PONIRAH TERPIDANA Peran Utama: Nani Vidia, Christine Hakim, Ray Sahetapi, Slamet Rahardjo Produksi: Sukma Putra Film Skenario Sutradara: Slamet Rahardjo "SIAPA namamu ?" tanya polisi. "Trindil," jawab Christine Hakim. "Sudah berapa lama kamu keluyuran malam-malam ? " "Enam bulan." "Ini anakmu?" "Ya." "Namanya?" tanya polisi lebih lanjut. Baru dalam dialog antara polisi dan para pelacur jalanan yang dirazia itulah nama Ponirah lahir. Anak yang selalu dibawa Trindil ke mana pergi itu sejak lahir tidak diberi nama oleh ayahnya. Sebab, Jabarudi (Bambang Hermanto), sang ayah, menyimpan dendam. Kelahiran si jabang bayi meminta nyawa ibu kandungnya. Dan, hari demi hari ketika bayi itu tumbuh jadi anak kecil yang lucu, wajahnya membuat sang ayah selalu teringat Sukesi, istrinya, dan itu membuatnya gampang naik pitam. Ketika sang ayah mulai kesepian, dan membawa pelacur ke kamarnya, sering kali si anak tiba-tiba membuka pintu dan muncul menatap bapaknya. Ini membuat Jabarudi kehilangan gairah, dan tanpa daya, meski di pelukannya pelacur cantik siap melayaninya. Klimaksnya, ketika si anak dibonceng sepeda oleh Permadi, kakaknya, anak sulung Jabarudi, "kebetulan" - begitu kata Slamet Rahardjo si penyusun cerita - sepeda itu ditabrak mobil. Anak itu terkapar tapi sehat-sehat saja, sementara kakaknya telungkup bermandi darah dan tak bernyawa lagi. Maka, dalam upacara penguburan, kemurkaan Jabarudi tak tertahan lagi. Keris pusaka dihunus, anak itu dikejarnya. Untung, Trindil, pembantu setia rumah tangga bangsawan Solo itu sigap. Anak itu dilarikannya. Dan Jabarudi, yang dipegangi oleh para pelayat, mengutuk dan mengusir mereka berdua. Sejak itu, Trindil bulat hatinya dan menyatakan "kamu sekarang jadi anakku, Den Ajeng." Tapi anak itu tetap belum punya nama. Baru di kantor polisi itulah, terpaksa Trindil, yang jadi pelacur jalanan, mengarang nama: Ponirah. Dan mulai dari adegan itu, setelah sekitar 20 menit film Slamet yang ketiga ini berputar, tokoh cerita mulai hadir. Dan langsung saja Ponirah remaja muncul sebagai siswa sebuah SMA Muhammadiyah. Ia tinggal bersama ibunya di kompleks pelacuran. Sebenarnya, baru dari sinilah film terasa dimulai. Terusir dari rumah, tiada bapak dan ibu tak bisa melupakan Permadi yang bermandi darah di hadapannya, dibesarkan oleh pembantu rumah tangga yang mencari nafkah sebagai pelacur adalah modal yang sangat bisa mendukung sebuah film drama. Atau, sebuah film psikologis, yang menampilkan liku-liku perkembangan jiwa Ponirah. Tapi, bagi Slamet Rahardjo, 35, kedua-duanya tidak. Ia tak ingin mendramatisasikan ataupun menampilkan potret jiwa Ponirah. Ia seperti lebih suka menyuguhkan sebuah laporan riwayat hidup. "Saya hanya ingin berhanyut-hanyut," kata Slamet. Maka, boleh dikata film ini tak menyuguhkan ketegangan. Ketika kompleks pelacuran geger karena Trindil kedapatan mati gantung diri, adegan itu terasa bagai berita di surat kabar yang tak lengkap. Memang, kepergian Ponirah ke Jakarta dibawa Jarkasi (Ray Sahetapi), pemuda kaki tangan sindikat pelacuran, merupakan pukulan tuntas buat Trindil. Sebab, ia tahu siapa Jarkasi, dan jalan hidup yang bagaimana yang bakal dijalani Ponirah. Tapi proses pertarungan batin Trindil tak terlukiskan dalam gambar-gambar di layar putih. Yang ada hanya suara batin Trindil, tapi tak begitu meyakinkan, yang menyatakan semangat hidupnya telah padam. Ponirah adalah jiwaraganya. Juga, perubahan watak Ponirah sesampainya di Jakarta, seperti tanpa proses. Tiba-tiba saja, cewek yang besar di kompleks pelacuran ini, yang tampak polos dan bersahaja dan selalu menghindar dari lelaki di Jakarta menjadi sangat pintar. Ia bahkan bisa menguasai Jarkasi yang memang berubah: ia jadi jatuh cinta betul-betul kepada Ponirah. Maka, Jarkasi jadi bingung, ketika dengan harga setumpuk puluhan ribu, bos Jarkasi ingin memerawani Ponirah. Slamet Rahardjo tak ingin bcrbelit-belit. Diketemukanlah Jarkasi dengan Guritno, paman Ponirah yang atas pesan Jabarudi selalu membuntuti ke mana Ponirah melangkah (ketika di SMA Muhammadiyah, Guritno jadi guru di situ). Tapi inilah rupanya akhir riwayat Guritno (yang diperankan oleh Slamet sendiri). Ia yang mendahului masuk kamar Ponirah, tapi langsung ditusuk gunting oleh keponakannya yang sudah lama bersiap membela diri. Tak ada air mata, tak ada jeritan histeris, tak ada dialog menggebu-gebu - film ini sepenuhnya berputar dengan datar. Nyaris seperti film dokumenter? Juga tidak. Kamera yang mengambil adegan hampir selalu berjarak medium, menampilkan gambar-gambar torso yang menyempitkan cakupan suasana ruang, melenyapkan identifikasi tempat tertentu. Dan celakanya, gambar-gambar semacam itu cepat melelahkan mata. Pun, bau mistik yang tersebar samar-samar di seluruh cerita, tak juga ditonjolkan ke luar. Arloji Jabarudi yang jatuh di stasiun, misalnya, mengisyaratkan kematian istrinya. Gunting penolak bala yang digunakan Trindil mengusir pengaruh jahat pada Ponirah sewaktu bayi, kemudian menjadi alat pembunuh di tangan Ponirah dewasa. Lalu, Ponirah yang membawa bencana bagi orang-orang terdekatnya (ibu, lalu kakaknya, dan kemudian pamannya). Walhasil, film berputar selama sekitar 105 menit, sebenarnya terasa tanpa fokus. Ponirah, yang menjadi tokoh utama, tak lebih menonjol daripada yang lain-lain. Entah sutradara menghendaki demikian, entah Nani Vidia, pendatang baru itu, memang kurang mampu tampil. Boleh jadi pula ini satu eksperimen Slamet - setelah membuat Rembulan dan Matahari, dan Seputih Hatinya, Semerah Bibirnya. Tapi bagaimanapun karya Slamet ini sebuah napas yang lain dalam dunia perfilman kita. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini