JIKA Surat Izin Terbit (SIT) majalah Expo dibekukan gara-gara memuat cerita "100 milyarder", majalah berita Topik terkena giliran setelah memuat kisah "100 jenis manusia miskin di Indonesia". Tapi kesalahan utama yang dilakukan Topik, menurut surat keputusan menteri penerangan, Senin pekan lalu, justru pada editorial yang berjudul: "Mencari Golongan Miskin". Editorial itu, menurut keputusan menteri yang ditandatangani Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno, S.H., bernada ingin mengobarkan pertentangan "kelas" antara "si miskin" yang seakan-akan "kelas" tertindas dan "penguasa" yang mewakili "kelas" yang menindas. Salah satu alinea dalam editorial Topik edisi 14 Februari itu berbunyi: "Suatu kemustahilan, kondisi golongan miskin itu akan berubah tanpa suatu kekuasaan. Dan suatu kekuasaan tidak akan lahir, tanpa direbut. Kursi kekuasaan hanya akan tercipta, kalau dari golongan tertindas itu ada upaya untuk merebutnya." Penulisan itu dinilai Deppen sebagai salah satu bentuk ajaran komunis. Sebab itu, menurut keputusan tadi Topik, sengaja atau tidak, telah menyebarluaskan salah satu ajaran komunis. Ajaran itu dilarang disebarluaskan berdasarkan ketetapan MPRS, 1966, dan Undang-Undang Pokok Pers pada tahun yang sama. "Tampaknya ada kecenderungan, unsur berahran ekstrem kiri menyelundup ke dalam tubuh Topik," bunyi salah satu pertimbangan surat keputusan pembekuan majalah itu. Tidak jelas siapa unsur kiri yang menyelusup ke Topt seperti diduga Deppen itu. Sebab, editorial yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab pembekuan SIT ditulis tanpa nama pengarangnya. Dan hanya dalam laporan utama, "100 Jenis Manusia Miskin" disebutkan bahwa Topik menurunkan 11 wartawannya di Jakarta untuk mengumpulkan bahan cerita yang kemudian ditulis Triyono Wahyudi. Laporan sebanyak lima halaman majalah itu menampilkan profil orang kecil di Jakarta, seperti kernet, tukang gali tanah, buruh bangunan, pedagang kecil, bahkan pelacur kelas Rp 600. Tak hanya pada edisi terakhir itu saja Topik dinilai telah melanggar ketentuan Deppen. Pada terbitan 31 Januari 1983, majalah itu menurunkan wawancara imajinatif dengan Presiden Soeharto. Dalam cerita berjudul "Eben menemui Pak Harto" itu, banyak kritik dilontarkan terhadap aparat negara, asas tunggal, dan P4. Menurut Deppen, tulisan yang dikarang Bambang Supatah itu menghina Kepala Negara. "Tulisan itu bernada sinis, insinuatif, dan tidak mencerminkan pers yang bebas dan bertanggung jawab," kata Sukarno. Sukarno tidak ingat persis tentang Fernah atau tidaknya Deppen membenkan peringatan kepada Topik sebelum pembekuan SIT dikeluarkan. "Tapi untuk pembekuan SIT tidak disyaratkan perlunya peringaran-peringatan sebelumnya," ujar Sukarno. Peringatan-peringatan yang dilakukan Deppen selama ini, menurut Sukarno, hanyalah merupakan kebiasaan dan tidak tertulis dalam peraturan pembekuan SIT. Perlu atau tidaknya peringatan tergantun pada masalahnya. "Kalau menyangkut soal porno, bisa diberi peringatan sampai tiga kali," ujar Sukarno lagi. Topik bukan tidak menyadari telah melakukan pelanggaran itu. Pemimpin umum majalah itu, Drs. Soepeno Sumardjo, mengaku sudah menghadap Direktur Jenderal PPG Sukarno pada 11 Februari. Pada pertemuan itu, kata Soepeno, disampaikan surat Pemimpin Redaksi Topik, B.M. Diah, juga Ketua Dewan Pers, yang melaporkan terjadinya keteledoran pimpinan sehingga artikel yang mengandung paham komunis itu termuat. "Sebelum kami ditegur, kami melapor lebih dulu," ujar Soepeno. Menurut Soepeno, yang belum lama berselang berkunjung ke Moskow, seiaku pimpinan, ia telah "kebobolan" oleh seorang staf redaksi yang menurunkan artikel-artikel berbahaya itu. Kebobolan itu bisa terjadi, katanya, akibat sistem pendelegasian wewenang yang menjadi kebijaksanaan di perusahaannya. Karena itu, "sulit untuk mengontrol kesalahan dengan seketika," ujar Soepeno lagi. Diterbitkan 13 tahun lalu, Topik beroplah sekitar 15.000 eksemplar dan berharga Rp 800 per eksemplar. Menurut Soepeno, selama usia majalah kali ini Topik terkena tindakan. Sebab itu ia menyesali terjadinya kebobolan itu. "Media kami yang dulu mati-matian menentang komunis, klni malah memberitakan paham itu," ujar Soepeno. Satu-satunya langkah yang akan diambilnya dalam waktu dekat, kata Soepeno, adalah meneliti kesalahan anggota redaksinya itu. "Mungkin saja yang menurunkan naskah itu akan ditindak," ujarnya, tanpa menyebutkan si pelaku. Ia berharap pembekuan SIT Topik tidak berjalan lama. Tapi pencairan SIT itu tampak agak sulit. Ketua PWI Pusat, Zulharman Said, menyatakan bahwa PWI tidak bisa berbuat apaapa untuk membela majalah itu. Sebab, alasan pembekuan SIT Topik adalah gara-gara menyebarkan paham komunis yang terlarang. Kasus semacam Topik, menurut Zulharman, merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kesalahannya, kata Zulharman, karena pemimpin redaksi yang terlalu mempercayakan keputusan redaksional pada redaktur pelaksana. "Dari situ, jelas kekurangan sistem redaksional majalah itu," ujarnya. Zulharman juga melihat kasus ini dalam kemungkinannya ke depan, setelah Surat Izin Usaha Perusahaan Penerbitan (SIUPP) selesai digodok. Ketika itu, nanti, tanggung jawab si penulis berita akan lebih banyak terlibat. Mengenai hubungannya dengan keanggotaan PWI, Zulharman tidak membantah kemungkinan ditinjaunya status keanggotaan wartawan yang terlibat dalam penulisan artikel Topik yang jadi perkara itu. "Kalau dia anggota PWI, mungkin saja dia dikeluarkan dari organisasi," ujar Ketua PWI Pusat itu, tanpa menyebut nama. Karena itu pula Zulharman mengharapkan kasus itu bisa menjadi pelajaran berharga bagi wartawan untuk lebih bertanggung Jawab terhadap tulisan yang dibuatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini