembar celana untuk ketiga putraku. Lalu terlihat tulisan yang menyatakan bahwa uang dolarku tak berharga. Hanya uang asing. Inginkah aku melemparkan batu ke jendela itu, atau sekadar ingin pulang saja dan merebahkan diri dan menangis? Kedua-duanya. Di Cracow, dulu itu, perasaanku tak bertambah ringan - meski teringat akan cerita beberapa koresponden Amerika bahwa kehidupan di Rusia bahkan lebih buruk. Seorang pengarang di Warsawa menceritakan padaku pada hari kedua aku di sana, bahwa hidup di bawah komunisme Polandia sangat di luar dugaan. "Cobalah," katanya. "Sesudah dewasa orang harus menunggu 15 tahun untuk mendapat sebuah apartemen delapan tahun untuk sebuah mobil tujuh tahun untuk telepon 14 tahun untuk sebuah lemari es, dan 20 tahun untuk selembar paspor". Dan seterusnya. Jadi, dihitung-hitung, agar bisa menikmati sepenuhnya kehidupan di Polandia, orang harus hidup sedikitnya 110 tahun. Pejabat Polanda itu menarik kepalanya ke atas bahu kanan, mengangkat kedua bahunya dengan gaya yang tampak dipelajari sebelumnya, dan menaikkan alisnya. Tak perlu ia berkata sepatah pun Rangkaian gerakan tu bermakna "orang Rusia". Itu memang tak berubah sejak zamanku dulu Kalau seorang pejabat, pemimpin partai atau diplo mat Polandia hendak menyatakan bahwa sesuat berada di luar kekuasaannya, gayanya masih tetaF seperti itu. Itu bisa bermakna sekadar "orang Ru sia", atau "Sebetulnya kita tak mau melakukan itu tapi orang Rusia memaksa kita", atau "demi negara", yang merupakan peringatan para birokrat Polandia kepada rakyat, yang berarti, "Kalau mendesaknya terlalu keras, kamulah yang bakal dihadapi dan bukan kami jadi mana yang dipilih?" Kadang-kadang itu hanya omong kosong. Pemerintah Polandia sendiri juga cukup mampu melakukan tindakan yang tak menyenangkan - tanpa perlu tekanan Kremlin. Terkadang pula gerakan tarik angkat-naikkan itu hanya suatu cara mengelakkan tanggung jawab atas suatu kekejian lokal yang sepenuhnya hasil godokan sendiri. Itu juga suatu gaya yang digunakan orang komunis Polandia untuk menyatakan semacam keakraban antara mereka dan orang Barat, bersifat "kita 'kan sama-sama tahu". Tapi, tentu saja, sekalipun gaya itu kadang-kadang suatu dalih, maknanya cukup jelas: nasib nasional Polandia dibayangi, dibentuk, dan dikuasai kekuatan militer Soviet. Dan itu berarti, Uni Soviet tak akan segan menggunakan kekuatan untuk menumpas setiap pembangkangan atau pemberontakan atau apa saja yang bisa menjadi contoh bagi bangsa terbelenggu lainnya, atau bagi rakyat Rusia sendiri, bahwa inti struktur kekuasaan Soviet - suatu kepemimpinan partai bersifat abadi, yang menguasai semua sendi kehidupan - bisa ditantang secara berhasil. Masih pada awal masa kerjaku sebagai reporter dulu, aku telah belajar sesuatu yang cukup penting. Yakni: kalau tiba saatnya para pemimpin Soviet itu bersedia menerima suatu perombakan dalam masyarakat Soviet sendiri barulah terdapat kemungkinan orang Polandia diberi kemerdekaan nasional. Tidak sebelum saat itu. Jadi, di mana saja aku berjumpa dengan para anggota Solidaritas atau para simpatisan - dan itu hampir di mana-mana - aku mengajukan pertanyaan yang sama: sungguh-sungguhkah kalian mengira Rusia bakal mengizinkan orang Polandia membentuk masyarakat mereka sendiri dengan bebas? Aku menanyai mereka itu sehalus mungkin karena betapapun negeri ini milik mereka, dan nyawa merekalah yang dipertaruhkan. Aku juga menanyakan itu kepada sejumlah wartawan Polandia yang pernah cukup terkemuka dan sekarang disingkirkan dari setiap penerbitan yang berarti, tapi tetap penuh semangat. Mula-mula salah seorang di antara mereka mengatakan, sama sekali bukan Rusia yang bertanggungjawab. Tidakkah Anda lihat itu? Ia begitu dirasuk rasa jijik terhadap orang. Polandia yang jadi anggota pemerintahan, begitu tak kenal maaf atas penghinaan karena keadaan darurat perang, hingga ia mulai yakin bahwa semua itu suatu makar yang dilakukan Partai Komunis Polandia, yang pernah ia pegang keanggotaannya. Itu perbuatan partai, katanya memancing Solidaritas hingga menuntut terlalu banyak dan kemudian menjadikan itu sebagai alasan untuk mengadakan kup militer. Bukan tekanan Rusia. Beberapa menit kemudian, orang itu dengan kawannya berhicara tentang persia dan Rusia memasuki Poiandia hampir satu tahun sebelum kup itu, dan bagaimana tekanan Rusia sejak itu menjelma dalam pengambilalihan cara militer oleh Jenderal Wojciech Jaruzelski. Mereka itu orang-orang yang berani dan cerdas, yang cukup mampu mengungkapkan kejanggalan dalam uraian mereka sendiri. Jadi, aku tidak menunjukkannya. Terkadang pelan-pelan mereka berbicara tentang pertempuran di jalanan jika perlu, dan berjuang selama sisa hidup mereka. Beberapa saatkemudian, sejenak wajah mereka berubah cerah. Salah seorang di antara mereka berkata, apa boleh buat, bagaimanapun orang harus memiliki harapan bahwa mungkin suatu hari kelak, sekelompok orang lain, birokrat yang lebih muda barangkali, akan memegang kekuasaan di Moskow dan akan bertindak lebih luwes. Sudah sepantasnya kalau orang mendambakan itu. Aku juga mengajukan pertanyaanku itu kepada seorang buruh dari wilayah Baltik. Ia berusia sekitar 40 tahun dan seorang pimpinan Solidaritas. Ia dijatuhi hukuman sembilan tahun sebagai tahanan politik. Dipindahkan dari penjara satu ke penjara lain, tidak dipukul seperti banyak kawannya "barangkali karena aku telah berusia lanjut," katanya. Ia memperoleh cuti dari penjara, dan besar harapannya bahwa hukumannya akan dibatalkan. Kasusnya itu merupakan bagian dari suatu proses pembebasan beberapa aktivis caranya cukup menyolok hingga pembebasan itu bisa diketahui rakyat, tapi cukup lamban pula hingga tali kekang tetap tegang. Ia seorang bertubuh tegap, bernada lembut, mengesankan bakal menjadi sahabat yang baik bagiku. Tentang Rusia, ia berpendapat seperti ini: "Kita terpaksa berharap waktu itu. Kita menjamin mereka bahwa kita akan menyerahkan Sejm (Parlemen). Mereka boleh menguasai 51%. Kita beri mereka jaminan pula bahwa kita tetap bergabung dalam Pakta Warsawa. Menurut dugaan kita, barangkali mereka itu bisa memahaminya. Seharusnya mereka memahaminya. Betul, kita akan menyerahkan semua itu kepada mereka. Yang kita minta darimereka hanyalah negeri kita, membiarkan kita sendiri." Sekarang? Ia mengatakan, sekarang baginya menjadi jelas bahwa waktu itu orang Rusia tidak memahaminya, dan sekarang belum juga memahaminya. Barangkali suatu hari kelak mereka memahaminya, katanya. Bagaimanapun orang harus berpengharapan, bukan? Aku tidak menjawab. Tapi aku teringat pikiranku waktu itu: pengharapan, pengharapan, mereka tak hentinya bicara tentang pengharapan. Dalam pesta kecil suatu malam, aku bertemu denan salah seorang yan paling akrab dan menyenangkan - terbuka, jujur, sopan. Ia pernah menjadi anggota Partai, tokoh yang cukup terkenal di layar televisi, dan bergabung dengan gerakan Solidaritas karena merasa untuk pertama kali dalam hidupnya ia berkesempatan membantu mengubah sejarah. "Di samping itu," katanya, "jika aku tidak melakukannya, apa yang bisa aku bicarakan dengan anak-anakku pada tahun-tahun mendatang?" Ia menjadi tokoh penting dalam gerakan Solidaritas. Dan, tentu saja, setelah kup militer itu ia dipecat dari TV. Kini ia mencari nafkahnya sebagai sopir taksi, tapi tetap bersikap jenaka dan penuh semangat. Padanya juga aku mengajukan pertanyaanku yang abadi itu: apa yang sebenarnya kalian harapkan dari Rusia menyetujui suatu masyarakat bebas, di tapal batas mereka? "Yah," katanya. "Begini. Kita mengira, Rusia itu akan terpaksa berunding dengan kita. Mereka akan melihat bahwa sesuatu yang baru sedang berkembang bahwa kita ini bukan ancaman. Kita mewakili rakyat. Mereka akan melihat itu." Ia tersenyum halus, atas pikirannya sendiri yang lugas itu. Tapi lalu berkata, "Nah, bagaimanapun juga orang 'kan tetap harus berpengharapan." Aku bertemu seorang wartawan yang pernah aku kenal ketika ia masih seorang pengarang yang disegani - seorang yang tampil sebagai tokoh terkemuka di Warsawa waktu itu. Sekarang ia tersingkirkan dan tidak diperkenankan menerbitkan apa pun. Ia mencari nafkahnya dengan mengerjakan terjemahan, kadang-kadang. Selama bertahun-tahun orang Komunis telah memahami bahwa cara terbaik untuk membungkam seorang pembangkang ialah dengan kesibukan - kesibukan mencari nafkah untuk sekadar hidup. Kita berdiri di sudut ruangan di suatu resepsi. "Nah, Stefan," kataku. "Bagaimana kabarnya?" "Menyedihkan," katanya kepadaku. "Kau 'kan tahu bagaimana keadaannya, Abe. Orang ingin percaya bahwa ada kesempatan dan perkembangan bagi anak-anak di masa depan. Di sini? Tidak ada." Aku teringat anak-anakku sendiri, yang besar dalam suatu kehidupan penuh kesempatan dan perkembangan. Aku tidak menanyakan kepada Stefan tentang bagaimana ia pernah sepandir itu mengira bahwa Uni Soviet, kapan pun, akan mengizinkan remaja Polandia hidup seperti itu, yang tentu saja harus dilandasi kemerdekaan dan pilihan bebas. Aku juga tidak mengajukan pertanyaanku yang satu itu kepada seorang wanita jangkung berusia muda yang ketemu di suatu jamuan makan pada suatu malam. Ia menikah beberapa hari sebelumnya, di dalam penjara. Suaminya seorang pemimpin Solidaritas yang ditangkap sesaat sebelum rencana pernikahan mereka. Mereka memutuskan untuk tidak membatalkannya, dan seorang pengawal penjara menjadi saksi. Ia bercerita tentang berapa lama suaminya itu mungkin ditahan ia tidak tahu. Ia tampak tabah dan memperlihatkan wajah yang cerah, dan kami saling mengangkat gelas, mengharapkan yang terbaik baginya dan suaminya. Sedikit pun aku tak meragukan bahwa ia, jika perlu, sepanjang sisa hidupnya akan terlibat dalam perjuangan. Aku memutuskan untuk tidak mengajukan pertanyaan politik apa pun tentang Rusia atau yang lain - tidak kepada wanita muda ini, yang sadar akan dirinya, sadar akan tujuannya, dan akan harganya. Tapi pertanyaan itu tetap merasuk diriku - bagaimana mungkin mereka tidak menyadari bahwa Rusia itu akan menumpas mereka bagaimanapun juga? Suatu hari pertanyaan itu bahkan aku kemukakan kepada seorang yang sama sekali tidak kukenal. Aku meninggalkan hotelku suda sejak pagi, berjalar kaki ke Makam Prajurit tak Dikenal tempat serdadu muda Polandia berdinas sepanjang masa berbaris dengar langkah kaku yang aku yakin dibenci mereka sendiri. Mengapa pemerintah suatu bangsa yang demikian menderita akibat Nazi menyukai gaya kaku yang menggelikan itu, yang oleh setia pikiran dihubungkan dengan kaum Nazi, adalah satu hal lagi yang tak mungkin bisa kumengerti. Di seberang jalan, di muka makam, terbentang medan luas yang sepi, dikelilingi sebuah pagar, tepat di tengah kota. Itu tempat yang aneh, monumen yang aneh. Medan itu diberi nama Medan Kemenangan. Inilah tempat Stefan Cardinal Wyszynski, orang tua kekar yang pernah jadi pusat kekuatan di Polandia, dibaringkan. Dan di sinilah Paus sempat berkhotbah ketika pulang untuk pertama kali ke Polandia, 1979. Setelah kunjungan Paus itu, orang ramai datang ke medan itu, dan membuat sebuah salib raksasa dengan bunga. Polisi menyemprotnya dengan meriam air, hingga bersih. Tapi salib itu dibikin lagi. Kembali disapu bersih. Dan kembali dibuat. Akhirnya, dalam keadaan frustrasi, yang berwajib membongkar sama sekali medan itu, lalu mengelilinginya dengan pagar, dan memberi penjelasan bahwa untuk memperbaikinya diperlukan waktu bertahun-tahun . Tidak terdapat bunga lagi di situ. Sekarang orang membawa bunga mereka ke halaman Gereja St. Anne di Kota Lama, bagian kota tempat Grzegorz Przemyk dibunuh, untuk menciptakan sebuah salib. Ini melahirkan suatu pusat turis politik yang baru bagi orang asing, dan bagi orang Polandia yang datang dari seluruh pelosok negeri untuk berdoa sambil menyelipkan secarik kertas kecil bertuliskan pesan kebencian kepada polisi, di tengah bungabunga itu. Waktu aku berjalan-jalan menyusuri pagar di Medan Kemenangan, aku didekati seorang Polandia yang fasih berbahasa Inggris, yang pernah tinggal di Amerika Serikat dan ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Si Polandia itu, yang namanya tak pernah kutanyakan, adalah seorang simpatisan Solidaritas yang teramat bersemangat. Ia tak peduli siapa yang mengetahui itu. Ia telah pensiun dari jabatan kecil di pemerintahan, dan yakin tak akan diapa-apakan. Jadi aku bertanya kepadanya, bagaimana mungkin ia menyangka bahwa Rusia akan . . . dan seterusnya tadi. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab bahwa Polandia itu dibangun atas keajaiban bahwa Perawan Maria, Ratu Polandia, bisa memohon ampun bagi Polandia kepada Tuhan ia telah melakukan itu di masa lampau dan akan melakukannya pada masa mendatang. Bukankah seorang Polandia telah diangkat menjadi paus, tanyanya kepadaku, seakan itu membuktikan argumennya. Ia juga menceritakan keyakinannya bahwa suatu keajaiban sekali lagi akan menyelamatkan Polandia - barangkali dengan melunakkan hati orang Rusia. Ia menyatakan, baginya memang tidak jelas wujud keajaiban itu, sudah tentu - tapi pasti akan ada. Orang harus percaya, dan berharap. Aku tidak tertawa. Tidak pula merasa ingin tertawa. Polandia itu hidup di dalam sejarahnya, kebangsaannya, kepahlawanannya, keajaibannya, impiannya, kekalahannya, dan harapannya. Dan semua itu terpadu menjadi satu dalam Gereja Katolik Romawi serta cirinya yang khas Polandia. Dan tampaknya lebih kuat sekarang. Di mana-mana aku menyaksikan kualitas khas ibadah Polandia yang teramat khusyuk. Di dalam gereja, setiap orang berdoa dengan suara keras, setiap qrang bernyanyi. Setiap lagu pujaan, setiap sambutan, tampak menyeluruh. Sekali lagi aku berkunjung ke kota suci Czestochowa yang setiap tahun menjadi tujuan ziarah orang. Mereka berjalan kaki menuju kota ini ratusan ribu orang, dari setiap penjuru negeri. Pada saat mendekati Biara Jasna Gora, ribuan di antara mereka menempuh sisa seratus meter lagi bukan dengan kaki, tapi dengan lutut - sekalipun mereka mungkin tak cukup jauh bisa memasuki biara itu, untuk sekadar menyaksikan altar dengan lukisan ajaib: Madonna Hitam. Sering pula aku mendengar argumen yang penuh kesungguhan, bahwa berbagai keajaiban telah menyelamatkan Polandia sebelumnya, dan pasti akan lagi. Bunda Maria telah menyelamatkan Polandia dari penyerangan bangsa Swedia pada abad ke-17. Dan setelah dimusnahkan, negeri ini kembali bangkit sesudah Perang Dunia I dengan kekalahan semua musuhnya: Rusia, Austria, Hungaria, dan Jerman. Bukankah itu suatu keajaiban - Polandia lahir kembali demi kekalahan para musuhnya, dalam suatu peperangan yang di dalamnya tak pernah ia ambil bagian? Dan, tambahan lagi, terpilihnya Yohannes Paulus II? Pernah, pada tahun 1959, aku melihat seorang Katolik bangsa Amerika berdiri di muka Biara Jasna Gora. Pada saat ratusan ribu orang Polandia di sekitar wanita itu berlutut di padang rumput yang luas, dan panji-panji gereja diarak melewati mereka, ia tetap tegak, seorang diri. Ketika aku bertanya mengapa ia tidak berlutut, ia menjawab bahwa orang Polandia sedang menghayati suatu pengalaman batin yang di dalamnya ia tak berhak ambil bagian. * * * BEBERAPA hari setelah aku kembali di Polandia, seorang sahabat lama, diplomat yang cukup tinggi kedudukannya, mengatakan, jika ia memberikan nasihat kepada para remaja Polandia tentang suatu karier kerja pada masa kini, ia akan berkata, "Bergabunglah dengan polisi atau dengan Gereja." Ia tak perlu menjelaskan itu lebih lanjut. Polisi itu mewakili kekuasaan sebenarnya pemerintah Polandia. Sedang gereja mewakili kekuasaan sebenarnya bangsa Polandia. Keduanya bermusuhan. Tapi keduanya bersekutu, dalam arti terpadu dalam suatu kekhawatiran bersama. Sejak sistem Soviet dipaksakan atas Polandia melalui kekuatan Soviet dan persetujuan semu pihak Barat, hampir empat dasawarsa lalu, pemerintah komunis itu sepenuhnya menyadari kekuatan gereja itu. Dicoba mengekang gereja itu dengan berbagai pembatasan, undang-undang, tekanan beraneka ragam. Gereja melawan. Dan sekalipun kalah dalam perselisihan legal atau politis dari waktu ke waktu, ia membuktikan tempatnya sebagai pusat kekuasaan yang sebenarnya di Polandia, setiap hari - dalam cara duyunan massa dan salib bunga di tempat para martir gugur, dalam lambang Madonna di leher baju para pemogok. Orang Komunis memerintah, sedang Gereja berkuasa. Pemerintah menekan Gereja, kemudian melonggarkan kembali tekanan itu - khawatir kalau tekanan yang terlalu besar akan membangkitkan pemberontakan. Dan Gereja tak pernah mengundang pemberontakan. Sebab hal itu pasti akan menjatuhkan pemerintah - dan mengundang masuk orang Rusia. Itu akan merupakan malapetaka yang oleh kedua pihak diinginkan untuk dihindari. Syahdan, Gereja dan pemerintah ibarat sepasang pegulat sumo yang aneh: saling mendesak, menjambak serta menghela, tapi tak satu pihak ingin mendorong pihak lain keluar dari gelanggang yang sempit itu. Ketika aku masih di Polandia dulu, Stefan Cardinal Wyszynski menguasai sepenuhnya Gereja Polandia dan menuntut kepatuhan menyeluruh dari umatnya dan para pendetanya. Dan akibatnya mendapatkan permusuhan abadi, dan pengakuan menyeluruh, dari pemerintah Komunis. Ciri nasional Polandia bahkan makin bersifat Katolik akibat identifikasi bergairah dan terang-terangan para pemimpin Solidaritas dengan Gereja. Tapi aku merasakan, dan kemudian dibenarkan banyak orang Polandia, pemberontakan Solidaritas yang megah itu menyebabkan banyak orang Polandia mulai mempertanyakan - bukan agama Katolik, melainkan - kepemimpinan agama itu di Polandia. Pewaris Wyszynski sebagai uskup terutama di Polandia, Uskup Agung Joseph Glemp, tak punya kekuasaan total atas para pendeta dan umat. Timbul berbagai keluhan, secara cukup terbuka, dan bahkan juga dari beberapa uskup bawahan, bahwa dukungannya kepada gerakan Solidaritas tak cukup kuat. Dalam upaya menghindari kekacauan, Glemp tampaknya terlalu berhati-hati menghadapi pemerintah. Dan ia diketahui meyakini bahwa semua harapan Polandia dan bangsa Polandia berada bersama Gereja dan seharusnya rakyat itu bertumpu pada Gereja, bukan pada suatu gerakan atau pimpinannya. Syahdan, timbul pertanyaan mengenai diri Glemp di Polandia. Dan, tentu saja, bagi orang Polandia, uskup utama Polandia yang sejati bukanlah uskup agung di Warsawa itu. Melainkan warga sebangsa mereka yang sekarang di Roma. * * * Sehari sebelum aku meninggalkan Polandia untuk kembali pulang, aku bersama Kifner terbang ke Gdanzk . Pertama-tama kami pergi mengunjungi Galangan Kapal Lenin, tempat gerakan Solidaritas lahir. Seperempat abad sebelumnya aku sudah pernah ke tempat itu, ketika masih merupakan sekadar sebuah galangan kapal, bukan suatu tempat bersejarah. Dunia penuh berbagai monumen. Tapi belum pernah aku menyaksikan sebuah pun yang demikian menyentuh dan mengejutkan dan mengguncangkan diriku dengan kekuatannya, seperti monumen yang didirikan kaum buruh ini. Barang itu dipersembahkan sebagai kenangan para buruh yang terbunuh oleh polisi pada tahun 1970. Tetapi monumen itu bukan bagi masa lampau, melainkan bagi saat penentangan pada tahun 1980 dan bagi masa depan. Di situlah tegak berdiri tiga buah salib baja yang tersusun dalam satu bentuk segitiga, menjulang setinggi 40 meter lebih, mengatasi galangan kapal, mengatasi Polandia. Kaum buruh sendiri yang merancangnya. Dari lengan setiap salib itu tergantung sebuah jangkar raksasa - galangan kapal kebangsaan, persekutuan bangsa dengan Gereja, silakan pilih makna yang Anda rasakan. Di kaki monumen itu terdapat beberapa relief besar tentang kaum buruh yang bekerja, berkeringat, kenyerian di wajah mereka, terhancurkan. Dekat kaki terbaca nama Solidaritas yang dilarang di Polandia, tapi untuk selama-lamanya gamblang dan megah tertera pada monumen itu. Para pekerja Kota Gdansk itu membangunnya dengan cepat, mengangkutnya ke pintu gerbang galangan kapal dengan cepat, kemudian membenamkannya dengan cepat ke dalam bumi, dalam, dalam, ke dalam beton, seakan hanya pada saat itu detik bersejarah bisa mereka raih. Sekelilingnya, pada dinding rendah, terpasang nama-nama berbagai cabang Solidaritas dari seluruh Polandia. Di situlah ia tegak menjulang, megah, tegar, senantiasa menantang, suatu monumen dari dan untuk rakyat dan gerakan yang justru dinyatakan pemerintah sebagai musuh, suatu teguran bagi para buruh yang setiap hari melewatinya, suatu tantangan sehari-hari terhadap pemerintah dan partai, suatu kepalan tangan di wajah para pembesar. Baik pemerintah maupun partai tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali meledakkannya - yang mungkin sekali berarti meledakkan Polandia. Monumen itu bukan persembahan bagi akhir suatu masa, tapi suatu pernyataan yang diwujudkan dalam beton bahwa ia hidup. Sebuah tinju. * * * Lech Walesa, istrinya, dan tujuh anak mereka, mendiami suatu apartemen di salah satu bangunan kaum pekerja yang besar dan tampak ringkih, yang didirikan pemerintah pada dasawarsa yang lalu. Apartemen itu terdiri dari enam kamar, cukup mewah rnenurut ukuran sana. Walesa menerimanya ketika ia masih pemimpin Solidaritas: Ia menolak sebuah villa yang ditawarkan pemerintah. Tidak terlihat anggota polisi di luar gedung - dan itu kuanggap gejala kekuatan dari pihak pemerintah. Beberapa pembantu Walesa berada di ruang duduk istrinya mengucapkan halo dan meninggalkan ruangan itu dan dapur dimanfaatkan sebagai ruang kerja. Walesa belum pulang dari galangan - ia ahli listrik yang terampil, dan bangga atas keahliannya itu - dan aku yakin itu disengaja. Yakni agar para pembantunya ber kesempatan menguji diriku, dan barang kali bisa membujukku untuk pergi saja. Walesa sebenarnya orang yang mudah ditemui sepenuhnya sadar akan pentingnya pers Barat bagi dirinya dan Solidaritas. Tapi ini saat yang rawan: hanya beberapa pekan menjelang kunjungan Paus. Karena itu Walesa menjaga diri sendiri, tidak ingin melakukan sesuatu yang akan memberikan peluang bagi yang berwajib untuk membatalkan kunjungan itu. Ini dikemukakan para pembantunya. Aku pun mengatakan, aku juga tak berniat membuat kesulitan apa pun. Jadi barangkali lebih baik aku pergi saja dan kembali tahun depan. Tentang itu mereka terbagi pendapatnya - lalu membahasnya di antara mereka. Ketika pintu luar terbuka, dan Walesa memasuki apartemen, terjadi suatu rembukan singkat yang tak terlihat olehku. Kemudian suatu keputusan agar ia menemuiku, tapi minta - dengan sangat - jangan pertanyaan mengenai Rusia yang sudah kugambarkan kepada para pembantunya. Aku setuju. Walesa tampak lebih muda, bertubuh lebih ramping, dan secara keseluruhan lebih lincah daripada yang dikesankan citranya di layar televisi atau di foto. Penampilannya itu membuat aku teringat akan seseorang, tidak khusus sebuah wajah, melainkan suatu tipe, seorang tokoh yang samar-samar. Seketika duduk di sampingku di sofa, ia memutar matanya ke langit-langit kamar seraya berkata, "Kita berada di kantor polisi. Pahamkah Anda, Tuan Rosenthal ?" Aku tertawa karena ucapan itu mirip sekali dengan yang sering kami ucapkan di rumah sendiri di Warsawa tahun 50-an. Jadi, hati-hatilah. Dan ia berhati-hati. Kami berbicara kurang lebih satu jam, dan aku tahu bahwa apa yang ia kemukakan kepadaku sebagiannya penyajian ulang dari yang ia ceritakan kepada semua tamu asing dan kepada berbagai kalangan di Polandia berulang kali, suatu kajian yang dibuatnya untuk mengemukakan pikiran tapi tidak membongkar rencana - berhati-hati, berhati-hati. Ketika beberapa hari kemudian aku menyalin coretan menyeramkan yang berupa catatanku, aku menyadari bahwa, sekalipun lengkap kata demi kata, catatan itu tak sepenuhnya menggambarkan dirinya. Yang bermakna bukan hanya kata-katanya, tapi pilihannya yang begitu teliti, diselingi jedah singkat, asumsi sama-sama memahami suatu bahasa sandi, penerapan gaya berkata-tapi-mengelak, cara berbicara ibarat menempuh medan penuh ranjau, yang memang merupakan bagian dari gaya hidup di bawah kekuasaan totalitarisme. Pasti akan terjadi, kata Walesa, perombakan sosial pasti akan terjadi di Polandia. Tak ada titik balik buat Polandia, jelas, sudah terlalu banyak yang tercapai. Kita sudah terlalu jauh melangkah hingga sulit untuk berbalik. Suatu hari pemerintah pasti menyadari hal ini. Mereka harus bisa menyadari bahwa kita tidak punya niat hendak menghancurkan segala sesuatu. Struktur iu akan tetap berdiri, tapi kita hanya ingin membangun baru dalam kerangka struktur itu, hanya itu. Aku menatap mukanya, dan ia pun menatap diriku tanpa bergerak. Kemudian tersenyum kecil. Kita saling mengerti. Kami berdua amat sadar akan kehadiran berbagai mikrofon tersembunyi itu. Aku bersikap sopan, luar biasa sopan. Tak sekali pun aku menggunakan istilah Soviet atau Rusia. Aku tak ingin membuat kesulitan baginya di kantor polisi. Tapi aku memang bertanya kepadanya, apakah menurut pendapatnya Polandia betul bisa membangun suatu masyarakat dan sebuah serikat buruh yang bebas, dalam apa yang dengan sangat berhati-hati aku sebut sebagai "keadaan terkontrol". Itulah, kata Walesa, keadaannya agak mirip dengan belajar melompat jauh. Mula-mula lompatan kecil, kemudian sedikit lebih jauh, lebih jauh. Barangkali kita melompat terlampau jauh, tapi kita akan berlatih. Yang penting, orang harus berpengharapan - itu tertulis berulang kali dalam catatanku. Aku minta diri. Dan kali ini ternyata cukup banyak anggota polisi berkumpul di luar, dan aku menertawakan diriku sendiri karena pikiranku yang lugas tadi . Ada mobil besar anti-huru-hara berwarna kelabu, mobil polisi, dan sejumlah mobil polisi "tak bertanda" - Fiat hijau terang dan jingga menyolok. Sejumlah tokoh menyembulkan wajah yang amat seram dari jendela mobil, mata membelalak. Pelototan itu tak membuat aku takut - kecuali mungkin jika aku orang Polandia. Baru sesudah kami berjarak satu dua blok dari rumah Walesa, mobil anti-huru-hara dan mobil lainnya dengan sigapnya mengejar dan menyuruh kami menepi. Polisi itu memastikan keterangan diri kami, lalu menyampaikannya melalui radio kepada pusat. Kemudian memperbolehkan kami pergi. Sasaran tugas itu sebenarnya bukan untuk mengenali kami, melainkan untuk sekali lagi mencamkan kepada seluruh wilayah itu - bahwa suatu kunjungan kepada Walesa berarti suatu urusan polisi. Berhari-hari aku memikirkan siapa sebenarnya orang yang oleh penampilan Walesa membuat aku teringat kepadanya. Oh, ya. Dalam tahun 30-an sering terjadi pemogokan di berbagai pabrik di Detroit, dan di koran suatu kali muncul sebuah foto yang menggambarkan seseorang sedang dipukuli, melindungi dirinya dari pentungan para penjahat yang disewa pabrik. Hampir tak terlihat wajahnya. Ia bukan orang utama di serikat buruh mobil itu, tapi seorang buruh yang jadi aktivis. Itulah orangnya: pekerja itu, aktivis itu, sasaran pentungan yang ternyata cukup alot. * * * EKONOMI yang menjelang ambruk. Rakyat yang tak bahagia. Semangat kerohanian yang menghanyutkan. Dan suatu sistem yang terkutuk. Sebuah pemerintahan yang tegak berkat kekuatan militer Soviet. Itulah memang yang aku hayati. Aku juga yakin, takada jalan keluar yang sebenarnya bagi Polandia tak ada lompatan menjangkau suatu masyarakat bebas karena Uni Soviet itu. Tapi mulai jelas pula bagiku, sebenarnya ada sesuatu yang terluput dari perhatian, sesuatu yang ada di sana, tapi entah bagaimana aku tidak memperhatikannya. Baru setelah aku meninggalkan Polandia dan sedang berlayar menyeberangi Samudra Atlantik di kapal Queen Elizabeth II, dibantu keuntungan dari jarak yang memisah, aku menyadarinya. Padahal selama ini aku menganggap diriku seorang realis politik. Dan itulah sesuatu yang nyata tentang Polandia: arus pengharapan, yang tak hentinya mengalir. Sejak dulu aku memang menyadari peranan penting pengharapan sebagai suatu kenyataan politik, ekonomi, dan sejarah. Bagaimana mungkin, misalnya, orang India menjadi begitu pandir, mau berusaha mengangkat kembali ekonomi mereka yang teramat miskin, kalau tidak berkat harapan? Tapi sebelumnya aku tidak pernah terkesan oleh peranan penting pengharapan di Polandia. Mungkin karena, yang terpenting, sifat kekal pengharapan di Polandia baru nyata betul ketika pemberontakan Solidaritas itu. Aku teiah menyaksiKan orang Polandia: remaja dan umur menengah, dalam diri mereka tumbuh pengharapan, bagai pohon-pohon di Warsawa, cukup tinggi dan indah. Kaum belia di tepi liang kubur, tokoh Walesa, wanita muda yang menikah di penjara, bekas tokoh televisi yang mengemudikan taksi, mereka semua malahan tak hanya berpengharapan, tapi memusatkan kehidupan mereka pada harapan, membenamkan akar mereka di dalam harapan. Harapan akan perubahan sikap Soviet. Harapan akan suatu keajaiban. Harapan akan ketabahan diri sendiri. Harapan yang tak jelas wujudnya. Aku masih tetap seorang realis secara politis - tidak percaya bahwa kehadiran salah satu unsur kekuasaan pengharapan - akan dengan sendirinya menaklukkan semua unsur yang lain. Pengharapan Polandia itu memang nyata. Begitu juga tentara Soviet. Tapi aku percaya bahwa, berkat kekuatan pengharapan itu, bagaimanapun orang Polandia akan bangkit kembali suatu hari. Aku percaya bahwa mereka akan ditindas kembali. Kemudian, aku percaya, mereka akan kembali bergerak. Kaum remaja yang berjalan kaki, bersibisu dari gereja hingga ke permakaman itu, akan berada di antara mereka yang bergerak itu, dan pasti akan ada bahaya. Aku mengharapkan, sepenuh-penuh hati, semoga luka mereka kelak tak terlalu parah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus